Pendidikan di Indonesia Sebagai Pelanggengan Mentalitas Kuli
Di masa pemerintahan sekarang, Kementerian Riset dan Teknologi pun disatukan dengan urusan Pendidikan Tinggi sehingga namanya menjadi Menristekdikti. Dua urusan besar, yaitu riset serta mendidik, disatukan begitu saja dan menyisakan banyak pertanyaan, lalu dalam audiensi Dewan Riset Nasional dengan Menristekdikti muncul arahan agar kiranya “riset jangan hanya menghasilkan publikasi’hanyanangkring di perpustakaan’ tapi harus sampai tahap pemecahan riil.” Arahan itu rupanya kini sudah ditetapkan pula menjadi salah satu syarat bagi seorang akademisi untuk bisa menjadi Guru Besar, yaitu harus menulis di jurnal nasional terakreditasi berupa penelitian empiris yang menawarkan solusi. “semua kegiatan riset perlu dilaksanakan dalam ‘spirit hilirisasi’ ke dunia industri, dan hak paten serta hak cipta hanya diberlakukan apabila sudah produktif (komersial).”
Selain itu, “perencanaan riset perlu dibalik: kebutuhannya apa, baru dilakukan risetnya “research by order”, dan bersifat ‘target costing’ (penentuan biaya produksi terlebih dahulu untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif, sehingga nantinya produk tersebut akan memperoleh laba)” dan diusulkan agar lembaga litbang dan perguruan tinggi berada dekat dengan kawasan industri sehingga peneliti dapat melakukan praktik di industri. Hal semacam ini bukanlah sesuatu yang baru terjadi di Indonesia, bahkan semenjak masa Orde baru pun sudah ada program ‘linkand match’ namun saat didirikannya kementerian baru yang menggabungkan riset dan teknologi dengan pendidikan tinggi, maka semakin vulgar saja visi bahwasanya pendidikan tinggi itu bukanlah untuk mengembangkan peserta didik sebagai manusia yang utuh, tetapi hanya untuk menghamba menjadi ‘sekrup industri’.dan Ketika pendidikan tinggi menjadi alat ekonomi atau komoditi total, maka ia akan terperangkap di dalam mekanisme komoditi itu sendiri. Theodor Adorno & Max Horkheimer, di dalam buku mereka Dialectic of Enlightenment, mengatakan bahwa ketika segala sesuatu (termasuk pendidikan tinggi) terperangkap di dalam sistem komersial, maka ia akan terpenjara pula di dalam apa yang disebutnya industri kebudayaan. Adorno & Horkheimer menggunakan istilah ini untuk menjelaskan fenomena Fasisme pikiran, yaitu pengaturan masyarakat dan pikirannya secara sentral dari atas, serta penyeragaman pikiran mereka lewat berbagai media massa dan komoditi. Industri kebudayaan merupakan satu bentuk pengomandoan masyarakat dari atas, layaknya Fasisme. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adorno & Horkheimer, “setiap orang harus bertingkah laku sesuai dengan kondisi yang telah dirancang dan ditetapkan untuk mereka sebelumnya.” Bagi Adorno & Horkheimer, industri kebudayaan tak lebih dari sebentuk baru dehumanisasi lewat kebudayaan, Meskipun Adorno & Horkheimer melihat fenomena pengaturan (pikiran, tindak tanduk, selera, gaya hidup) masyarakat secara sentralistik dan totaliter ini di dalam masyarakat konsumer, akan tetapi pola-pola yang sama juga berlaku di dalam dunia pendidikan, sebagai alat ideologi negara maupun sebagai alat ekonomi. Dalam hal ini, pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang hanya siap berkerja di industri “link and match” merupakan sebentuk kekerasan budaya. Sistem pendidikan memaksa setiap orang menjadi pekerja, menjadi sekrup di dalam mesin industrialisasi. Struktur pendidikan seperti ini hanya akan menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, dan kewirausahaan, mentalitas yang justru sangat penting dalam membangun manusia-manusia pembangun di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Adalah semacam upaya untuk mendapat gambaran yang lebih kaya tentang kerumitan dan dinamika bagaimana manusia selama ini memahami dirinya. Sebuah proses panjang untuk mengartikulasikan kembali setiap kali apa yang sesungguhnya dianggap berharga oleh manusia pada tingkat dasar bagi Pengembangan Kepribadian di perguruan tinggi khususnya, bagi segala kiprah pendidikan umumnya, terutama ketika institusi-institusi pendidikan kini berkecenderungan kuat sekadar menjadi lembaga ekonomi yang menjual pengetahuan sebagai komoditas, atau mereduksi diri dengan menjadi semacam balai latihan ‘pertukangan’ belaka, yang memang melahirkan tukang yang ahli, namun tanpa visi; terampil, namun tanpa ruh dan isi. Bagaimanapun juga hidup dan kemanusiaan adalah poros utama dan dasar terdalam segala kiprah pendidikan. Maka agar pendidikan dapat bergerak ke depan secara tepat-sasaran dibutuhkanlah kajian ke belakang kembali tentang bagaimana manusia dipahami selama ini. Semacam back to the future, begitulah.”
Sokrates (juga Plato) yang mendeskripsikan tentang keyakinannya bahwa setiap manusia itu mempunyai semacam cetak biru yang mereka istilahkan sebagai keutamaan atau “arete”. Bahkan secara eksplisit Sokrates menyebut dirinya sebagai “maietikos”(bidan pengetahuan) yang membantu kelahiran pengetahuan dari para muridnya—bukan mencekoki atau menulisi kertas kosong seperti keyakinan tabularasa dari John Locke. Sementara di Indonesia bisa kita dapati bahwa orientasi pendidikan itu adalah untuk mengimingi-imingi peserta didik hidup mapan secara ekonomi di masa depan. Akhirnya munculah promosi-promosi sekolah yang berorientasi ‘profesional’, bunyinya: kuliah cepat, mudah dapat kerja dan bergengsi. Bahkan SBY, semasa masih menjabat sebagai presiden, pernah menghimbau para pendidik untuk mencetak peserta didik agar siap kerja atau malah menciptakan lapangan pekerjaan. Sebenarnya, sejak kapan pendidikan itu berfungsi untuk mencetak peserta didik agar semata berorientasi pada kemapanan ekonomi serta hanya mengajar hal-hal praktis yang berguna bagi peserta didik saat nanti ‘menghamba kepada industri sebagai sekrup’ setelah lulus kuliah? Lantas bagaimana dengan para peserta didik yang tak berbakat lagi tidak berminat terjun ke dunia industri dan wirausaha? Mereka yang sangat berbakat dalam keilmuan teoretik? Maaf, rasanya tidak ada tempat bagi orang-orang semacam itu dalam peta pemerintahan Indonesia saat ini, mereka hanya dihargai sedikit lebih daripada orang gila
Padahal, negara sebenarnya berkewajiban melindungi segenap warganya dan menjamin hak mereka untuk menjadi apa pun yang sejalan dengan bakat dan energi minimalnya, karena warga suatu negara bukan hanya terdiri dari para pekerja industri; ada juga, saintis, pujangga, seniman,sastrawan dan lain sebagainya yang hidupnya tidak harus menjadi sekrup industri seperti yang diidamkan oleh Menristekdikti.saya bergumam: “Sebenarnya Indonesia tidak pernah kekurangan orang cerdas. Ini terbukti dari prestasi akademis remaja kita di forum internasional. Semangat belajar beberapa mahasiswa kita mengagumkan. Namun, ketika berangkat dewasa, bergelar sarjana, masuk pasar kerja, mereka tidak menemukan lingkungan dan lembaga yang mendukung kecintaan kepada ilmu. Bakat dan kecerdasan mereka hanya bisa tersalur di dunia industri, politik partai, atau acara televisi. Pilihan lain: menekuni ilmu pengetahuan di luar negeri.” Karenanya, apabila memang tak ada tempat bagi para saintis ilmu murni, seniman, sastrawan dan mereka yang ‘dipandang tak memiliki kontribusi bagi industri dan hanya sedikit dihargai lebih daripada orang gila’ serta menjadi warga negara Indonesia, Maka, ada benarnya pula apa yang dikemukakan oleh Bambang Sugiharto, bahwa:
“Sesungguhnya selalu ada perasaan malas namun sekaligus antusias manakala kita mesti bicara soal pendidikan di negeri ini. Malas oleh sebab tentang hal itu kita sudah banyak memperbincangkannya sementara dalam kenyataan sistem pendidikan tak pernah berubah juga. Antusias oleh sebab segala hiruk-pikuk kekerasan dan berbagai persoalan konkrit di negeri ini hari ini sesungguhnya sebagian berakar dalam sistem pendidikan yang memang sakit juga”.
Etos kerja yang payah—terutama di institusi-institusi negeri—cara berpikir yang dangkal, kelangkaan kreativitas, ketakmampuan berdisiplin, ketakmampuan menyelesaikan persoalan, berbagai bentuk pertengkaran sosial-politik yang naif, hingga korupsi, kolusi dsb. yang terus saja mendera kita, adalah produk dari tidak berhasilnya sistem pendidikan melepaskan kita dari struktur mentalitas budak.
Memang tidak mudah. Kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia yang terjajah. Pendidikan awal yang kita kenyam adalah pendidikan untuk melahirkan pegawai administratif murah bagi pemerintah Belanda (meski Belanda menganggapnya sebagai tindakan “balas-budi” terhadap Indonesia). Sedang setelah merdeka pun pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde Baru lebih kentara lagi bahwa pendidikan diperlakukan sebagai sarana pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status quo. Serentak pula ia merupakan pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa kapitalisme global. Demikian, sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian mentalitas kuli secara sistematis.pertanyaannya: bagaimana industri dan pemerintahan kita bisa tumbuh menjadi lembaga yang mapan dan haus inovasi sehingga bisa menghargai pengembangan ilmu, bila setiap tahun mereka disuplai oleh orang-orang yang merupakan hasil dari sistem pendidikan yang sakit?” Karena itu, hilirisasi dengan mengarahkan riset dan pendidikan tinggi hanya untuk ‘menghamba’ kepada industri memunculkan juga pertanyaan: apakah riset sainskhususnyaharus selalu mengabdi kepada industri? Bagaimana dengan riset sains fundamental yang tak mempedulikan industri sebagai tujuan akhirnya? Apakah pendidikan itu untuk mengembangkan manusia ataukah untuk mengembangkan industri? Apakah negara memang melindungi, mendukung dan menjamin warganya untuk menjadi apa pun sesuai dengan bakat dan energi minimalnya?
Kita hanya bisa berharap agar pemerintah bijak dalam menentukan sebuah kebijakan, agar tidak serta menciderai masyarakat yang tak sesuai dengan harapannya….
Oman Kholilurrohman, Mahasiswa Semester 2 Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora