Perpustakaan sebagai Mihrab Ilmu (Refleksi Sufi dan Paradigma Kepustakawanan Profetik di Era Digital)
Oleh: Dr. Ade Abdul Hak, S.Ag., S.S., M.Hum., CiQnR
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan perpustakaan dalam tradisi keilmuan Islam? Apakah ia hanya ruang menyimpan koleksi atau sesuatu yang lebih mendalam? Dalam pandangan para ulama terdahulu, perpustakaan tidak sekadar ruang baca atau gudang buku. Ia adalah ruang sunyi tempat ruh bertafakur, tempat akal dan wahyu berdialog, dan tempat jiwa mencari arah. Maka, tak mengherankan jika mereka menyebutnya sebagai mihrab ilmu—sebuah tempat sujudnya akal dalam pencarian makna.
Makna mihrab sendiri tidak harus selalu bersifat fisik seperti yang kita lihat di masjid. Ia bisa juga berupa ruang digital—layar yang terbuka di hadapan kita, tempat kita mengakses, membaca, dan merenungi ilmu. Bagi saya, yang penting dari mihrab adalah arah dan kesadarannya: apakah ruang itu membawa kita mendekat pada hikmah dan kebijaksanaan, atau hanya sekadar menjejali diri dengan informasi yang tak bernilai.
Dalam semangat itulah saya mulai merumuskan gagasan Kepustakawanan Profetik—sebuah pendekatan terhadap dunia perpustakaan yang tidak sekadar teknis, tetapi juga bernilai, membebaskan, dan menyadarkan. Saya merasa, perpustakaan di lingkungan kampus Islam perlu bertransformasi. Ia harus menjadi ruang hidup yang mendukung kemanusiaan, keadilan, dan keterhubungan spiritual. Bukan sekadar tempat koleksi, tapi tempat kontemplasi dan transformasi.
Inspirasi awal saya datang dari pemikiran Imam al-Ghazali. Dalam al-Munqidz min al-Ḍalāl, beliau mengisahkan pencarian panjangnya—dari dunia filsafat, kalam, hingga akhirnya menemukan kedamaian dalam ilmu yang jujur dan spiritual. Al-Ghazali menyadarkan saya bahwa ilmu yang tidak dihidupi oleh niat dan tujuan ilahi hanyalah kehampaan yang menyilaukan.
Tak kalah penting, Syekh Abdul Qodir al-Jailani dalam Sirr al-Asrār menekankan bahwa ilmu sejati hanya akan lahir jika seseorang mampu menggabungkan antara syari’ah dan ma’rifat. Ilmu yang berhenti di kepala tanpa menyentuh hati hanyalah hafalan. Tapi ilmu yang dirasakan dalam batin, dijalani dengan adab, dan ditujukan untuk kebaikan semesta—itulah hikmah. Dan saya percaya, perpustakaan bisa menjadi ladang tumbuhnya hikmah semacam itu.
Dari keduanya saya belajar bahwa ilmu dalam Islam selalu berpijak pada kerangka epistemologi integratif—yakni menyatukan akal, wahyu, dan pengalaman ruhani. Maka saya yakin, perpustakaan yang ideal harus menampung semangat ini. Ia tidak boleh netral. Ia harus berpihak—pada kemanusiaan, pada pencerahan, pada kejujuran intelektual.
Pemikiran ini semakin terang ketika saya menyelami karya Sa’id Nursi. Dalam tafsirnya atas konsep imam mubīn, ia menjelaskan bahwa segala realitas telah tersimpan dalam sistem Ilahi yang terstruktur, penuh indeks dan program. Dari sanalah ia membangun gagasan pengetahuan kolektif ilahi—ilmu yang bukan sekadar data, tapi bagian dari jaringan makna yang berasal dari Tuhan.
Dan kini, saat kita hidup dalam zaman Big Data dan AI, saya semakin yakin bahwa tafsir Nursi ini bersifat visioner. Dulu, mungkin kita tak bisa membayangkan dunia dengan data tak terbatas yang mencatat semua hal. Tapi kini, kita justru mengalaminya. Perbedaannya, sistem ilahi yang digambarkan Nursi bersifat bermakna, bernilai, dan penuh hikmah—berbeda dengan arus digital hari ini yang sering kali dingin, netral, bahkan membingungkan. Maka perpustakaan hari ini harus hadir bukan hanya sebagai gudang data, tapi sebagai penjaga makna. Dan pustakawan profetiklah yang menjalankan peran itu.
Pemikiran ini lalu menemukan resonansi lokal dalam karya Kuntowijoyo dan A.M. Ahimsa-Putra. Kuntowijoyo lewat konsep Pengilmuan Islam mengajak kita untuk membangun ilmu dari fondasi wahyu dan realitas historis Islam, agar ilmu tidak sekadar deskriptif, tapi juga transformatif. Sementara Ahimsa memperluasnya dengan pendekatan antropologi profetik, yang menyatukan kesadaran kultural, kepekaan sosial, dan arah spiritual. Di titik inilah, saya semakin yakin bahwa perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tapi ruang dialektika sosial dan spiritual.
Maka lahirlah definisi saya tentang Kepustakawanan Profetik: sebuah paradigma kepustakawanan yang berpijak pada nilai-nilai kenabian, yang bertujuan untuk humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dalam ruang ini, informasi tidak sekadar diakses, tapi dihayati. Bacaan tidak hanya dicerna, tapi direnungi.
Tentu, untuk menjadi kokoh, gagasan ini saya bangun di atas empat asumsi dasar. Pertama, bahwa ilmu bersumber dari wahyu, maka pustakawan bukan hanya penjaga data, tapi penjaga nilai. Kedua, bahwa manusia adalah subjek utama transformasi, maka pustakawan hadir untuk memanusiakan, bukan mengobjekkan. Ketiga, bahwa perpustakaan punya peran transformasional, berpihak pada pencerahan. Dan keempat, bahwa ilmu yang sejati mengantar pada Tuhan, bukan menjauhkan.
Di tengah dunia yang makin cepat, algoritmik, dan kadang kehilangan arah, pustakawan profetik hadir sebagai penjaga ruh pengetahuan. Ia adalah fasilitator makna, pembangun kesadaran, sekaligus sahabat spiritual bagi pencari ilmu.
Dan saya percaya, setiap kali kita melangkah masuk ke perpustakaan—baik fisik maupun digital—kita sebenarnya sedang masuk ke mihrab ilmu. Tempat di mana ruh mencari cahaya dan akal menemukan arah. Di ruang ini, pemikiran dari al-Ghazali, Syekh Abdul Qodir, Sa’id Nursi, Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra, dan sedikit dari saya sendiri, saling menyapa. Mereka tak hanya membentuk ruang baca, tetapi membangun rumah pencerahan dan jalan spiritualitas yang sangat kita butuhkan hari ini.