Pola Keislaman dan   Kata Serapan/Ambilan Arab:  Dari yang Moderat hingga Fundamentalis
Pola Keislaman dan Kata Serapan/Ambilan Arab: Dari yang Moderat hingga Fundamentalis
Oleh : Sukron Kamil Dalam literatur dan realitas sosial keagamaan di Indonesia, terutama pasca Orde Baru, salah satu fenomena yang menonjol adalah munculnya banyak kata serapan dan ambilan Arab yang sebelumnya tidak dikenal. Kata serapan Arab adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, namun sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia dan ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sedangkan kata ambilan Arab adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, diambil dengan ditransliterasi, dan belum menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Misalnya kata khilafah, daulah Islamiyyah, dan thagut. Jika itu dilakukan oleh kalangan Islam yang pola keagamaannya moderat yang mainstream, tentu tidak mengkhawatirkan. Namun, menjadi masalah saat dilakukan kalangan yang pola keagamaannya fundamentalis, terutama fundamentalis politis, apalagi yang jihadis (radikal/teroris). Disebut masalah, karena kalangan fundamentalis Islam politis bertujuan ingin mengubah NKRI –juga Pancasila, UUD 1945, dan demokrasi (pilar-pilar Negara)-- secara damai, karena dinilainya kafir, meski tidak harus diperangi seperti keyakinan kalangan fundamentalis jihadis, tetapi didakwahi. Di antara kalangan fundamentalis politis adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan MMI (Majlis Mujahididn Indonesia). Sedangkan yang jihadis adalah JI (Jama’ah Islamiyyah), Ansharut Tauhid, NII (Negara Islam Indonesia), dan belakangan ISIS (Islamic State in Irak and Syiria). Kalangan jihadis terbukti terkait dengan banyak tindak terorisme, dimana Indonesia kini sedang mengalami “darurat” terorisme. Selain itu, disebut masalah, juga karena bahasa serapan dan ambilan Arab identik dengan Islam, bahkan kedalaman Islam. Karenanya, bisa menjadi daya tarik tinggi karena muatan sentimen agama di dalamnya yang memudahkan mereka dalam merekrut anggota baru. Karenanya, saya dan kawan-kawan pada sekitar Juni hingga Desember 2013 mengkaji isu di atas. Hasilnya adalah semakin fundamentalis sebuah organisasi/gerakan Islam, semakin banyak kosa kata ambilan Arab yang digunakan. Paling tidak, ini berlaku dalam teks-teks sosial politiknya. Jumlah kata ambilan dan serapan Arab, dalam teks-teks keislaman dari ormas/gerakan fundamentalisme Islam lebih banyak ketimbang teks keislaman ormas Islam mainstream yang moderat/akomodatif semisal NU (Nahdhatul Ulama) dan Muhammadiyah. Bahkan, di sebagian teks kaum fundamentalis, yaitu di kalangan fundamentalis dakwahis yang fokus pada dakwah seperti JT (Jama’ahTabligh), teks-teks bidang ibadah dan budaya juga kata ambilan Arabnya lebih banyak. Ini bukan berarti kata ambilan Arab, terutama kata serapannya, dalam teks keislaman kalangan Islam mainstream yang moderat tidak banyak. Hanya saja, jumlahnya secara umum lebih sedikit. Paing tidak dalam teks keagamaan mereka yang berisi bidang sosial politik. Agaknya, banyaknya kata serapan dalam teks keagaman kalangan Islam mainstream --meski dalam jumlah jumlah yang lebih sedikit-- ini terkait dengan banyak faktor. Di antaranya adalah kebudayaan harmoni kalangan Islam mainstream yang moderat dengan kebudayaan Arab sebagai kebudayaan luar; kata serapan Arab memang merupakan realitas dalam bahasa Indonesia, termasuk bidang sosial politik; menunjukkan Islam memiliki relevansi yang kuat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan; dan kekayaan kultural dan makna bahasa Arab yang lebih baik ketimbang bahasa Indonesia, karena faktor historisitasnya yang lebih panjang. Dalam beberapa kasus, hal itu terjadi karena padanannya dalam bahasa Indonesia tidak mewakili sepenuhnya, mengingat kata Arab lebih bercita rasa agama, dan sebagiannya lagi, karena dalam bahasa Indonesia memang tidak ditemukan sama sekali bahasa yang representatif. Temuan lainnya adalah kata serapan Arab, terutama ambilan Arab yang dipakai ormas/gerakan Islam memperlihatkan pola pikir/pola keagamaannya.Temuan ini mendukung teori mentalis Noam Chomsky dalam linguistik. Kata ambilan Arab yang dipakai kalangan fundamenatlisme, baik yang dakwahis, politis, maupun yang jihadis sebagian besarnya tidak dikenal/tidak populer di kalangan Islam mainstream yang moderat. Agaknya, sebagiannya terkait dengan kenyataan bahwa kalangan Islam mainstream yang moderat tidak mempunyai agenda Islamic state dan tidak mempunyai praktik/tradisi yang menujuk pada kata ambilan Arab yang dipakai kaum fundamentalis. Di kalangan fundamentalisme Islam yang dakwahis (JT/Jamaah Tablig) misalnya dikenal kata ambilan Arab seperti mahalah (masjid yang amal dakwahnya hidup), jaulah (door to door berkeliling ke rumah kaum Muslimin untuk berdakwah), dan khuruj (keluar kampung/kota/negeri untuk berdakwah). Di kalangan fundamentalisme politis (HTI), dikenal marhalah at-tatsqif (tahapan pembinaan/pengkaderan), marhalah tafa’ul ma’a al-ummah (tahapan berinteraksi dengan umat), marhalah istilam al-hukm (tahapan penerimaan pemerintahan Islam), daulah khilafah Islamiyyah (negara kekhalifahan Islam), halaqah (duduk melingkar untuk mengaji), dan mabda (ideologi). Di kalangan fundamentalisme jihadis (NII/JI), dikenal kata ambilan Arab semisal daulah Islamiyah (negara Islam), istisyhad (memburu mati syahid), taslim (prosesi masuk Islam [NII/JI] di hadapan imam), hakimiyyah (kekuasaan Allah lewat hukum-Nya), jihad hujumi (jihad ofensif), thaghut (kekuatan/pemerintahan syetan), ahluts tsughur (orang-orang yang berada di medan jihad), dan fa’i (harta rampasan perang).Di kalangan Islam mainstream, sebagian besar kata ambilan Arab di atas tidak dikenal. Sekalipun dikenal, makna dan tafsirannya berbeda. Bahkan, dalam teks keislaman kalangan fundamentalisme Islam jihadis, ditemukan sejumlah kata ambilan/serapan Arab yang di kalangan Islam mainstream juga dikenal/dipakai. Namun, di tangan kalangan pertama kata itu berubah makna dan konteksnya menjadi bermuatan/bercita rasa jihadis (militersitik). Misalnya mustadh’afin (berarti negara yang lemah secara militer yang perlu dibantu) dan akhlakul karimah (bukan hanya akhlak Nabi yang lembut, melainkan juga yang sebaliknya). Jika kata ambilan/serapan Arab itu dianalisis lewat analisis sintaktikal (hubungan kata serapan/ambilan Arab dalam membentuk kalimat dan hubungan antar kalimat) dan juga analisis konteks sosial (pandangan sosial keagamaan ormas), maka teks-teks buku keislaman yang diteliti lebih menunjukkan lagi pola/tipologi keagamaaan ormas yang menggunakannya. Tek-teks buku keislaman fundamentalis menunjukkan pola fundamentalismenya. Sementara teks-teks buku keislaman kalangan Islam mainstream juga menunjukkan pola keislamannya yang moderat/akomodatif.   Analisis sintaktikal dan kontektual atas teks keislaman JT umpamanya memperlihatkan dakwah bukan tugas ulama saja dan dakwah tidak boleh menerima bayaran. Bahkan, analisis itu juga menunjukkan keharusan berpenampilan sebagaimana sahabat Nabi (memakai jubah dan berjenggot). Berbeda seratus persen dengan Islam fundamentalis jihadis, kalangan Islam mainstream menganggap final NKRI, tidak tekstual, menerima Barat dalam sebagian besarnya, tidak anti semua hal-hal yang berbau sekular, toleran terhadap kelompok Islam lain yang tidak sepaham, memberikan hak yang adil kepada perempuan dan non Muslim, dan menolak kekerasan dalam berdakwah dan membela keyakinan. Berbeda sedikit dengan yang jihadis, kalangan Islam fundamentalis politis. Mereka hanya menolak kekerasan dalam mendakwahkan dan membela keyakinan. Sementara kalangan Islam fundamentalis dakwahis hamper sama dengan Islam mainstream,hanya berbeda pada beberapa bagian saja. Misalnya literalisme pada hal-hal yang dianggap sunnah (dianjurkan), bahkan sunnahnya pun diperdebatkan. Temuan lainnya adalah salah satu akar problem pola keagamaan fundamentalisme kontemporer di Indonesia, terutama yang jihadis yang melahirkan tindak terorisme, ternyata adalah pemahaman agama yang berawal dari literalisme. Teks harfiah Qur’an, hadis, dan sejarah dinilai mereka sebagai sesuatu yang taken for granted. Tentu saja literalisme itu berubah menjadi terorisme saat bertemu faktor lain, yaitu perasaan atas adanya ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan. Sebagai Muslim, kaum teroris seperti Imam Samudra merasa diperlakukan tidak adil oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Srrikat/AS, bahkan AS dianggap sudah melampau batas. Temuan riset juga adalah adanya kemungkinan terjadi pergeseran kaum fundamentalis Islam, dari dakwahis ke politis bahkan ke jihadis. Wallah a’lam. Penulisadalah guru besar yang juga Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta