Sejarah Melayu atau Sulalat al-Salatin?
Sejarah Melayu atau Sulalat al-Salatin?

Sulalat al-Salatin adalah sebuah sumber tertulis langka yang menjelaskan Kesultanan Melayu di Malaka abad ke-15. Teks ini merupakan satu-satunya karya sastra Melayu yang kepengarangannya dihubungkan dengan Tun Seri Lanang, dan mampu ‘hidup’ berabad-abad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan pengarangnya.

Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, Sulalat al-Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting yang berhasil memikat dan menyita perhatian sejumlah sarjana. Terkait dengan kutipan di atas, Hooykaas menegaskan bahwa para sarjana sedemikian tertarik dengan Sulalat al-Salatin karena “…cara kitab itu melukiskan sesuatu hal dengan tjara jang sederhana sekali dan oleh isi kitab itu jang amat indah2nya; mereka membuat terdjemahan2 dan daftar isi tjerita itu…”.

sulalat

Teuku Iskandar menambahkan bahwa semua kisah dalam Sulalat al-Salatin tersebut, seperti persiapan perang sebelum Portugis menyerang, peristiwa pertempurannya, pengunduran Sultan ke Muar dan Pahang, diceriterakan dengan begitu hidup, seolah penulisnya hadir menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri. Muhammad Haji Salleh bahkan dengan berbunga-bunga mengakui: “… Dengan rasa bahawa  saya sedang berdiri di depan  rimba rahasia fikiran leluhur maka sebagai seorang pembaca Melayu, betapa pun saya terpisah dari akar ini,  dan juga sebagai seorang pengarang yang menghadapi pendahulunya, saya berdiri kagum…”.

Henri Chambert-Loir memberikan komentar kritis atas kebanyakan sarjana, seperti Shellabear (1896) Winstedt (1938, 1969), Liaw Yock Fang (1993) Teuku Iskandar (1995), dan lainnya, yang lebih suka menyebut judul teks klasik Nusantara abad 16, Sulalat al-Salatin sebagai Sejarah Melayu atau Malay Annals. Menurutnya, penyebutan Sejarah Melayu atau Malay Annals tersebut mengikuti dua tulisan paling awal terkait teks Sulalat al-Salatin yang disebutnya ‘misleading’. Dua tulisan yang dimaksud adalah Leyden 1821 dan Abdullah 1841 seperti dikemukakan di atas. Muhammad Haji Salleh barangkali adalah salah seorang kekecualian, karena dalam publikasinya (1997), ia memberi judul Sulalat al-Salatin, demikian juga dalam artikelnya yang lain berjudul “Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu”.

Dalam perspektif filologi dan tahqiq, judul sebuah teks memang seyogyanya didasarkan pada informasi asal yang berasal dari teks itu sendiri, sejauh informasi terkait bisa dijumpai. Dalam hal Sulalat al-Salatin, tanpa diragukan lagi bahwa salah satu bagian dari mukadimah teks yang sedang kita diskusikan ini berbunyi:

“…maka Fakir karanglah hikayat ini kama sami’tuhu min jaddi wa-abi, supaya akan menyukakan duli hadhirat baginda. Maka Fakir namai hikayat itu Sulalat al-Salatin yakni peraturan segala raja-raja…”.

Berdasar pada kutipan naskah di atas, tidak ada alasan yang masuk akal untuk tidak menyebut Sulalat al-Salatin sebagai judul teks. Akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah kandungan isinya, maka penyebutan ‘Sejarah Melayu’ atau Malay Annals tentu boleh-boleh saja.

Bukan hanya sumber-sumber yang disebut di atas saja yang banyak menjadikan Sejarah Melayu sebagai judul teks, melainkan juga katalog manuskrip yang menginventarisasi dan mendeskripsikannya. Katalog Ricklefs & Voorhoeve 1977 misalnya, mendaftarkan kata kunci ‘Sejarah Melayu’ dalam indeksnya yang merujuk pada manuskrip yang disebut sebagai Sulalat al-Salatin ini, termasuk manuskrip Raffles Malay 18 yang dijadikan sebagai landasan edisi oleh Winstedt 1938. Kata ‘Sulalat al-Salatin’ bahkan tidak terdaftar sama sekali dalam Katalog ini.

Apakah hal itu disebabkan karena kata Sulalat al-Salatin adalah bahasa Arab yang tidak terlalu jelas maknanya bagi sebagian orang? sehingga kebanyakan merasa lebih ‘nyaman’ menyebut ‘Sejarah Melayu’ yang lebih mudah difahami? Tentu ini bukan alasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, karena yang lebih penting adalah menampilkan apa yang tertulis dalam teks, bukan apa yang difahami peneliti atas teks tersebut! Judul berbahasa Arab untuk teks-teks Melayu adalah sebuah kelaziman pada masa lalu.

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa ke depan, penyebutan ‘Sejarah Melayu’ sebagai judul teks yang dihubungkan dengan dengan tokoh Tun Seri Lanang ini, seyogyanya diluruskan, kecuali jika dimaksudkan sebagai penjelasan atau pemerian belaka, dan diganti menjadi Sulalat al-Salatin saja.

Kata ‘Sulalat’ sendiri, yang menjadi acuan terjemahan judul tersebut, dalam bahasa Arab berarti ‘keturunan’ (descendant), sedangkan al-Salatin berarti raja-raja (kings/sultans). Dalam beberapa sumber, kata ‘Sulalat’ ini ditranskripsi menjadi berbeda-beda. Sebagian mengejanya sebagai ‘Peraturan’, sebagian lagi ‘pertuturan’, dan sebagian lainnya ‘perteturun.’

Memperhatikan maknanya, transkripsi yang paling mendekati dari definisi kata Sulalat tersebut tampaknya adalah ‘perteturun’, dan karena itulah versi Melayunya perlu dibaca sebagai ‘Perteturun Raja-raja’ (Oman Fathurahman).

=====

Keterangan Gambar: Sulalat al-Salatin, disalin di Malaka, 1873.  Koleksi British Library, Or. 14734, ff. 1v-2r. - Lihat di: http://britishlibrary.typepad.co.uk/asian-and-african/2013/12/malay-manuscripts-digitisation-project-completes-first-year.html#sthash.sGeOzlvo.dpuf