PUISI SUKMAWATI DAN  FENOMENA ISLAMOFOBIA/ISLAM ABANGAN
PUISI SUKMAWATI DAN FENOMENA ISLAMOFOBIA/ISLAM ABANGAN
Beberapa hari belakangan ini masyarakat Muslim terutama kalangan santri nasional Indonesia dikagetkan oleh oleh puisi Sukmawati Soekarnoputri berjudul “ Ibu Indonesia”. Puisi ini melahirkan kontroversi yang viral di media sosial. Sebagian kalangan Muslim tertentu semisal alumni 212 pun telah menggelar demonstrasi Jumat kemarin (6/4) untuk menuntut Sukmawati agar diadili. Ia dinilai telah menodai agama, sebagaimana yang dilakukan Ahok, alias Basuki Tjahaya Purnama,  sebelumnya. Sebagian mereka, bahkan menilainya lebih parah ketimbang Ahok, karena Sukmawati seorang Muslim.  Meski Sukmawati sudah meminta maaf kepada umat Islam, sebagian kaum Muslimin, bahkan sudah melaporkannya ke Polisi untuk dituntut, dibawa ke proses-proses peradilan. Para tokoh dan ahli juga terbelah, sebagaimana terlihat dalam berbagai perbincangan dan debat dari televisi hingga warung kopi, dan juga forum ilmiah. Sebagai seni yang menggunakan bahasa sebagai media, puisi Sukmawati tampak tidak kuat mengandung keindahan. Secara strukturalisme, puisinya tidak sebagai puisi yang baik. Di dalamnya kurang kuat sisi emosi seperti rima dan irama, imaginasi, gagasan, dan gaya bahasanya, terutama koherensi antar empat unsur intrinsik itu. Namun, jika diukur dengan ukuran sastra sebagai defamiliarisasi, maka puisi Sukmawati adalah puisi yang mengandung simbol-simbol yang tidak bisa dipahami dengan pemahaman/pemaknaan terhadap bahasa biasa. Di dalamnya mengandung makna tersirat (konotatif), bukan makna tersurat (denotatif). Di dalamnya ada kata “konde ibu Indonesia” yang dibandingkan dengan “cadar”, dimana yang pertama disebut lebih cantik. Ada juga kata “kidung” yang disebutnya lebih merdu dari “azan”.   Sebagai Fenomena Islamofobia/Islam Abangan Dilihat sisi gagasan, terutama pada bait pertama puisinya yang membandingkan “konde” dengan “cadar”, bisa saja puisi Sukmawati  dimaknai sebagai kegusaran atas menurunnya nasionalisme, dalam arti cinta tanah air, negara bangsa, yang harus menomorduakan hal-hal lain semisal etnisitas, ras, agama, golongan, bahkan hal-hal pribadi dan keluarga. Puisinya bisa dinilai sebagai kegusaran atas munculnya fenomena monokulturalisme dalam bentuk  fundamentalisme Islam. Cadar bisa dipahami sebagai pola keislaman yang terlalu ke kanan yang melewati batas-batas kemoderatan (wasathiyyah) Islam, karena mayoritas (mainstream)  ulama --sebagai moderatisme Islam-- menyebut aurat kaum permpuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan telapak tangan. Cadar bisa dimaknai sebagai fenomena fundamentalisme politis  yang bisa dilihat dari berkembangngnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan juga fundamentalisme jihadis yang bisa dilihat dari kemunculan NII (Negara Islam Indonesia) dan Jamaah Islamiyah. Cadar juga bisa dilihat sebagai menguatnya Islam yang menolak keragaman/kebinekaan, seperti keragaman agama, baik internal maupun eksternal. Kendati demikian, puisi Sukmawati jika dilihat secara sastra gagasan pun masih mengandung masalah ontologis, baik secara ilmu budaya maupun ilmu keislaman, dan juga politik, terutama pada bait keempatnya. Bait keempat puisinya menyebut “kidung” lebih merdu dari “azan”. Alasannya, karena azan dan kidung secara ilmu budaya, tidak bisa dihadap-hadapkan. Keduanya adalah bentuk kebudayaan hibrida. Dalam keduanya ada unsur Islam sekaligus juga budaya Nusantara (Indonesia), atau sebaliknya. Paling tidak, sebagian kidung, yaitu pupuh semisal Kinanti, Dandang Gula,  dan Asmaranda adalah bentukan para Wali Sanga, para penyebar Islam pertama Islam. Kidung juga sebagaimana sebagian azan dan juga bacaan Qur’an yang berdimensi langgam Nusantara, terutama langgam Jawa dan Sunda. Mencari orsinalitas dalam wilayah budaya, apalagi dalam kebudayaan populer adalah sebuah kesulitan besar, mengingat kebudayaan populer kontemporer merupakan kebudayaan tambal sulam yang mengejar kebaruan dan keragaman sesuai tuntutan percepatan penggantian produk agar tidak bosan. Azan yang dulu disuarakan di atas menara dan kini lewat speaker yang berada di dalam menara masjid sendiri merupakan kebudayaan hibrid Islam dengan kebudayaan Persia, yaitu menara api agama Zoroaster. Selain itu, azan sebagai wilayah kultural Islam harusnya juga tidak ditolak, mengingat penerimaan Islam kultural di Indonesia sudah terjadi, bukan hanya pada zaman kerajaan Islam melainkan  pada zaman Hindia Belanda sekalipun. Sebagaimana bisa dibaca dalam berbagai buku sejarah, Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 telah membentuk Het Kantoor Voor  Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Pribumi). Pada dasranya, kantor ini berkutat dalam urusan agama Islam. Tuganya memberikan saran kepada Pemerintah dalam masalah yang berkaitan dengan umat Islam. Saat lembaga ini dipimpin oleh C. Snouck Hurgonje, sesuai visi negara sekularnya, ia menasehati Pemerintahan Hindia Belanda agar memisahkan Islam sebagai sebagai politik dan Islam sebagai budaya. Yang dimaksud dengan Islam sebagai wilayah kultural oleh Snouck Hurgronje (penasehat resmi Pemerintah Belanda sejak tahun 1889) adalah wilayah ibadah termasuk di dalamnya azan  dan hukum keluarga (NTCR [Nikah, Tolak, Cerai dan Rujuk]). Berbeda dengan Islam sebagai entitas politik, dalam wilayah Islam kultural, Pemerintah Hindia Belanda harus mendukung sepenuhnya, meski sebelumnya haji sempat dibatasi. Dengan cara ini, Pemerintah Hindia Belanda mendapat dukungan politik dari elit keagamaan di Indonesia. Lewat politik Islam ini, nation state yang sekular sebagai dibentuk pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda memperoleh stabilitas politik yang baik, setidaknya telah membuat Belanda berkuasa cukup lama, meski juga dipengaruhi banyak faktor lain juga. Berdasarkan paparan kebudayaan hibrida dan juga Islam kultural pada masa Hindia Belanda di atas, sikap Sukmawati lewat puisinya, terutama bait keempatnya, kita agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa ternyata Islamofobia, termasuk di dalamnya ketakutan terhadap Islam sebagai wilayah kultural saja ternyata masih ada. Sukmawati yang tampak dalam sikapnya melalui puisi bisa dipahami dalam tafsir seperti ini. Jika Islamofobia terhadap pola Islam radikal yang membawa “pentungan” tentu saja bisa dipahami. Namun, agak sulit dipahami untuk Islam kultural. Kesimpulan ini akan lebih kuat lagi, jika di bait pertama, kata cadar disamakan dengan jilbab, karena konde berarti tidak mengenakan jilbab. Ini tidak terlalu keliru juga, karena keberadaan kerudung/jilbab juga di tolak pada tahun 1980-an pada masa Orde Baru dan juga di sebagian  tempat di Papua. Puisi Sukmawati terutama bait keempatnya juga memperlihatkan bahwa adanya realitas yang berbeda dengan tesis MC. Ricklefs. Menurutnya, kini pendekatan santri-abangan (Islam taat dan Islam nominal) dalam melihat Islam Indonesia periode akhir Orde Baru dan kontemporer tidak lagi relevan. Bersikap agamis termasuk didalamnya menyenangi suara azan dan tentu saja menghadiri pengajian kini tidak lagi akan menghambat prospek karir di lembaga politik seperti di Golkar sekalipun. Kini, Islam telah tumbuh menjadi semacam tren di Indonesia, termasuk di dalamnya penggunaan kerudung. Sejak tahun 1990-an, kaum santri kini tidak lagi menjadi minoritas dalam masyarakat Jawa seperti pada tahun 1950-an. Yang menjadi minoritas kini kaum abangan. Namun, bukan berarti, kini kaum abangan menghilang, melainkan tak lagi memiliki signifikansi. Bagi Ricklef, hal itu terjadi karena modernisasi kelembagan pendidikan Islam teruatama IAIN/UIN, keberadaan DDII (Dewan dakwah Islamiyah Idonesia) yang didirikan Moh. Natsir, lembaga pendidikan Islam non IAIN atau di bawahnya, dan lembaga pendidikan Muhammadiyah.  Tentu saja, gerakan dakwah dan pendidikan Islam bukanlah satu-satunya faktor. Yang juga ikut berpengaruh adalah kebijakan depolitisasi Islam Orde Baru yang membuat energi umat Islam ke dakwah, sirkulasi media masa Islam serta buku-buku Islam, dan keharusan mata pelajaran agama diajarkan di sekolah umum milik Pemerintah. Berbeda dengan Ricklef di atas, keberadaan Sukmawati yang tampak dalam puisinya itu dan mungkin banyak dari elite di negeri ini yang sama, boleh jadi mungkin kaum Muslim abangan di Jawa dan juga di Indonesia ternyata masih kuat, meski mungkin secara jumlah boleh jadi tidak signifikans. Sisi ini juga bisa dimaknai sebagai “kegagalan” dakwah Muhammadiyah dan NU, juga ormas Islam lain dan kelembagaan masjid serta para pendakwah  yang tidak menyentuh kalangan tertentu, paling tidak itu harus menjadi renungan mereka.  Karenanya, akan lebih arif, jika umat Islam Indonesia lebih bersikaf memaafkan, karena Sukmawati sendiri sudah meminta maaf, sebuah sikap ihsan (berbuat baik kepada mereka yang bersalah/jahat) yang lebih tinggi nilainya ketimbang qishash (menuntut balas). Wallah a’lam bis-shawab