Menguak Jejak Gerakan Anti-Opium di Hindia Belanda: Riset Yoga Difa Menembus HOMSEA
Yogyakarta, Berita FAH online- Yoga Difa Perdana, S.Hum., alumni Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam dan kini mahasiswa Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam, mewakili Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam konferensi internasional HOMSEA (History of Medicine in Southeast Asia) yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 23–27 Juni 2025. Acara ini dihadiri oleh para ahli sejarah kesehatan dari berbagai negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan masih banyak yang lainnya.
HOMSEA adalah organisasi yang didirikan pada tahun 2005 oleh Prof. Laurence Monnais dan Dr. Rethy Chhem untuk mendorong penelitian sejarah kesehatan di Asia Tenggara. Dengan latar belakang kolonial yang beragam dan tantangan kesehatan yang serupa di kawasan ini, HOMSEA bertujuan menjembatani peneliti dari negara-negara Global North dan Asia Tenggara melalui konferensi dua tahunan dan forum pertukaran gagasan.
Pada kesempatan ini, Yoga mengangkat tema "Gerakan Anti Opium di Hindia-Belanda" dan mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul "The Anti-Opium Movement in the Netherlands Indies, 1913–1940" pada Kamis, 26 Juni 2025. Penelitiannya menarik perhatian sejumlah sejarawan sejarah dari macan negara seperti Australia, Amerika Serikat, Cina, Jepang dan juga peneliti Indonesia.
Partisipasi Yoga dalam HOMSEA tidak hanya menunjukkan kualitas riset akademik Yoga sendiri, tetapi juga menegaskan pentingnya kontribusi ilmuwan muda Indonesia dalam wacana sejarah kesehatan global dan tema sejarah lainnya.
Namun lebih dari sekadar kesempatan akademik, keterlibatan Yoga dalam konferensi ini adalah perjalanan intelektual yang sarat makna. Ketertarikannya pada tema opium bermula dari kesadaran bahwa isu ini masih jarang diteliti secara mendalam, khususnya terkait organisasi dan asosiasi yang menentang penyalahgunaan opium di Hindia Belanda. “Saya juga menyoroti peranan organisasi Islam seperti Sarekat Islam dan Muhammadiyah dalam gerakan anti-opium ini,” jelas Yoga.
Penelitiannya berfokus pada dinamika sosial dan politik antara 1913 hingga 1940, ketika pemerintah kolonial dan lembaga Opiumregie memanfaatkan perdagangan opium demi keuntungan. “Mereka sadar dampak buruk opium terhadap kesehatan dan kehidupan sosial-ekonomi pribumi, tapi tetap melanjutkan penjualannya. Maka organisasi anti-opium rutin melakukan propaganda sebagai bentuk perlawanan,” tambahnya.
Tak hanya sebagai alat rekreasi atau candu, Yoga juga mencatat bahwa opium pada dasarnya adalah zat medis yang kemudian disalahgunakan. “Seiring waktu, opium menjadi simbol kekuasaan dan instrumen eksploitasi. Bahkan, pada tahun 1918, oleh beberapa oknum, opium digunakan sebagai alat untuk menistakan agama. Ini dimensi yang menarik untuk diteliti lebih dalam,” katanya.
Yoga mengirimkan abstraknya ke panitia HOMSEA sekitar dua bulan sebelum acara. Tanpa ekspektasi berlebihan, ia kaget ketika mendapat kabar bahwa penelitiannya diterima dan diundang sebagai pembicara. "Ini bukan sekedar ajang akademik, tetapi juga ruang belajar dan tumbuh secara intelektual", tambahnya.
Ketika akhirnya mempresentasikan hasil risetnya di hadapan para ahli sejarah kesehatan dunia, respons yang ia terima sangat positif. Banyak pertanyaan dilontarkan tentang bagaimana ia mengakses sumber primer, sumber apa yang dipakai dan bagaimana proses saya meneliti dari isu yang kompleks ini. "Para peserta dan panelis sangat antusias, mereka banyak mengajukan pertanyaan tentang penelitian yang saya lakukan ", tuturnya.
Selama konferensi, Yoga terlibat dalam banyak diskusi dengan para peneliti dari berbagai latar belakang. Ia menyebut momen ini sebagai pengalaman yang tak ternilai. “Ketika riset kita dihargai, dipresentasikan, dan didiskusikan di forum akademik, semua perjuangan kita terasa sangat berharga,” ujarnya.
Secara akademik, partisipasi Yoga memperkuat posisinya sebagai peneliti sejarah kesehatan kawasan Asia Tenggara. Ia mengaku mendapat banyak masukan untuk memperluas perspektif dan memperdalam analisisnya. Rencana ke depannya, Yoga ingin tetap fokus pada tema opium di Hindia Belanda, namun dengan pendekatan yang lebih tajam terhadap peran para tokoh Islam dalam gerakan anti-opium. Untuk itu, ia masih harus menggali lebih banyak sumber primer dan literatur yang relevan.
Di akhir wawancara, Yoga tak lupa menyampaikan pesannya untuk mahasiswa lain yang tertarik meneliti sejarah. “Jangan ragu mengeksplorasi tema yang jarang disentuh. Justru di situlah letak peluang besar untuk memberikan kontribusi baru,” katanya. Ia juga mengingatkan bahwa riset memang tak mudah—membaca banyak, mencari sumber, menghadapi penolakan—tetapi saat riset itu bisa dipresentasikan dan diapresiasi, semua perjuangan menjadi bermakna.
“Jangan takut untuk mulai dari hal kecil, karena dari situlah jalan menuju riset yang berdampak akan terbuka. Seperti kata Leopold von Ranke, ‘No document, no history’. Maka tugas kita sebagai sejarawan adalah terus mencari, membaca, dan merekam jejak masa lalu dengan jujur dan kritis.”
Dokumentasi: