UIN JAKARTA DAN INTEGRASI ILMU
UIN JAKARTA DAN INTEGRASI ILMU

uin_jakarta_tampak_depanSumber Photo. http://www.panoramio.com

UIN Jakarta yang kini menjadi universitas terbesar di lingkungan Kementerian Agama, merupakan pengembangan dari sebuah perguruan tinggi kedinasan Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan tiga jurusan Pendidikan Agama, Bahasa Arab, dan Da’wah, yang dimulai pada pada tanggal 6 Juni 1957, dan merupakan adik kandung PTAIN di Yogyakarta yang sudah beroperasi sejak 26 September 1951, dengan tiga jurusan Da’wah, Qadla, dan Tarbiyah.

Kemudian pada tanggal 9 Mei 1960, Menteri Agama RI, KH. M. Wahid Wahab, menggabungkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan ADIA menjadi Al Jami’ah Al Islamiyah Al Hukumiyah yang diterjemahkan menjadi Institut Agama Islam Negeri, berpusat di Yogyakarta, dan di Jakarta dikelola dua fakultas, Tarbiyah dan Adab.

Pengembangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan kelanjutan dari perjuangan advokasi pendidikan masyarakat muslim kalangan bawah, muslim desa dan kaum pinggiran yang dilakukan A Wahid Hasjim, Menteri Agama yang pertama, dan terus keluar masuk menjadi menteri sebanyak tiga kali, karena masa awal kemerdekaan kondisi pemerintahan belum stabil, dan kondisi politik masih terus berubah. Kendati pun demikian, perjuangan beliau tetap istiqamah memperjuangkan madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal untuk anak-anak desa agar bisa setara dengan anak-anak kota, anak-anak pejabat, pedagang dan priyai yang memperoleh pendidikan sangat baik dari sekolah Pemerintahan Hindia Belanda yang kemudian menjadi sekolah formal dalam sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah Indonesia. Kaum santri yang pada umumnya memperoleh pendidikan keagamaan di pesantren terafiliasi dengan pendidikan madrasah dan bahkan jenjang pendidikan tinggi dengan lahirnya IAIN.

Kini jasa besar IAIN sangat terasa dengan terhantarkannya kaum santri bertransformasi menjadi tokoh-tokoh nasional dalam berbagai bidang, antara lain dalam bidang politik dengan partisipasi mereka sebagai anggota DPR, DPD, DPRD atau menjadi pemimpin daerah sebagai bupati, walikota, dan bahkan ada juga yang menjadi gubernur, atau menjadi tokoh nasional sebagai menteri kabinet, dan bahkan ada juga sebahagian yang menjadi pengusaha nasional. Kendati pun demikian, IAIN tetap konsisten dalam mandat utama melahirkan pemimpin dan tokoh agama di masyarakat, baik sebagia kyai, ulama yang mengisi keanggotaan majelis ulama pada semua tingkatan, atau para muballigh penyampai ajaran agama pada masyarakat.

Dalam fungsi transformasi ini, IAIN sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, bahkan terus diperluas oleh pemerintah, sehingga kini jumlah institusinya semakin banyak dan komposisi mahasiswa PTAIN/S sudah mencapai kurang lebih 15% dari keseluruhan mahasiswa di Indonesia.

Mengingat arus mahasiswa yang semakin besar, serta mobilitas intelaktual para dosen dan para alumninya yang sangat dinamis, maka sejak tahun 2002, pemerintah memperluas mandat pada IAIN Jakarta untuk mengelola ilmu-ilmu agama sebagai mandate utamanya. Konsekwensi perluasan mandat tersebut, IAIN diubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri), karena mengelola hampir semua rumpun ilmu, agama, humaniora, sosial, dan sains.

Argumentasi yang dijadikan landasan transformasi institusional ini secara umum ada dua, yakni secara pragmatik, banyak siswa madarasah yang tidak bisa tertampung di IAIN kerena mereka berasal dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ketika belajar di Madrasah Aliyah, dan tidak terwadahi secara keilmuan kalau mereka masuk jurusan ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kemudian tuntutan pasar tenaga kerja juga terus berkembang seiring dengan semakin besarnya arus masuk IAIN, karena tidak mungkin semua mereka menjadi ulama, kyai, atau muballigh. Oleh sebab itu, kaum santri berpendidikan madrasah harus diberi peluang alternatif pasar kerja yang lebih luas dan variatif.

Kemudian secara substantive, bahwa Islam sebagai agama memberikan landasan berfikir filosofis yang sangat komprehensif, bahwa ilmu Islam itu tidak sesempit ilmu-ilmu akidah, syari’ah, dan akhlak, tapi juga ilmu-ilmu sosial dan kealaman.

Terjadinya dikotomi keilmuan semata karena proses sejarah pengelolaan kelembagaan pendidikan. Pendidikan ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan ilmu-ilmu kealaman yang memiliki pasar kerja sangat luas, dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang tidak memiliki intensitas terhadap pemahaman Islam sebagai agama komprehensif. Demikian pula dengan kalangan nasionalis yang terdidik sangat baik oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sementara kaum santri hanya memiliki kompetensi untuk melakukan proses pembelajaran dalam ilmu-ilmu keagamaan, karena secara intelektual, mereka tidak memiliki akses pada ilmu-ilmu sekuler. Kerugiannya adalah, agama tidak bisa menjadi spirit dalam profesi, dan sekaligus agama tidak bisa menjadi panduan hidup dalam profesi dan sosial. Akhirnya agama hanya menjadi panduan dalam pelaksanaan ibadah ritual belaka, sementara ibadah kekaryaan dalam lapangan profesi dan budaya, tidak tercerahkan oleh cahaya agama.

Kerugian fenomena ini adalah, bahwa agama yang diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia dalam semua aspek kehidupan mereka, hanya menjadi sebuah idealitas yang tak kunjung hadir sebagi sebuah budaya. Agama yang diharapkan akan mempengaruhi perilaku dan sikap dalam kehidupan profesi dan sosial umat Islam, tertinggal dalam tradisi ritual di masjid, mushalla, dan langgar, dan teralienasi dari hiruk-pikuk kehidupan profesi dan sosial. Tidak heran kalau ada seseorang yang melakukan tindak kejahatan korupsi, atau berbudaya hidup hedonis, dan bahkan permisif, padahal dia adalah seorang muslim yang rutin melakukan ibadah umrah yang juga sangat rajin melakukan ibadah ritual lainnya. Inilah kerugian dikotomi ilmu terhadap kehidupan sosial. Demikian pula secara personal, umat Islam terugikan, karena dedikasi dalam karya profesi dan sosialnya tidak menjadi bagian dari penyiapan bekal menuju kehidupan abadi di alam akhirat nanti. Kerugian dikotomi, yang paling terasa adalah kerugian personal dan sosial masyarakat, yang kehilangan values dalam kehidupan mereka, dan mereduksi akumulasi prestasi amaliah untuk persiapan kehidupan akhirat nanti.

Seiring transformasi IAIN menjadi UIN dengan perluasan mandat untuk mengelola berbagai bidang keilmuan umum, serta mendidik para mahasiswa untuk menjadi profesional dalam berbagai bidang non-keagamaan, seperti akuntan, lawyer, perawat, apoteker, atau teknisi komputer dan pengembangan program teknologi informasi, atau yang lainnya, maka gagasan integrasi agama pada sains menjadi argumentasi utama, untuk melahirkan sarjana yang memiliki profesionalitas dengan tetap menjaga kesalehan profesional dan sosial, serta untuk menjelaskan distingsi UIN dengan universitas lain yang telah terlebih dahulu diberi mandat mengelola berbagai keilmuan umum untuk melahirkan profesional muda dengan keahlian tertentu. Integrasi agama dan sains menjadi sangat penting untuk tetap menjaga misi institusi pendidikan tinggi keagamaan. Dengan semakin besarnya tenaga-tenaga profesi yang saleh maka Indonesia akan menjadi sebuah negara yang memiliki trust karena kesalehannya, dan sangat ekspektatif karena profesionalitasnya.

Untuk mencapai idealitas integrasi agama dan sains, setidaknya harus terdesain kurikulum yang mencerminkan integrasi agama dan sains, serta skema pembelajaran yang melatih behavior serta attitude yang mencerminkan idealitas keislaman. Integrasi agama dan sains yang terdesain dalam kurikulum dan pembelajaran, secara ideal akan melahirkan sosok profesional yang santri, dan santri yang profesional. Integrasi ilmu dan agama juga akan melahirkan masyarakat yang memiliki budaya kehidupan profesi dan sosial dengan spirit keagamaan. Agama akan senantiasa menyertai berbagai perubahan dalam dinamika kemajuan peradaban umat manusia. Itulah idealitas sebuah masyarakat dambaan, maju, sejahtera, mandiri, memiliki trust dan nation dignity. Wallahu a’lam bi al shawab.

TANGSEL POS, SENIN 08 JUNI 2015, SUARA KAMPUS, (Hal. 1) Oleh: Dede Rosyada