Revitalisasi Konseptual Perbankan Syari’ah
Belum lama ini saya diundang oleh The Indonesian Association of Islamic Economist untuk menghadiri Muktamar ke-3-nya pada Kamis, 30 April 2015. Meski saya diundang sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, agaknya, yang membuat saya diundang karena aktivitas saya pada dasawarsa awal tahun 2000-an sebagai Pimred Jurnal Iqtishad, jurnal sosial ekonomi, sekaligus Ketua Litbang FE UMJ. Karenanya, saya mohon maaf kalau saya dianggap lancang menulis bidang bukan wilayah ilmu budaya, meskipun tulisan saya ini akan fokus pada ekonomi Islam sebagai pola pikir ekonomi, hal pokok dalam kebudayaan. Paling tidak, tulisan ini sebagai pengganti saya tidak hadir di forum itu atau sebagai penghormatan/respon saya atas undangan tersebut.
Berdasarkan Outlook Perbankan Syariah di Indonesia yang terbitkan BI, laju ekspansi volume usaha perbankan syariah di Indonesia yang beroperasi 1992 terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, volume usahanya hanya meningkat 27,8%. Pada tahun 2013, meningkat jauh menjadi 34,65%. Karena itu, assetnya pun terus meningkat. Jika pada tahun 2002, jumlah total asset perbankan syariah di Indonesia sekitar Rp. 4 triliun, per Oktober 2013, asetnya meningkat mencapai Rp. 229,5 triliun. Aset perbankan syariah tembus pada angka Rp. 250 triliun.
Namun, capaian ini masih kalah jauh, bila dibanding dengan bank syariah di negara lain yang berdiri lebih awal. Misalnya Bank Islam Malaysia Berhad yang beroperasi 1983.Tahun 2007 saja, bank Bank Islam Malaysia ini memiliki asset sekitar 62 miliar dollar AS (Rp. 570 triliun). Selain itu, perkembangan perbankan syariah dinilai stagnan, karena market share terhadap industri perbankan pada tahun 2013 masih di bawah 5%. Artinya, asset perbankan syariah jauh dari bumi ke langit dengan perbankan konvensional, yaitu 5 berbanding 95%. Padahal, aset perbankan syariah di Malaysia 26%.
RendahnyaAkad Bagi Hasil
Selain itu, problem utama perbankan syari’ah di Indonesia adalah sedikitnya pola bagi hasil direalisir. Sebagaimana diketahi, kelembagaan bank syariah dari awal kemunculannya di Indonesia dikenal sebagai bank bagi hasil. Untung atau rugi dalam bank syariah dibagi bersama,dimana sistem yang digunakan berdasarkan profit and loss sharing [PLS]). Namun, dalam usia operasinya sekitar 10 tahun pertama(1992-2002), total pembiayaan berbasis bagi hasil yang dilaksanakannya hanya sebesar 16,19% saja. Angka ini terdiri dari musyârakah : 1,96% dan mudhârabah: 14,23 (musyârakah yang paling sedikit direalisir). Sedangkan kegiatannya di sektor non-bagi hasil sebesar 83,81%, yang terdiri dari murabahah (semacam akad kredit dengan bunga [bagi hasil] tetap) 71,52%, Istishnâ’: 6,66%, dan lain-lain: 5,63%.
Hingga Januari 2012, akad bagi hasil bank syari’ah (mudharabah/musyarakah) memang mengalami peningkatan menjadi 38 persen, suatu prestasi yang harus dihargai dan disyukuri. Namun, murabbahah masih jauh mendominasi akad yang berkembang di bank syari’ah, yaitu 55% dari total akad/pembiayaan pada tahun itu.
Wajar, jika ketimpangan ini kerap menimbulkan kritikan bahkan hujatan atas “otentitas keberislaman” bank syariah. Para pengamat melihat bahwa praktik murabbahah --meskipun dibenarkan secara syariah-- identik dengan bunga yang “disyariahkan”. Karena itu, bank syariah pada dasarnya dianggap sebagian ahli sama dengan bank konvensional dikurangi bunga ditambah jilbab. Majalah bisnis dan keuangan syariah berpengaruh, Modal Nomor 9/I - Juli 2003 turut menulis dengan agak sarkastik dengan menyebut bank syariah sebagai “bank murabahah”. Apalagi, yang dijadikan acuan dalam menetapkan bagi hasil dalam murabbahah adalah bunga juga, meskipun dengan bunga tetap, suatu nilai lebih bank syariah. Hal ini lebih terasa, saat akad murabbahah hendak dilunasi, karena diskon yang diberikan kepada debitur adalah sisa angsuran pokok seperti dalam sistem bunga.
Realitas sedikitnya pola PLS yang dipraktikkan bank syariah di atas, bukan hanya terjadi di Indonesia, karena berdasarkan temuan Abdullah Saeed, pola/skema murabbahah di perbankan syariah di dunia secara umum juga menduduki 70% usaha bank syariah. Sementara PLS-nya hanya menduduki 30-0%. Sebagaimana para ahli yang lain, Saeed menilai kenyataan tersebut menunjukkan kegagalan bank syariah sebagai bank PLS. Bahkan, ia mencatat, di negara lain kondisinya lebih parah ketimbang di Indonesia. Dubai Islamic Bank di Uni Emirat Arab misalnya pada tahun 1989, PLS (skema mudaharabah dan musyârakah )-nya hanya menduduki tiga persen saja dari keseluruhan investasinya. Bahkan, investasi IDB (Islamic Development Bank), sebagai bank pelopor di dunia, yang menggunakan skema mudhârabah dan musyârakah /PLS-nya untuk periode 1977-1988 hanya 7,33 juta dinar, yang merupakan 0,12 % dari total pembiayaannya. Persentasi skema PLS IDB, meski dengan tahun yang berbeda, berarti lebih rendah dari skema PLS perbankan syariah di Indonesia dan juga Uni Emirat Arab.
Reinterpretasi Konseptual
Umumnya para ahli melihat kecilnya angka PLS di atas karena problem manajerial atau lemahnya political will pemerintah. Pemerintah misalnya tidak menjatahkan 30% investasi proyek pembangunannya yang diberikan kepada bank syariah untuk dibiayai, seperti yang terjadi di Malaysia. Pemerintah juga sebaiknya memberikan faktor instrument yang menjadi penarik investor bagi perbankan syariah. Misalnya pembebasan dari pembayaran pajak selama 10 tahun. Lemahnya manajerial bisa dilihat dari kualitas sumberdaya yang masih di bawah bank konvensional, termasuk kemampuan mengkomunikasikan produk.
Namun, yang harus dikritisi adalah apakah rendahnya PLS karena faktor eksternal seperti lemahnya political will atau justru faktor internal seperti manajerial, bahkan konsepsi PLS itu sendiri yang perlu direinterpretasi. Hemat saya, rendahnya PLS dalam sistem investasi bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya itu yang terpenting adalah karena sistem PLS tidak menarik bagi pengusaha kelas besar atau korporasi.
Dalam sistem PLS, baik musyârakah maupun mudhârabah, kelebihannya adalah bank syariah bisa mendapatkan bagi hasil yang lebih tinggi dari suku bunga, jika nasabah yang dibiayai/diajak bekerjasama, keuntungan yang didapatnya meningkat. Bank syariah juga hanya berkewajiban memberikan bagi hasil kepada nasabah penabung sesuai cash flow/arus kas yang dimiliki bank dan tentu sesuai kesepakatan. Dalam sistem PLS, pengusaha yang merugi juga bisa tidak bangkrut, karena kerugian pengusaha dalam PLS di-sharing juga dengan bank.
Namun, yang perlu diperhatikan, dalam sistem PLS berarti juga jumlah bagi hasil dari keuntungan saat pengusaha/korporasi untung bisa jauh lebih besar ketimbang meminjam dari bank konvensional dengan sistem suku bunganya. Bahkan, suku bunga sudah diketahui secara akurat sejak dari awal, sehingga biaya hutang telah diketahui. Ini belum lagi ditambah dengan problem terbukanya posisi keuangan perusahaan bagi bagi bank syari’ah atau intervensinya atas nama pemegang atau pemberi saham. Bagian inilah bisa disebut kekurangan dari sistem PLS. Karena itu, bank syariah tidak menarik bagi korporasi, terutama korporasi menengah ke atas.
Sebab itu, harus dicari jalan keluar. Antara lain dengan melakukan reinterpretasi konseptual. Salah satunya adalah dengan memastikan bagi hasil tetap dalam masa pertama, terutama untuk akad mudharabah (bagi hasil, dimana bank syariah sebagai sleeping partner). Hemat saya, bunga deposito dalam bank konvensional bisa menjadi acuan. Pertanyaannya, kalau begini, apakah perbankan syariah akan semakin sama persis dengan bank konvensional? Jawabannya dalam bagi hasil keuntungan mungkin sama. Dan perbankan syariah tidak usah malu mengakui hal ini, karena pesaing perbankan syariah memang bank konvensional. Namun, dalam kelebihan yang disebut di atas, yaitu bagi hasil kerugian, dimana kerugian dibagi bersama, tetap merupakan kelebihan bank syariah yang tidak dimiliki perbankan konvensioal. Ini sama dengan bunga tetap dalam murabbahah, dimana kini bank konvensional banyak yang mengikuti. Jadi, bank syariah tetap lebih menarik secara bisnis ketimbang bank konvensional. Dalam soal ini --sejauh yang saya ketahui dari fikih-- bagi hasil untung atau rugi bisa dibuat dari awal sesuai kesepakatan antara bank sebagai shahibul mal (pemilik modal) dengan perusahaan sebagai mudharib, pelaksana usaha (enterpreuner). Yang penting, tidak ada yang merasa dirugikan.
Kedua, dengan membaut skema dimana bagi hasil dibuat rate. Dalam priode pertama bisa ditetapkan bagi hasil keuntungan berapa, priode berikutnya bagi hasil keuntungannya meningkat, dan seterusnya sesuai tingkat perkembangan nasabah (perusahaan). Dengan begitu, bisnis dengan perbankan syariah semakin bisa diprediksi secara manajerial. Tentu saja, model ini juga agaknya tidak bertentangan dengan syariah, karena yang dipastikan oleh al-Qur’an: “La tazhlimun wa la tuzhlamun” (tidak merugikan dan tidak dirugikan). Wallah a’lam bis Shawab. [Oleh: Sukron Kamil]
Penulis adalah Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta, juga Guru Besarnya.