Nonton dan Diskusi Film: Menggali Sejarah Sinema Indonesia dalam <em>Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan</em>
Meskipun produksi film sejarah bukanlah hal baru dalam perfilman Indonesia, belum banyak kajian ilmiah dari studi sejarah yang tertarik untuk membahas perihal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti sumber, fakta, interpretasi, dan penyajian masa lalu melalui media film tidak banyak mengundang perdebatan kalangan sejarawan secara umum. Untuk menggali bagaimana film mampu memediasi masa lalu, mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam mengunjungi Forum Lenteng (19/06).
Kunjungan ini masih merupakan bagian dari perkuliahan Sejarah dan Memori di Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, UIN Jakarta. Mahasiswa yang kebanyakan dari Semester 6 tersebut turut hadir untuk nonton dan berdiskusi tentang film dokumenter berjudul Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan.
Film documenter atau kerap dikenal juga dengan istilah film esai tersebut diproduksi oleh Milisifilem Collective. Film ini merupakan langkah edukatif Forum Lenteng bagi khalayak ramai. Film ini merupakan buah karya I Gde Mika dan Yuki Aditya. Secara umum, film ini mengisahkan bagaimana sinema Indonesia dari berbagai rezim kepemimpinan menggambarkan kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Salah satu rezim yang mendapat tempat cukup banyak dalam film tersebut adalah film-film yang diproduksi di masa Orde Baru, salah satu rezim yang kepemimpinannya paling panjang dalam sejarah dunia modern. Selain itu, film ini juga masuk nominasi Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2022.
Film esai ini berangkat dari suatu pertanyaan bagaimana masyarakat suatu bangsa hidup di bawah salah satu rezim yang kepemimpinannya paling panjang dalam sejarah dunia modern. Suatu rezim yang sadar menggunakan sinema sebagai salah satu alat untuk melanggengkan kekuasaannya melalui pola-pola narasi dan aturan yang saling terjalin erat. Pendekatan esai film, menurut Yuki, dipilih untuk mendistorsi perspektif dominan dalam sinema Orde Baru dengan memberi konteks dan intepretasi baru untuk melihat bagaimana sinema mewakilkan keresahan zamannya.
”Konsep menggabungkan sejarah dengan film membuat penonton dibuat bertanya-tanya dan takjub akan masa lalu sejarah sinemanya, apalagi buat generasi muda sekarang yang belum pernah merasakan bagaimana masa-masa hidup di bawah rezim Orde Baru”, kata Yuki. Ia menambahkan bahwa film dapat menjadi media yang menyimpan memori kita bersama sebagai sebuah bangsa.
Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan juga membuat rasa penasaran dan ketertarikan akan film-film dokumenter di kalangan masyarakat, terutama bagi mahasiswa-mahasiswa sejarah. Salah satu mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam dari UIN Jakarta, Rahma Nurfitri, mengatakan bahwa “ide dan inovasi Forum Lenteng ini patut diacungi jempol karena maraknya film-film yang berkembang sekarang sangat jarang sekali yang membahas konteks sejarah dokumenter maupun penggambaran suasana pada masa-masa perjuangan Indonesia.” Mahasiswa lain, Saepurrahman, turut berkomentar bahwa film bisa menjadi gebrakan baru bagi sejarawan. “Bahwa sejarah tidak hanya melalui tulisan saja, film dan video pun amat penting bagi sejarah untuk kita kembangkan melalui teknologi,” terang Saep.
Penulis: Hilwa Nurfadilah
Editor: Endi Aulia Garadian