Mengurai Benang Kusut Kaum Marginal: Anak Punk sebagai Simbol Ketidakberdayaan Negara
Mengurai Benang Kusut Kaum Marginal: Anak Punk sebagai Simbol Ketidakberdayaan Negara

Problematika kemiskinan di Indonesia adalah sebuah isu yang kompleks dan multidimensional yang selalu menghantui lanskap sosial-ekonomi bangsa. Alih-alih menunjukkan tren penurunan yang signifikan, jumlah kelompok marginal justru kian bertambah, menjadi sebuah ironi yang memilukan di tengah ambisi pemerintah untuk mencapai target nol persen kemiskinan pada tahun 2024. Ketidakmampuan negara dalam memberdayakan kelompok-kelompok yang terpinggirkan ini menghadirkan sebuah paradoks yang mencolok, mempertanyakan efektivitas strategi pembangunan dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi pilar utama dalam tata kelola negara.

Dalam konteks ini, keberadaan anak punk menjadi sebuah manifestasi nyata dari fenomena kaum marginal yang sulit untuk diabaikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Firdaus (2020: 125), anak punk adalah kelompok yang secara kasatmata menunjukkan kondisi marginalitas. Mereka cenderung terasingkan, tersisihkan dari arus utama kehidupan sosial, dan seringkali dicap sebagai elemen masyarakat yang tidak produktif dan bahkan meresahkan. Konsep marginalitas sendiri merujuk pada individu atau kelompok yang berada di tepi struktur sosial dan ekonomi, tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya, kesempatan, dan perlindungan sosial yang dinikmati oleh mayoritas masyarakat (antaranews, 2021). Kelompok ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari pengemis, gelandangan, pemulung, penyandang disabilitas, anak jalanan, hingga anak punk, yang masing-masing memiliki karakteristik dan tantangan unik namun sama-sama berada dalam posisi yang rentan.

Ironisnya, fenomena kaum marginal, termasuk di dalamnya eksistensi anak punk, tidak hanya terbatas pada wilayah-wilayah terpencil atau perkotaan besar secara umum, tetapi juga merambah hingga ke sudut-sudut wilayah yang dianggap sebagai penyangga ibu kota. Berbagai persepsi negatif yang berkembang di masyarakat terhadap anak punk semakin memperburuk kondisi marginalisasi yang mereka alami. Mereka seringkali distigmatisasi sebagai kelompok kriminal, brandal, pengguna alkohol dan obat-obatan terlarang, serta dianggap sebagai sumber masalah yang mengganggu ketertiban umum. Pandangan ini secara tidak langsung menafikan potensi positif yang mungkin ada dalam diri mereka dan menutup peluang untuk reintegrasi sosial dan pemberdayaan ekonomi. Fenomena ini menjadi alarm yang sangat keras bagi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan untuk memberikan perhatian yang lebih serius dan terarah terhadap eksistensi anak punk. Mengabaikan mereka sama dengan membiarkan potensi sumber daya manusia terbuang sia-sia dan memelihara masalah sosial yang berpotensi semakin kompleks.

Sejatinya, penanganan terhadap anak punk tidak harus selalu berorientasi pada pendekatan represif atau stigmatisasi. Sebuah alternatif yang lebih konstruktif dan humanis adalah melalui pendekatan spiritual yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran diri, motivasi internal, dan potensi positif yang mungkin terpendam dalam diri mereka. Pendekatan ini telah dipraktikkan oleh beberapa tokoh agama yang mencoba memberdayakan anak punk melalui dakwah bil-hikmah, yaitu penyampaian ajaran agama dengan cara yang bijaksana, persuasif, dan menyentuh hati (merujuk pada Q.S An-Nahl [16]: 125). Melalui bimbingan spiritual, diharapkan anak punk dapat menemukan kembali nilai-nilai positif dalam kehidupan, membangun kembali rasa percaya diri, dan termotivasi untuk mengubah jalan hidup mereka ke arah yang lebih baik.

Konsep pemberdayaan anak punk, jika diimplementasikan secara komprehensif dan berkelanjutan, dapat menjadi langkah yang sangat signifikan dalam mewujudkan ekonomi inklusif. Ekonomi inklusif adalah model pembangunan ekonomi yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan, tetapi juga memastikan bahwa manfaat pertumbuhan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok-kelompok marginal seperti anak punk. Pemberdayaan ini mengakui bahwa anak punk, sebagai bagian dari masyarakat, juga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup mereka, terutama di tengah tekanan ekonomi yang semakin mendesak.

Penanganan masalah kemiskinan dan marginalisasi, khususnya dalam konteks anak punk, memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Pemerintah, masyarakat, tokoh agama, organisasi sosial, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi pemberdayaan yang efektif. Pendekatan spiritual, pendidikan, pelatihan keterampilan, pendampingan sosial, dan penciptaan lapangan kerja yang inklusif adalah beberapa elemen kunci yang perlu dipertimbangkan. Dengan memberikan kesempatan kedua dan memberdayakan potensi yang ada dalam diri anak punk, kita tidak hanya membantu mereka keluar dari keterpurukan ekonomi dan sosial, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi bangsa yang lebih adil dan berkelanjutan. Mengabaikan mereka hanya akan memperpanjang lingkaran kemiskinan dan marginalisasi, serta berpotensi menimbulkan masalah sosial yang lebih besar di masa depan. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi semua pihak untuk bergandengan tangan dan mengambil tindakan nyata untuk memberdayakan kaum marginal, termasuk anak punk, agar mereka dapat bangkit dari keterpurukan dan menjadi bagian penting dalam pembangunan negeri ini.

Penulis: Hilya Maylaffayza

Sumber Gambar: LPM Insitiut