Paradigma Orang Tua Tentang Lulusan Luar Negeri Atau Indonesia
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi setiap anak, tentu hal ini menjadi sebuah perhatian khusus bagi para orang tua kepada buah hatinya. Dalam memilih sekolah maupun Universitas, sudah pasti para orang tua akan memilih yang terbaik bagi anak-anak mereka sesuai dengan minat si anak pada bidang apa ia akan tekuni, dengan prospek anak mereka akan menjadi insan yang baik bagi keluarga dan kelak bisa menjadi seorang tokoh yang berpengaruh di masyarakat. orang tua yang memiliki ekonomi yang berkecukupan bahkan lebih, sudah pasti akan memasukan anaknya ke sekolah-sekolah ataupun perguruan tinggi elite bahkan berlomba-lomba untuk mengirim anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan diluar negeri. sementara orang tua yang hanya memiliki ekonomi menengah kebawah, tentu akan mengirim anak mereka ke sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki biaya yang mudah dijangkau, namun tidak menuntut kemungkinan anak-anak dari kalangan ini bisa menempuh pendidikan di Universitas dengan biaya tinggi bahkan bisa keluar negeri dengan bersaing mendapatkan program beasiswa.
Kita tentu sering mendengar banyak orang tua yang mengatakan bahwa lulusan luar negeri lebih unggul, unggul jika dilihat dari gelar yang akan didapat si anak, contohnya si A lulusan S1 dari salah satu Universitas di Eropa dalam bidang Sains, maka akan menyandang gelar B.Sc atau Bachelor of Science, jika si anak menempuh pendidikan S2 kemudian dilanjutkan S3 akan menyandang gelar Master of, Phd, atau jika si anak lulusan Universitas di Timur Tengah dia akan mendapatkan gelar Lc, yang berasal dari istilah bahasa Inggris, yaitu Lisence, yang bisa diartikan sebagai gelar sarjana strata satu. Pastinya hal ini menjadi sebuah kebanggaan bagi orang tua jika anak mereka menyandang gelar dari Universitas yang ada di luar negeri, dengan harapan si anak akan dengan mudah mendapatkan lapangan pekerjaan bahkan jodoh sekalipun akan dengan mudah si anak dapatkan.
Tentu hal ini menjadi sebuah stigma bagi para pelajar atau mahasiswa yang menempuh pendidikan di Indonesia, mereka memiliki perspektif bahwasanya lulusan dari Universitas yang ada dinegeri sendiri pun tidak kalah unggul dari lulusan luar negeri, hal ini banyak di tunjukkan dalam ikut sertanya para mahasiswa dalam olimpiade dalam bidang akademik maupun non akademik diluar negeri, penelitian-penelitian, karya ilmiah yang objektif dan sistematis, bahkan dalam forum-forum diskusi internal. Hal ini pernah saya rasakan saat melakukan diskusi dengan salah satu rekan saya yang menempuh pendidikan agama Islam di salah satu Universitas di Eropa Timur dengan jalur beasiswa, Kami berdiskusi tentang Teologi dan Filsafat Islam yang mana kami saling melempar argumentasi berdasarkan buku bacaan kami. Dan hasilnya kami memang belajar pelajaran yang sama meski buku yang kami baca autornya berbeda dan tentunya dalam bahasa yang berbeda.
Saya teringat dalam buku dari tulisan Nurcholis Madjid, beliau mengutip pembicaraan antara Buya Hamka dan K.H Agus Salim, dalam percakapan tersebut Buya Hamka meminta izin kepada K.H Agus Salim untuk pergi belajar ke Timur Tengah, lantas K.H Agus Salim menjawab "Malik, kalau kamu mau pergi ke Mekkah atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan fasih berbahasa Arab, barangkali. Tetapi kalau kamu ingin pulang kamu akan menjadi lebai, tetapi sebaliknya jika kamu ingin menjadi Islam yang intelek, lebih baik di sini (Indonesia) belajar sama saya." Jika ditelaah lebih lanjut, tentu kita bisa mengetahui bahwa dimanapun tempat kita belajar ataupun menuntut ilmu, kita mempelajari hal yang sama, namun yang membedakan ialah bahasa dan culture atau kebudayaan dimana tempat kita menuntut ilmu. Sebagai Insan akademis alangkah lebih baiknya jika kita memberikan pemahaman secara komprehensif kepada orang tua dan masyarakat.
(Faishal Bagaskara, Mahasiswa SKI semester 4)