Pustakawan Berfilsafat? Saatnya Berpikir, Bertanya, dan Bermakna
Pustakawan Berfilsafat? Saatnya Berpikir, Bertanya, dan Bermakna

Oleh: Dr. Ade Abdul Hak, S.Ag., S.S., M.Hum., CiQnR

 

Di balik rak-rak buku, sistem katalog, dan layar komputer tempat kita bantu cari referensi, ada sesuatu yang sering terlupakan: jiwa pustakawan. Kita sering dianggap “pengatur buku” atau “penjaga perpustakaan”—padahal pekerjaan ini jauh lebih bermakna. Dunia makin kompleks, informasi makin membanjir, dan kita butuh lebih dari sekadar keterampilan teknis. Kita butuh refleksi, nilai, dan bahkan... sedikit filsafat.

Luciano Floridi, seorang filsuf dari Italia, bilang bahwa ilmu perpustakaan dan informasi itu sebenarnya filsafat informasi terapan. Maksudnya? Ya, kita ini bukan cuma ngurus data, tapi juga mikir soal etika: siapa yang boleh tahu apa? Informasi ini bermanfaat atau justru menyesatkan? Kita bukan mesin katalog—kita penentu arah.

Senada, André Cossette dari Kanada menyebut pustakawan itu pejuang kebebasan berpikir. Di tangannya ada akses, kebenaran, dan kesempatan orang buat belajar. Jadi perpustakaan itu bukan gudang buku, tapi tempat orang jadi manusia seutuhnya. Dan pustakawan? Bukan teknisi, tapi penjaga nilai.

Dari tanah air dan dunia Islam, ada Kuntowijoyo. Kuntowijoyo mengingatkan, ilmu itu harus berangkat dari iman, diolah dengan akal, dan bermuara pada amal. Abdul Hak melanjutkan dengan gagasan kepustakawanan profetik—pustakawan sebagai pewaris misi kenabian: menyebarkan kebenaran, menjaga integritas informasi, dan berdiri tegak di tengah gempuran hoaks dan disinformasi. Dalam misi ini, ada tiga kata kunci: humanisasi, liberasi, dan transendensi—kita bantu orang jadi lebih manusiawi, lebih bebas dari kebodohan, dan lebih dekat pada makna hidup. Mulyadhi Kartanegara menambahkan satu lapis penting: ilmu itu harus holistik. Jangan hanya pintar otak, tapi juga jernih hati. Jangan cuma canggih sistem, tapi juga tajam nurani. Pustakawan bisa jadi jembatan antara teknologi dan kebijaksanaan, antara ilmu dan adab.

Dalam konteks Indonesia, dua nama ini wajib kita kenal: Blasius Sudarsono dan Putu Laxman Pendit. Blasius memandang pustakawan sebagai pribadi berbudaya—kerja kita itu bukan sekadar tugas, tapi pengabdian. Ia ingin pustakawan punya kepribadian yang reflektif, beretika, dan sadar peran sosialnya. Sementara Putu menegaskan: pustakawan itu bukan pengikut sistem, tapi pencipta ilmu. Ia mendorong kita untuk berpikir, meneliti, dan membangun tradisi keilmuan yang cocok dengan karakter Indonesia. Mereka berdua percaya: pustakawan yang baik adalah yang mau berpikir, bertanya, dan tidak takut mengambil sikap.

Jadi, kenapa pustakawan harus berfilsafat? Karena kalau kita cuma ngatur data tanpa bertanya kenapa, kita tinggal selangkah lagi jadi robot. Tapi kalau kita mau berpikir, merenung, dan bertanya “buat apa semua ini?”, maka profesi ini akan terasa hidup—bernilai, bermakna, dan membahagiakan.

Dan siapa tahu... sambil melayani pemustaka, kita juga sedang melayani peradaban.

Tag :