Terorisme Islam sebagai Problem Tafsir
Terorisme Islam sebagai Problem Tafsir

Oleh : Sukron Kamil

Terorisme yang dilakukan kalangan fundamentalisme Islam jihadis sejak peristiwa 11 September 2001 hingga saat ini merupakan fenomena yang terus menyeruak. Dalam bulan Agustus 2014 yang lalu saja, penangkapan atas orang yang diduga teroris oleh Densus 88 telah terjadi paling tidak empat kali. Dalam sebulan ini, isu ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) yang memiliki kelebihan bisa merekrut anggota lewat internet juga terus muncul. Salah satunya ada belasan orang Indonesia yang berhasil direkrut dan tertangkap keamanan Turki saat mau menyebrang ke Syria dari Turki.   Terorisme Islam jihadis kini seolah mati satu tumbuh seribu dan Indonesia layak untuk disebut sebagai Negara yang mengalami “darurat” terorisme. Terorisme fundamentalis Islam jihadis yang bekerja mirip sebuah sel pun bahkan menjadi fenomena di belahan dunia lain, tak terkecuali di Barat, meski terorisme tidak selalu terkait Islam/agama, terutama pra tahun 2000-an.

Problem Tafsir Kaum Teroris

Teorisme Islam Jihadis, jika dilihat dari literatur ilmu-ilmu sosial, jarang sekali dilihat sebagai persoalan teologis. Sebagian besar ahli melihatnya terkait dengan absennya ketidakadilan sosial, baik dalam krangka mikro (nation state) mauun makro (global [dominasi Barat/Amerika Serikat]). Namun, ternyata faktor teologis sangat mempengaruhi terorisme Islam jihadis. Dalam hal ini kekeliruan interpretasi terhadap kitab suci.  Secara teoritik, cara pandang ini diakui Max Weber (1864-1920). Baginya, tindakan apapun harus dipahami sebagai tindakan mental. Karenanya, yang harus dicari, tegas Wever, adalah pola pikir dan pola rasa di balik sebuah tindakan. Dalam konteks terorisme Islam jihadis, hal ini terlihat dari persidangan terhadap terdakwa teroris bernama Bayu Setyono 16 Mei 2013. Dalam persidangan terungkap bahwa dirinya tak menyesal melakukan aksi terorisme dengan menyerang pos polisi Solo pada pertengahan Agustus 2012. Menurutnya, apa yang dia lakukan merupakan jihad untuk menegakkan hukum Allah. Alasannya, karena hukum di Indonesia adalah hukum peninggalan penjajah Belanda yang kafir. Dia mengaskan: “ Barang siapa yang mengaku berhak membuat hukum, selain hukum Allah, dia telah kafir. Dan halal darah dan hartanya, kecuali bertaubat”.

Dalam studi Islam, dengan mudah bisa dinilai bahwa pandangan Bayu di atas dan juga kelompok Islam jihadis seperti NII (Negara Islam Indonesia) berakar pada doktrin radikalisme agama Sayyid Quthb, aktivis Ikhwan al-Muslimin  yang dieksekusi mati tahun 1966 oleh Pemerintah Jamal ‘Abdul Nasser. Penyebab eksekusi mati adalah pandanganya dalam buku Ma’alim Fi at-Thariq (Rambu-Rambu [Petunjuk] Menuju Jalan Lurus). Gagasan utama buku ini adalah pencanangan kekuasaan mutlak Allah (al-hakimiyyah) lewat doktrin la hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Quthb  juga memahami jihad bukan dalam arti bertahan tetapi opensif  --sebagaimana dipahami Imam Samudra-- yaitu proklamasi atas pembebasan manusia dari menghamba selain kepada Tuhan. Ia menyerukan memerangi setiap kelompok yang menolak penerapan hukum Islam, terutama pidananya. Selain itu, Sayyid Quthb  menafsirkan kata yahkum dalam QS 5: 44,45, 46, bukan dengan arti “memutuskan”, tetapi ‘memerintah” bukan dengan hukum yang diwahyukan Allah, dimana ia melihatnya sebagai tindakan kafir.

Pandangan Quthb yang diikuti Bayu itu secara metodologis dan sosial politik keindonesiaan tentu saja sangat problematik, bahkan keliru. Alasannya: pertama, karena menurut Syeikh Nawawi Mirâh Labîd, Tafsîr an-Nawâwî, yang dianut oleh hampir semua ulama di Indonesia (baik di Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama), sikap tidak memberlakukan syari’ah terentu semisal hukum pidana Islam, karena ketidakmungkinan dalam format nation state, sebagai negara milik bersama, bukanlah sebuah kekafiran, dalam arti keluar dari Islam.

Kedua, pendapat Sayyid Quthb yang diikuti Bayu yang menafsirkan kata yahkum dalam QS 5: 44 bukan dengan arti “’memutuskan’, tetapi ‘memerintah’ bukan dengan hukum Allah sebagai tindakan kafir”, juga bisa dinilai sebagai sebuah penafsiran yang terlalu di depan teks, tidak bersifat in medias res.  Hal ini karena kosa kata hukumah yang berarti pemerintah dalam bahasa Arab lahir pada masa modern (mulai abad ke-18), bukan pada saat diturunkan Qur’an (abad ke-7). Dalam kajian bahasa, penafsiran Quthb yang diikuti Bayu di atas merupakan penafsiran atas penggunanan bahasa secara diakronik (historisitas yang panjang), tidak bersifat sinkronik (melihat hubungan makna dan bahasa berdasarkan ruang dan waktu saat bahasa digunakan). Kajian bahasa seperti ini tidak dianggap ilmiah, karena terlalu memaksakan bahasa.

Ketiga, penafsiran Sayyid Quthb yang diikuti Bayu juga adalah bentuk penafsiran ayat yang tidak ditafsirkan dengan ayat setelahnya QS 5: 45 dan 47 (tidak didasarkan pada munasabah al-ayat). Ini adalah jenis tafsir yang tidak menggunakan standar tafsir yang baku. Dalam dua ayat setelah QS 5: 44 di atas, tindakan menetapkan hukum  bukan dengan hukum yang diwahyukan Allah bukan sebagai tindakan kafir, tetapi zalim dan fasiq (durhaka). Lagi pula, kata kafir dalam bahasa Arab adalah musytarak (polisemi) yang tidak bermakna tunggal: bukan Islam. Karenanya, permaknaan kafir pada QS 5: 44 sebagai kafir nikmat merupakan penafsiran lebih tepat. Apalagi konteks ayat pun terkait dengan hukum bagi ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani), dan konteksnya pun lebih pada pentingnya penegakan hukum (law enforcement).

Keempat, Quthb yang diikuti Bayu tidak seperti sikap Umar bin Khattab yang berpindah dari harfiah ayat kepada ayat lain yang berisi prinsip ajaran Islam seperti keadilan dan kemaslahatan (rahmatan lil’alamin) --yang bagi Sunni, aliran terbesar Islam, kemaslahatan adalah inti dan ukuran Islam.  Sikap Umar itu sebagaimana terlihat dalam peristiwa land reform (pembagaian tanah rampasan perang). Meski secara harfiah ayat, harta rampasan perang harus diberikan kepada prajurit, tetapi ketika dalam bentuk tanah sebagai faktor produktif, Umar tidak mengikuti harfiah ayat. Alasanya, jika itu dilakukannya, akan terjadi ketidakadilan ekonomi yang dikecam al-Qur’an dalam amat banyak ayat.

Kelima, terlalu fokusnya Bayu dan NII pada pemberlakuan hukum pidana Islam, padahal hukum ibadah, keluarga dan ekonomi Islam di Indonesia sudah diterapkan. Karenanya, sangat tidak beradasar memandang Indonesia sebagai negara kafir.  Ia dan Quthb juga tidak beralih dari perhatian terhadap pidana menuju pada tujuan pemidanaan yang lebih substantif. Quthb  yang diikuti Bayu tidak mengaitkan bunyi teks ayat pidana dengan konteks ketika ayat itu turun, yaitu menilai ayat-ayat/hadis pidana sebagai rekaman kontekstual (respons/adaptasi Islam) terhadap hukum yang berkembang saat ayat/hadis itu turun. Rajam yang termaktub hanya dalam Hadis misalnya, menurut para ahli syariah rasional modern, merupakan tradisi Arab Jahiliyah dan Yahudi yang diislamkan. Demikian juga dengan hukum potong tangan. Karena itu, menurut Muhammad Syahrûr, pemikir Suriah modern, hukum pidana Islam boleh diterapkan dengan bentuk hukuman yang lebih ringan dari ketentuan yang ada, tetapi tidak boleh melampauinya.

Keenam, penafsiran Bayu dan kalangan teroris Islam lainnya sesungguhnya merupakan defisit ayat dan perspektif saja. Alasannya, karena dalam literatur fikih klasik sekalipun semisal Bidayah al-Mujtahid, hukum pidana Islam yang dipersoalkan mereka, bentuknya ternyata tidak tunggal dan tidak harus harfiah. Hukuman mati bagi pelaku pembunuhuan dan pindah agama, hukum potong tangan bagi pencuri senilai 86 gram emas, dan hukuman rajam bagi pelaku zina berstatus suami/isti atau duda/janda merupakan bentuk hukuman opsional. Tidak hanya itu satu-satunya.

 Penulis adalah guru besar yang juga Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta

Publikasi ulang pada TANGSEL POS, 15 Juni 2015, Suara Kampus (Hal.1)