PUISI SUKMAWATI SEBAGAI KEGUSARAN MENURUNNYA NASIONALISME
PUISI SUKMAWATI SEBAGAI KEGUSARAN MENURUNNYA NASIONALISME
Belakangan ini publik nasional Indonesia digegerkan oleh puisi Sukmawati Soekarnoputri berjudul “ Ibu Indonesia”. Puisi ini melahirkan kontroversial yang viral di media sosial. Sebagian kalangan muslim semisal alumni 212 pun telah mengelar demonstrasi untuk menuntut Sukmawati agar diadili karena ia dinilai telah menodai agama. Sebagian, bahkan sudah melaporkannya ke Polisi untuk dituntut, di bawa ke proses-proses pengadilan. Para tokoh dan ahli pun juga terbelah, sebagaimana terlihat dalam berbagai perbincangan dan debat di berbagai media elektronik (televisi). Secara sastr  sebagai seni yang menggunakan bahasa sebagai media, puisi Sukmawati tidak kuat mengandung seni (keindahan bentuk). Bandingkan misalnya dengan puisi-puisi dari sastrawan yang diakui semisal Chairil Anwar atau Rendra. Meski begitu, jika yang jadi ukuran sastra sebagai defamiliarisasi, maka harus diakui, puisi Sukmawati adalah puisi yang mengandung simbol-simbol yang tidak bisa dipahami dengan pemahaman/pemaknaan terhadap bahasa biasa, baik bahasa ilmiah maupun media massa. Harus beralih dari pemahaman yang bersifat tersurat (denotative) ke tersirat (konotatif), demikian jika meminjam bahasa Roland Bartes. Dalam bahasa takwil (hermenutika Islam), harus beralih dari bahasa dengan makna zhahir ke bahasa dengan makna batinnya. Di dalamnya ada simbol “Ibu Indonesia” yang sebanding dengan kata ibu pertiwi, yang berarti tanah air, negara, dan bangsa. Di dalamnya juga ada kata “konde ibu Indonesia”, yang berarti cara berpakaian terutama penataan rambut produk kebudayaan para ibu-ibu Indonesia dan itu dipandang Sukmawati sebagai “kecantikan asli” bangsa Indonesia, sebagaimana disebut dalam bait kedua. Ada juga kata “cadar”, yang tampaknya berarti pola keislaman yang terlalu ke kanan yang melewati batas-batas kemoderatan (wasathiyyah) Islam. Dimaknai demikian, karena mayoritas ulama sebagai moderatisme Islam menyebut aurat kaum perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan telapak tangan. Ada juga kata “kidung”, produk seni musikbudaya tradisional Jawa yang berarti karya kemanusiaan masyarakat Indonesia yang dinilianya sebagai keaslian/orsinalitas Indonesia (nasionalisme). Di dalamnya juga ada kata “azan”, bentuk Islam kultural yang diterima setiap Muslim sebagai seruan masuknya waktu salat wajib. Kegusaran Menurunnya Nasionalisme Meski tidak kuat secara seni,  puisi Sukmawati menarik secara gagasan, puisi sebagai sastra filosofis, sastra bergagasan. Tentu saja, dilihat dalam sudut pandang ini juga, puisi Sukmawati juga  tidak begitu koherens, sebagai sesuatu yang dipentingkan dalam strukturalisme, kajian sastra yang melihat intrinsikalitas sastra dan khususnya sisi koherensi antar unsurnya, emosi, imaginasi, gagasan, dan gaya bahasa. Namun, terutama pada bait pertama puisinya, agaknya puisi Sukmawati adalah kegusaran atas menurunnya nasionalisme, dalam arti cinta tanah air, negara bangsa, yang harus menomorduakan hal-hal lain semisal etnisitas, ras, agama, golongan, bahkan hal-hal pribadi dan keluarga. Dalam tataran global, terutama di Barat, kegusaran Sukmawati itu sejalan/sebanding kegusaran kaum nasionalisnya atas kemunculan dan menguatnya monokulturalisme/populisme sebagaimana berkembangnya partai-partai ultra kanan di Eropa yang umumnya anti Islam, antipendatang, antikemapanan, dan anti-Uni Eropa. Nasionalisme yang dulu menguatkan integrasi dan inklusivisme, kini justru sebaliknya, menguatkan sisi eksklusivisme dan juga tidak menjadi kekuatan yang mengintegrasikan antar elemen bangsa. Belakangan, jumlah partai ultra kanan di Eropa terus bertambah dan suaranya dalam pemilu terus meningkat. Misalnya Partai Kebebasan di Belanda dan Austria, Partai Front Nasional di Prancis, partai Alternatif untuk Jerman (AFD) di Jerman, dan dalam soal anti Uni Eropa dan anti imigran juga partai Theresa May, Perdana Menteri Inggris saat ini. Populisme/monokulturalisme juga bahkan muncul dalam bentuk gerakan sosial semisal Jayda Fransen, perempuan tokoh ektrim kanan dengan kelompok Britain First, grup sangat kecil yang mendiskreditkan warga Muslim di Inggris sebagai agresif, jahat, dan lain sebagainya. Patut disyukuri, partai-partai ultra kanan di Eropa Barat tersebut kalah oleh partai yang mengusung nilai-nilai Eropa yang tolerans dan demokratis. Di Belanda, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte unggul jauh atas partai kanan Geert Wilders dengan selisih 18 persen suara. Di Austria pada bulan Desember 2016,  tokoh yang diunggulkan kubu ekstrim kanan, Nobert Hofer dikalahkan oleh Alexander van der Bellen dari partai hijau. Demikian juga di Prancis. Tokoh ekstrim kanan partai Front Nasional, Marine Le Pen, dikalahkan oleh Francois Holande. Di Jerman seperti diperkirakan Angela Markel memenagi Pamilu di Jerman September 2017 lewat Partai Uni Demokratik Kristen (CDU) dengan raihan suara 33%, sementara AFD 12,6 persen suara, meski partai AFD untuk pertama kalinya duduk di DPR setelah 60 tahun berjuang. Berbeda dengan di Eropa, monokulturalisme di Indonesia dan belahan dunia Timur lainnya semisal di India yang mayoritas Hindu muncul dalam bentuk fundamentalisme agama, baik yang politis, maupun yang jihadis (radikal). Dalam konteks Indonesa, fundamentalisme politis bisa dilihat dari berkembangngnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan untuk fundamentalisme jihadis bisa dilihat dari kemunculan NII (Negara Islam Indonesia), Jamaah Islamiyyah yang menjadi pelaku tindak terorisme bom Bali, dan kini Mujahidin Indonesia Barat (MIB) dan Timur (MIT). Untuk MIT misalnya kelompok Santoso yang beroperasi di Poso dan banyak melakukan kontaks senjata dengan aparat keamanan Pemerintah. Paling tidak, monokulturalisme di Indonesia mengambil bentuk fundamentalisme (literalisme/skripturalisme) kultural, seperti kemunculan Jamaah Tablig sebagai gerakan literalisme yang menaikkan sisi literalisme amalan sunnah, bahkan kesunnahan yang diperdebatkan, ke tingkat yang lebih tinggi. Agaknya, yang dimaksud “cadar” dalam puisi Sukmawati di atas dalam pengertian dan tafsir fundamentalisme seperti di atas. Yang dimaksud dengan cadar juga agaknya menunjuk pada peristiwa 411 dan 212, yaitu  aksi “bela Islam” yang dilakukan umat Islam secara serentak dan masif --bahkan dinilai sebagai demonstrasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia --  yang menuntut Basuki Tjahaya  Purnama (Ahok) untuk diajukan ke pengadilan pada tanggal 4 November (4-11) dan 2 Desember (2-12) tahun 2016, juga aksi bela Islam jauh setelahnya. Meski oleh para pelakunya, paling tidak sebagiannya, sebagai penuntutan murni atas tindakan penodaan agama oleh Ahok, peristiwa 411 dan 212 sesungguhnya ada sisi positif dan negatif dilihat dari nation state Indonesia. Sisi positifnya antara lain masyarakat muslim Indonesia telah menunjukkan dirinya sebagai civil society yang dalam teori demokrasi, adalah rumah bagi demokrasi. Mereka yang digerakkan oleh media sosial berbasis IT telah melakukan monitory democracy, sebagai kekuatan check and balance atas kekuasaan. Namun, tentu ada sisi negatifnya. Bagi kalangan yang kritis dan para pembela Ahok, 411/212 adalah aksi untuk menjegal Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta, gara-gara ia berasal dari etnis dan agama minoritas yang non Islam untuk menjadi gubernur kembali. Ini adalah saraf aksi yang menjadi sentral gerakan. Mereka khawatir, ini menjadi modus baru untuk mendiskriminasi mereka yang berbeda, yang bukan wilayah usaha manusia seperti etnisitas dan agama. Ini berarti juga meruntuhkan Pancasila sebagai dasar negara bangsa Indonesia yang menekankan kebhinekaan (university in diversity). Puisi yang Problematik secara Ontologis Meski begitu, puisi Sukmawati jika dilihat secara sastra gagasan pun masih mengandung masalah ontologis, baik secara ilmu budaya maupun ilmu keislaman. Pertama, problematik bentuk nasionalisme yang diusung. Konde yang memang menampakkan keindahan kaum perempuan dengan rambut dan keelokkan lekukan tubuh, agaknya bisa dipahami sebagai nasionalisme sekular yang tidak terikat oleh agama sama sekali. Nasionalisme yang diusung masih sama dengan nasionalisme kaum sekular Indonesia pada tahun 1950-an yang menghadap-hadapkan Islam dengan nasionalisme. Puisinya mencerminkan masih cukup signifikansnya Islam abangan, meski tidak menjadi kekuatan yang mainstream, dan karenanya tesis Ricklef yang mengasumsikan kebalikannya tidak seluruhnya benar.  Padahal, Islam dan nasionalisme dalam sejarah Indonesia seiring. Keberadaan NKRI saja yang terbentuk terutama pada tanggal 18 Agustus 1945 sesungguhnya merupakan hadiah dan pengorbanan umat Islam. Demi nation state Indonesia yang beragam agama, elit kaum muslimin saat itu bersedia menghapus klausa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Kedua, menghadap-hadapkan azan dengan kidung. Keduanya secara ilmu budaya, tidak bisa dihadap-hadapkan. Keduanyaadalah bentuk kebudayaan hibrida. Dalam keduanya ada unsur Islam sekaligus juga budaya Nusantara (Indonesia) atau sebaliknya. Paling tidak, sebagian kidung, yaitu pupuh semisal Kinanti dan Asmaranda adalah bentukan para Wali Sanga, para penyebar Islam pertama Islam, sebagaimana sebagian azan dan juga bacaan Qur’an yang berdimensi langgam Nusantara. Wallah a’lam bis-shawab.[***] Selasa, 10 April 2018 http://www.rmol.co/read/2018/04/10/334650/Puisi-Sukmawati-Sebagai-Kegusaran-Menurunnya-Nasionalisme-