Membincang Sastra Adiluhung Jawa, di Tokyo
Dekan FAH. Di tengah cuaca dingin yang menusuk tulang, pada 11-13 Februari 2015, Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) memfasilitasi berkumpulnya para pengkaji sastra dan filologi Jawa dalam sebuah simposium bertajuk “Transformation of Religion as Reflected in Javanese Texts”.
Saya sangat menikmati forum ilmiah yang disponsori oleh Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) ini. Seperti lazimnya forum ilmiah di kampus-kampus di negara maju, apa yang disebut sebagai Simposium tersebut lebih mirip sebagai sebuah ‘workshop’ terbatas, jauh dari kesan formalitas ‘ritual seremonial’, tanpa spanduk, tanpa pengerahan ‘penonton’, serta hanya dihadiri oleh para pembicara dan mereka yang benar-benar memiliki minat keilmuan terkait saja, namun sangat produktif sebagai ‘lumbung’ ilmu.
Bobot dan aroma ilmiah forum ini begitu kental dengan hadirnya para ahli sastra dan budaya Jawa lintas generasi yang mempresentasikan paper sesuai keahliannya, seperti Stuart Robson (Monash University), Nancy Florida (University of Michigan), George Quinn (Australian National University), Willem van der Molen (KITLV Leiden), Edwin Wieringa (Cologne University), Ben Arps (Leiden University), Toru Aoyama (TUFS), Ronit Ricci (ANU, Hebrew University), dan Koji Miyazaki (TUFS). Hadir juga Mikihiro Moriyama (Nanzan University), yang di hari terakhir berbagi pemikiran tentang proyek Sundanese Printed Digital Library, yang masih sedang dalam tahap perencanaan. Indonesia sendiri diwakili oleh Kartika Setyawati (UGM), Dwi Puspitarini (UI), Saiful Umam (UIN Jakarta), dan Oman Fathurahman (UIN Jakarta). Forum ini juga memberi kesempatan kepada peneliti muda Jepang, Miho Yamasaki, untuk berbagi minat penelitiannya terhadap sastra dan sejarah Jawa Kuno. Yumi Sugahara, Asisten Profesor di Osaka University adalah 'dalang' di balik hadirnya nama-nama di atas. Jaringan dan pergaulannya yang luas dengan sejumlah sarjana pengkaji Indonesia, memudahkan Sugahara untuk mengundang mereka untuk bersama-sama berbagi hasil penelitian di Kampus yang terletak di Fuchu tersebut. Masing-masing pembicara memaparkan hasil penelitian terkait sastra dan budaya Jawa, yang terbentang sejak periode pra Islam (Jawa Kuno) hingga Jawa modern. Sumber-sumber yang diacu pun menunjukkan kekayaan tradisi dan sejarah Jawa itu sendiri yang sesungguhnya kita miliki dan dibanggakan dunia, mulai dari inskripsi, manuskrip, hingga kitab cetak Pegon Islam. Robson berbagi pemikiran tentang Kakawin dalam Jawa Kuno; Florida tentang teks Jawa Suluk Acih dan Martabat Sanga; Ben Arps berbincang teks terkait Bima Suci; George Quinn diskusi tentang Gus Dur sebagai 'tenth wali'; Aoyama tentang teks Ramayana; Setyawati tentang Kidung Surajaya; Miyazaki tentang Cerita Watu Gunung; Ricci tentang diaspora Jawa di Ceylon; van der Molen tentang Sajarah Cina; Wieringa tentang Gender dan sastra istana Jawa; Puspitarini tentang linguistik Jawa; Yamasaki tentang inskripsi Jawa Kuno; Umam tentang teks-teks cetak Pegon yang mendunia; dan saya sendiri berbagi hasil penelitian tentang naskah-naskah Syatariyah berbahasa Jawa Pegon. Di hari terakhir, Toru Aoyama mempresentasikan Proyek ILCAA tentang "Javanese Documents Online (JAVDO)", sebuah pangkalan data yang bertujuan "to make texts in Javanese and Old Javanese languages available online for research" dan "to promote Javanese and Old Javanese studies". Dua hal yang seharusnya sejak lama dilakukan oleh lembaga-lembaga di Indonesia sendiri. Saya tiba-tiba merengut, mengapa para Jawara sastra Jawa itu kebanyakan tidak muncul dari kalangan sarjana Indonesia sendiri? Mengapa di kampus saya sendiri tidak dikenal satu pun ahli sastra Jawa Islam? Mengapa aksara Jawa kuno hingga Pegon yang banyak dipakai menulis teks-teks Sufi itu begitu fasih dibaca dan ditafsirkan oleh “Bu” Nancy, “Pak” Willem, “Pak” Edwin, “Pak” Toru, “Mbak” Ronit, dan lainnya, tapi tidak, misalnya, oleh dosen dan mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora sendiri? Untunglah masih ada Saiful Umam, dosen SKI yang mengisi kekosongan tersebut dengan presentasinya tentang teks-teks adiluhung cetak Pegon Islam abad ke 19 di Jawa. Saya pun hanya bisa sumbangsih sesuai kapasitas saya, tentang “Javanese Shattariyah Silsilah Manuscripts: with a quick comparison to the Arabic and Malay Ones”. Tapi ini masih jauh dari cukup, karena Saiful dan saya sendiri lebih mendasarkan pada teks-teks beraksara Pegon, dan tidak fasih membaca sumber-sumber Jawa Islam beraksara Hanacaraka, meski kami berdua mungkin paling fasih untuk teks-teks Arab. Saya semakin sadar, kemampuan membaca sumber-sumber primer Nusantara ini (Jawa, Pegon, Jawi, dan aksara lainnya) penting segera dibangun di kalangan mahasiswa UIN, mengingat sumber teksnya yang sedemikian melimpah. Harus ada investasi sumber daya manusia yang 15-20 tahun ke depan diproyeksikan menjadi ahli Jawa Islam bereputasi internasional. Dan salah satu tempat yang paling tepat untuk menanam investasi itu adalah di Fakultas Adab dan Humaniora! Kompetensi dan keberhasilan mahasiswa FAH tidak bisa diukur hanya dengan pertanyaan di mana nanti mereka akan bekerja, di kantor apa mereka akan diserap pasar, profesi apa yang akan mereka geluti, karena ilmu-ilmu Humaniora bukan terapan semata, ia mengasah rasa, menjadi insan yang sensitif budaya, dan mampu memberikan kontribusi pada peradaban dan kebudayaan manusia. Siapa bilang masa depan mahasiswa FAH tidak jelas? Dunia akademik internasional sudah menunggu anda dengan Islam Nusantaranya, bukan hanya sastra Jawa, melainkan juga Melayu, Sunda, Bugis, dan lainnya! Salam dingin dari Tokyo.