Puasa dan Konsumerisme
Sumber Photo. dwikiprasetya.blogspot.com
Sebagaimana sudah jamak diketahui, puasa bukanlah sekadar tidak makan dan minum serta menghindari seks seharian penuh, melainkan bersikap dengan menunjukkan kekayaan ruhaniah pelakunya seperti tidak tamak (serakah), jujur, amanah, sabar, pemaaf, dan syukur. Puasa sering disebut madrasah ruhaniah untuk menciptakan manusia muttaqin, manusia yang menghindari tindakan buruk yang dikendalikan nafsu jasmaniah. Dalam perspektif puasa, nafsu jasmaniyah/material yang disimbolkan dengan makan, minum, dan seks bukanlah sesuatu yang buruk. Ia tidak harus dimatikan sama sekali, tetapi dikurangi dan dirusak sebagiannya agar bisa dikendalikan nurani dan akal ruhaniah (spiritualisme). Diharapkan, selama sebelas bulan ke depan, spiritualismelah yang dominan dan mendahului kecenderungan material pelaku puasa, sehingga inti kemanusiaan yang menghiasi kesehariannya, bukan kehewanan. Puasa, karenanya, menentang paradigma materialisme yang memandang kebahagiaan terletak pada penguasaan dan penikmatan materi (kebendaan) seperti uang, mobil, dan rumah mewah. Dalam materialisme, kebendaanlah yang mendominasi orang yang menganut atau menjalaninya. Sebaliknya, puasa menekankan bahwa kebahagiaan tertinggi adalah kebahagian sosial yang disimbolkan zakat fitrah dan memberi makanan untuk berbuka, dan terutama kebahagiaan spiritualisme seperti dirasakan saat berpuasa, saat hendak berbuka, dan salat Tarawih. Yang lebih tampak lagi, spiritualisme dalam puasa terlihat dalam konsepsi bahwa puasa adalah kontrak antara seorang yang berpuasa dengan Tuhannya. Seorang yang berpuasa merasa diawasi Allah dan melakukan kontrak dengan-Nya. Karenanya, ia tidak minum, makan, dan melakukan seks, meski tidak ada manusia lain yang melihat dan mengawasi. Puasa menekankan kejujuran sebagai fondasi integritas dan spiritualisme. Itulah yang membuat puasa istimewa, yang dalam hadis dijelaskan bahwa seluruh amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa untuk Allah. Puasa sebagaimana tindakan berkorban pada Idul Adha, di mana Allah tidak melihat daging dan darah hewan yang dikorbankan pelakunya, tetapi taqwa/sisi spiritulitas pelakunya. Puasa dan Konsumerisme Kontemporer Berdasarkan penjelasan di atas, puasa berarti bertentangan, meski tidak keseluruhan, dengan konsumerisme yang berkembang dan popular saat ini. Sebagaimana yang bisa dibaca dari buku-buku posmodernisme, berbeda dengan konsumerisme dahulu, kini konsumerisme posmo tidak lagi sekadar cara pandang atau hasrat menikmati atau mengkonsumsi benda karena kenikmatan dalam mengkonsumsinya sesuai tuntutan nafsu yang tiada akhir. Namun, lebih dari itu, yaitu memiliki dan melakukan kegiatan mengkonsumsi sebagai eksistensi.
Konsumerisme juga lebih tinggi ketimbang materialisme yang melihat keberadaan seseorang dilihat dari sisi seberapa banyak materi (kebendaan dan uang) yang dimiliki, tetapi lebih dari itu, yaitu apakah benda yang dimiliki mengikuti kebaruan/tren atau tidak. Konsumerisme, karenanya, tidak lagi sebagai kebudayaan benda semata, tetapi meletakkan konsumsi sebagai panggung sosial yang didalamnya makna-makna sosial diperebutkan. Produk-produk konsumsi kini menjadi suatu medium pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Kini benda/komoditi yang dibeli bukan lagi semata-mata karena bendanya semata, tetapi makna-makna di balik benda. Nilai suatu benda tidak lagi pada fungsinya (sekadar objek utilitas), melainkan pada nilai atau citra seperti citra baru dan trendi. Jam tangan emas, pulpen, dasi, jas, ikat pinggang, sepatu, mobil mewah, dan rumah luas dengan gaya terbaru, merupakan kata-kata yang bercerita mengenai gaya hidup dan posisi kelas sosial pemilik/penggunanya meski hasil meminjam. Komoditi menjadi ajang permainan semiotika, status, prestise, dan sensualitas komunikasi pemasaran. Jika terus mengikutinya, maka yang didapat para konsumeris kontemporer pun sesungguhnya realitas semu, bukan kebahagiaan yang sejati yang ditekankan puasa, meski boleh jadi kesemuan dipandang lebih menyenangkan ketimbang realitas bagi sebagian penikmatnya. Konsumerisme posmodernis di atas dibangun mengikuti siklus fashion. Setiap orang merasa perlu memperbaharui diri mereka setiap tahun, setiap musim, atau setiap bulan lewat pakaian, dan barang-barang yang dianggap baru oleh mereka. Bila tidak, mereka merasa tidak menjadi anggota sejati masyarakat konsumeris dan ini dinilainya menggangu eksistensi mereka. Padahal, apa yang dipandangnya baru sesungguhnya tidak lebih hanyalah daur ulang semata, karena sifat produk yang dijajakan kapitalisme global mutakhir hanya mengulang tanda-tanda dan idiom tanpa akhir. Di sini sesugguhnya tidak ada yang benar-benar baru. Yang ada hanyalah nihilisme, bukan substansialisme seperti yang ditekankan puasa. Konsumerisme di atas sengaja dibangun oleh kapitalsime global demi mendapatkan pelipatgandaan modal dan keuntungan, sesuatu yang lagi-lagi bertentangan dengan nilai puasa yang menganjurkan kesederhanaan hidup, atau paling tidak, tidak boleh dikendalikan materi. Berbeda dengan kapitalisme sebelumnya, kapitalisme global kontemporer kini mengikuti model pertumbuhan tidak atas dasar satu akar, meski beranting banyak. Kapitalisme global mutakhir mengikuti model pertumbuhan rizome, model pertumbuhan umbi-umbian atau tumbuhan merambat, yang tidak bergantung pada akar tunggang. Namun, mampu bertumbuh melalui pelpatagandaan akar dan kombinasi, serta melalui proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi untuk menghasilan suatu aransmen baru dan pelipatgandaan keuntungan yang dahsyat. Segala aspek dan teritorial pun dijamahnya dan dikapitalisasikan. Dari mulai politik, seks, olahraga, pendidikan, kebugaran, tubuh, keamanan, bahkan kematian. Segala sisi kehidupan dikomersialisasikan. Tentu saja, yang utama adalah yang dikenal tiga f: food, fantasy, dan fashion.
Lewat paradigma konsumerisme di atas, mall-mall/pusat-pusat perbelanjaan pun kini telah melampaui konsep awalnya. Mall-mall telah disulap oleh kapitalisme mutakhir yang mendorong konsumerisme menjadi pusat pembentukan gaya hidup, pusat aktivitas sosial dan akulturasi, tempat pembentukan citra-citra dan eksisitensi diri, bahkan menjadi sumber informasi, pengetahuan, tata nilai, dan moral. Lalu apa paradigma/ideologi yang menjadi fondasi konsumerisme dan kapitalisme posmodernis di atas? Jawabannya adalah paradigma/ideologi pluralisme dan kecepatan/peremajaan. Dalam modernisme, kebudayaan sebelum posmodernisme, identitas atau cara pandang dibangun di atas prinsip oposisi binner: modern/primitif dan progressif/dekaden. Ringkasnya, mengunggulkan yang satu atas yang lain. Sementara dalam posmodernisme (konsumerisme dan kapitalisme mutakhir), identitas dibangun di atas wacana pluralisme. Identitas dan komoditi bagaikan padang pasir. Tidak ada yang satu atas yang lain dinilai lebih unggul. Dalam konsumerisme dan kapitalisme posmodernis, pencarian identitas dan produk adalah sebuah pengembaraan tanpa akhir yang didalamnya tidak ada satu representasi identitas yang dominan. Kehadiran perbedan-perbedaan pun, sebagaimana dikatakan Barthes, bukanlah dipancangkan pada posisinya yang abadi atau untuk dihancurkan, tetapi untuk dilipatgandakan. Kini, komoditi yang modern dengan yang tradisonal pun dijajakan oleh kapitalisme global secara berdampingan tanpa dipandang yang kedua lebih rendah. Untuk mendukung pluralisme komoditi itu, dikembangkanlah ideologi/paradigma lanjutan, yaitu peremajaan/kecepatan. Kapitalisme mutakhir yang di atasnya terbangun konsumerisme baru menyuguhkan rangkaian produk dan pelayanan suasana serta lingkungan yang selalu diremajakan. Di dalam wacana kapitalisme berkembang kebutuhan untuk memperpendek daur hidup produk dan gaya oleh produser sebagai ideologi masyarakat konsumer. Setiap orang merasa perlu membeli jam tangan atau HP baru misalnya, meskipun sebenarnya ia tidak membutuhkan. Citra-citra yang disuguhkan media masa dan komoditi di supermarket silih berganti muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi. Gaya-gaya dan produk-produk mengalir dalam kecepatan tinggi di supermarket. Kini kapitalisme mutakhir tak lebih dari sebuah panggung tempat drama kecepatan dipertunjukkan. Pada hakekatnya tak ada bedanya antara pembalap di sirkuit mobil, para ahli di pusat strategi militer, para produser dan pekerja di pabrik, dan para konsumer di pusat perbelaanjaan. Semuanya berpacu dalam kecepatan. Manusia kian melebur dangan hutan riumba citra-citra yang mengalir secara dahsyat bagaikan kilat dan fatamorgana. Mereka terjerat dalam irama kecepatan dan percepatan. Manusia tidak lagi mengontrol objek, melainkan dikontrol oleh sistem objek-objek. Manusia kini hidup dalam sebuah kegairahan konsumsi. Dengan begitu, manusia kontemporer kini menginginkan objek-objek bukan disebabkan ketidakcukupan alamiah yang ada dalam dirinya, melainkan ketidakcukupan batiniah yang dibangun, diproduksi dan direproduksi sendiri oleh dirinya. Dalam bahasa yang sederhana, manusia kontemporer lewat budaya konsumerisme dimana siklus kehidupannya perubahan abadi (tak putus-putus), dikendalikan oleh logika hawa nafsu, yang ditentang puasa. Bahkan, jika yang terjadi fetisisme terhadap komoditi tertentu (sikap yang mengangap adanya kekuatan atau daya pesan spiritual yang bersemayam di dalamnya), maka konsumerisme bertentangan dengan tauhid. Tentu saja anomali dari idealitas puasa seringkali muncul ke permukaan (yang menjadi fenomena sosial), tapi pandangan dan cara hidup yang menentang konsumerismelah, meski tidak harus mutlak, yang justru diharapkan dari nilai puasa. Wallahu a'alam.
Publish Ulang dari Detik News - Selasa, 23/08/2011 09:50 WIB