RIVALITAS POLITIK DALAM PEMILU DI MALAYSIA
RIVALITAS POLITIK DALAM PEMILU DI MALAYSIA

Sudah dipastikan Pemilu Malaysia akan digelar Mei 2018. Soal waktu memang pernah menjadi spekulasi. Pernah ada keinginan diselenggarakan akhir tahun 2017. Akan tetapi, antara lain, atas dasar pertimbangan ujian anak anak sekolah, maka rencana itu diurungkan. Pilihannya adalah tahun 2018 antara Februari-Mei dengan pertimbangan UMNO akan memanfaatkan momentum perayaan tahun Cina dan sebelum Anwar dibebaskan dari penjara. Dua momentum ini penting. Pertama, UMNO tidak ingin kehilangan suara masyarakat Cina, disamping juga masyarakat Melayu sendiri, yang telah mulai menipis trust mereka kepada pemerintah UMNO/BN. Perayaan tahun Cina menjadi sangat berharga bagi Najib/UMNO untuk mengembalikan kepercayaan mereka sekaligus mendulang suara pendukung. Langkah ini penting juga untuk meyakinkan investor dari Cina. Yang kedua, Anwar Ibrahim tetap diperhitungkan sebagai tokoh yang membahayakan bagi keberlangsungan UMNO/BN. Pengalaman dua pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa kepemimpinan efektif oposisi yang dipimpin Anwar berhasil merontokkan dan memperlemah UMNO/BN. Najib tentu saja tidak ingin koalisi Anwar-Mahathir terjadi. Karena itu, pemilu diselenggarakan sebelum Anwar dibebaskan supaya tidak melakukan kampanye merontokkan UMNO/BN. Bulan Mei menjadi pilihan yang tepat.

Dilema Etnis?

Sejarah panjang perpolitikan di Malaysia pasca kemerdekaan begitu kuat diwarnai oleh kontestasi tiga kelompok etnis utama yaitu Melayu, Cina dan Keling (India). Kontestasi ini terutama menyangkut bidang ekonomi dan politik. Tentu saja, impak sosio-kulturalnya juga terasa. Ini memang implikasi panjang dari kebijakan pemerintah kolonial antara lain terkait dengan imigrasi dan kewarganegaraan (citizenship). Relasi tiga kelompok etnis ini pernah mengakibatkan peristiwa yang sangat traumatik tahun 1969 dimana clash berdarah-darah antar tiga puak ini terjadi. Ini adalah peristiwa paling hitam dalam sejarah Malaysia modern pasca kemerdekaan.

Untuk menciptakan stabilitas dan harmoni,  maka pemerintah haruslah dikendalikan oleh partai-partai yang merepresentasikan dan mencerminkan koalisi tiga puak ini yang kemudian disebut dengan Barisan Nasional (BN) dengan UMNO sebagai leader-nya. Mengapa UMNO menjadi leader tentu sangatlah penting paling tidak untuk meyakinkan bahwa masyarakat Melayu memperoleh peluang dan proteksi secara afirmatif dan cukup. Sistim politik harus tetap dikendalikan agar akselerasi kemajuan puak Melayu terwujud tanpa mendiskriminasi dua puak lainnya. Inilah yang dilakukan Mahathir saat menjadi PM. Meskipun demikian, Mahathir tetap saja dinilai Chauvinistik atas pembelaanya terhadap puak Melayu.

Sepanjang kekuasaan panjang Mahathir, kemajuan memang dirasakan dan secara internasional posisi Malaysia diperhitungkan. Mahathir dikenal sebagai “Bapak Modernisasi Malaysia” dan mewakili pemimpin  otiritarian penting di Asia. Kemampuannya untuk mengendalikan stabilitas sosial dan politik dan mengimplementasikan New Economic Policy secara efektif, adalah poin dan prestasi penting pemerintah UMNO/BN. Tentu saja, sebagaimana pengalaman beberapa negara berkembang lainnya pada waktu itu, kekuatan-kekuatan politik dan sosial lainnya harus dikontrol dan jika diperlukan ditekan dan ini benar benar dilakukan. Karena itu,  Mahathir menerapkan apa yang banyak kalangan menyebutnya sebagai “a Draconian Law.”

Sekitar tahun 2000,  bayang-bayang kehawatiran ethnical clash masih hidup. Karena itu,  masyarakat terpaksa mengikuti logika stabilitas dan kemajuan ekonomi yang ditanamkan Mahathir dari pada benturan etnis kembali terjadi. Akan tetapi, arus lain yang lebih liberal sebetulnya sudah mulai mempengaruhi pandangan dan sikap publik. Menguatnya koalisi opisisi yang kemudian dipimpin Anwar Ibrahim setelah dia dibebaskan dari penjara era PM Abdullah Badawi,  menjadi bukti bahwa isu keadilan, HAM, demokrasi, pluralisme, kemanusiaan jauh memperoleh perhatian untuk terus diperjuangkan ketimbang secara terus menerus dibelenggu oleh rasa takut terjadinya ethnical clash. Dan nyatanya, isu atau kampanye soal-soal ini memperoleh tempat.

Rontoknya UMNO/BN dua pemilu berturut-turut, membuktikan hal ini. Soal etnis masih ada akan tetapi tak lagi mendominasi isu politik Malaysia kontemporer. Skema kebijakan politik dan ekonomi berbasis etnis semakin kehilangan daya pikat dan popularitasnya. Tak heran, partai Cina MCA yang menjadi salah satu backbone BN mulai tidak percaya kepada UMNO dan masyarakat Cina cenderung mendukung oposisi. Bahkan, sepanjang pemerintahannya, Najibpun mulai kehilangan trust dari masyarakat Melayu sendiri.

Pseudo Demokrasi

Alam, pemikiran dan gerakan demokrasi di Malaysia tidaklah bisa dibandingkan dengan di Indonesia misalnya. Sesuai dengan konstitusi, sistim politik di Malaysia mengharuskan untuk mengakomodasi kedaulatan Yang Dipertuan Agung dan Perdana Menteri sebagai cermin kedaulatan rakyat. Meskipun Yang Dipertuan Agung itu dinilai simbolik, akan tetapi tetaplah penting antara lain untuk meyakinkan bahwa Islam dan Kemelayuan tetap terjaga. Sistim ini tetap berjalan hingga hari ini dan dimanfaatkan secara sangat efektif oleh Mahathir untuk berlama lama memegang kekuasaan secara otoritarian. Jadi, partisipasi publik sangat lemah dalam perjalanan politik Malaysia sepanjang sejarah Mahathir. Demokrasi dalam arti esensial tak terwujud karena memang tidak diwujudkan. Pemilu memang dilaksanakan secara reguler,  akan tetapi penuh rekayasa supaya UMNO/BN selalu menang dan menjadi the ruling party. Korban otoritarianisme cukup banyak antara lain pemenjaraan Anwar Ibrahim. Akan tetapi, tahun 2000 an adalah tahun-tahun di mana arus demokrasi nampak semakin menguat. Kejenuhan publik terhadap otoritarianisme sudah mulai dimuntahkan dan efektif. Sekali lagi, keberhasilan kekuatan aliansi oposisi menaikkan perolehan suara pada dua pemilu terakhir menjadi salah satu contoh penting gelombang demokrasi mengalami penguatan meskipun masih membawa korban antara lain penjeblosan kembali Anwar Ibrahim ke penjara.

Di era Najib,  gelombang demokratisasi ini semakin ekspresif antara lain dengan tampilnya Mahathir sebagai tokoh opisisi penting yang secara terus menerus menggoyah kekuasaan UMNO/BN bahkan hingga hari ini jelang Pemilu Mei mendatang. Gelombang perlawanan politik dan semakin masifnya dukungan atau partisipasi publik terhadap oposisi ini tentu saja penting dalam perspektif perubahan perubahan mendasar apa yang mungkin akan terjadi di panggung politik di Malaysia. Jika Najib memenangkan Pemilu,  tipis rasanya perubahan mendasar terjadi di Malaysia. Jika oposisi yang memenangkan,  maka tokoh otoriter Malaysia kembali menjadi PM dengan menempatkan mantan musuh politiknya (istri Anwar Ibrahim) sebagai Wakil PM. Lalu, apakah kemudian Mahathir akan benar-benar menyerahkan posisinya sebagai PM kepada Anwar Ibrahim sebagaimana yang pernah dijanjikan? Jika iya, maka PM dan wakil PM akan dikendalikan oleh suami istri. Tapi,  bisa jadi juga Mahathir menyiapkan mahkotanya kepada anaknya. Ini masih teka teki. Yang pasti perjuangan demokrasi esensial di Malaysia masih panjang dan mungkin saja akan menimbulkan korban baru.

PAS Penentu

Memperhatikan dinamika relasi antar partai, fenomena PAS menarik untuk diperhatikan. PAS yang dalam dua pemilu sebelumnya menjadi bagian penting aliansi oposisi,  belakangan cenderung tertarik dengan tawaran UMNO yang akan memperjuangkan Hudud. Di kalangan aliansi oposisi sendiri ide Hudud ini ditentang keras oleh sejawatnya DAP dengan alasan PAS akan mendirikan Negara Islam. Dukungan UMNO terhadap ide Hudud ini tentu saja dalam rangka mendulang dukungan dan perolehan suara Pemilu. Kekuatan oposisi dengan demikian akan kehilangan dukungan PAS. Akan tetapi apakah PAS pada akhirnya akan benar benar memberikan dukungan kepada UMNO pada saat pemilu? Belum terlalu pasti. Karena itu, PAS sendiri akan memainkan kartu politik pragmatisnya yaitu mendukung kepada siapa saja yang bisa memberikan jaminan terhadap kepentingan Ideologi politiknya. Baik Mahathir maupun Najib pada akhirnya bisa tergantung kepada PAS untuk memenangkan Pemilu saat ini.

Oleh: Dr. Sudarnoto Abd. Hakim, M.A (Dosen Tetap di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Re-posting dari: https://geotimes.co.id/opini/rivalitas-politik-dalam-pemilu-di-malaysia/