Melawan Lupa, Membangun Indonesia: Pidato Guru Besar
Melawan Lupa, Membangun Indonesia: Pidato Guru Besar

Melawan Lupa untuk Membangun Indonesia: Kontribusi Naskah bagi Keilmuan dan Kemanusiaan

 oleh: Oman Fathurahman

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum wr. wb.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan segenap pimpinan yang saya hormati,

Yang terhormat, Para Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Para Dosen dan Asatiz, khususnya di Fakultas Adab dan Humaniora yang saya mulyakan,

Para Wisudawan dan Wisudawati beserta keluarga yang Berbahagia

Puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadirat Allah Swt., salawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjunan kita Nabi Besar Muhammad Saw.

Hadirin yang saya mulyakan,

Sejujurnya saya tidak pernah bermimpi akan berdiri dan mendapat kehormatan untuk menyampaikan orasi ilmiah di depan forum terhormat Senat Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sarjana-sarjana calon intelektual Muslim seperti saat ini.

Mimpi saya sejak nyantri di Ponpes Cipasung Singaparna Tasikmalaya dahulu, memang terlalu sederhana: menjadi mahasiswa, tidak lebih dari itu!

Sayangnya, meskipun saya berhasil lolos jalur PMDK ke IAIN Bandung pada tahun 1987, nyatanya orang tua lebih memilih “menguliahkan” saya di sebuah pesantren di pelosok kampung di Haurkuning, SalopaTasikmalaya.

“Masuknya memang gratis” ujar Bapak saat itu, “tapi darimana nanti Bapak membayar uang SPPnya? Pokoknya Bapak hanya akan bekerja keras untuk menyekolahkan kesembilan anak sampai tingkat SMA, setelah itu terserah masing-masing”, begitu kata Bapak setengah bersumpah.

Saya hanya bisa manut. Bapak yang kyai di Kampung memang terlalu berwibawa untuk dilawan. Mondok di Pesantren terpencil saat itu sangat saya sesali. Tapi setelah puluhan tahun, ternyata kehendak Bapak adalah sesuatu yang seumur hidup harus dan akan terus saya syukuri.

Alhasil, jadilah saya santri yang setiap hari harus menghafal Kitab Jurumiyah hingga seribu bait Alfiyah. Alih-alih mengenakan jaket almamater Universitas, setiap hari saya bersama santri lainnya harus mengangkat pasir dan batu kali untuk membangun asrama pesantren, dan setiap minggu harus pergi ke hutan mencari kayu bakar untuk persediaan selama sepekan.

Meski penuh dengan pahit getirkehidupan, berkat kenekatan dukungan dari A Jojo dan Ceu Lily khususnya, toh akhirnya pada tahun 1988 saya berhasil menginjakkan kaki di Jakarta. Meskipun, lagi-lagi bukan jaket almamater yang langsung saya kenakan, karena setiap hari saya malah harus berpeluh keringat menggendong bakul rokok asongan, berjalan kaki menyusuri jalan Kebayoran Lama, loncat naik turun Mikrolet 09, melongok para perokok yang habis makan di Warteg, menunggu penonton bubaran di Bioskop Djakarta Tanah Abang, hingga sore hari kembali lagi menumpang tidur di rumah A Ihin dan Ceu Adah yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, jazakumullah.

Tapi, saya tetap ingin menjadi mahasiswa!

Hadirin yang saya mulyakan,

Begitulah Yang Mahakuasa menunjukkan Kasih sayang-Nya. Berbekal tabungan paling banyak Rp. 1.500 (seribu lima ratus rupiah) yang terkumpul setiap hari, hasil bersih menjajakan rokok, sedikit tambahan jasa menitipkan permen di warung-warung, sampai bekerja sebagai buruh pabrik dan percetakan, akhirnya cita-cita saya tercapai, jaket almamater IAIN serta status sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab pun menjadi awal terlampauinya mimpi sederhana, dari sekedar menjadi mahasiswa, yang merangkap sebagai Tukang Kacamata di Pojok Jalan Pesanggarahan, hingga kini mendapat kehormatan sebagai Guru Besar Filologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alhamdulillah.

Hadirin Para guru Besar yang saya mulyakan,

Bagi saya, filologi adalah gerbang untuk masuk pada salah satu jantung kekayaan peradaban masyarakat Nusantara berupa manuskrip. Filologi telah menuntun saya menyelami cara berfikir masyarakat Negeri ini dalam menerjemahkan dan mempribumisasikan Islam ke dalam konteks lokal.

Filologi telah membuka lebar cakrawala pengetahuan saya bahwa Indonesia adalah salah satu lumbung manuskrip terkaya di dunia, yang tersebar mulai dari Aceh sampai Papua, dan bercerita hampir semua aspek kehidupan masa lalu, mulai dari dokumen kehidupan sehari-hari, karya-karya intelektual bermutu tinggi,hingga jejak-jejak bencana alam yang pernah terjadi di sepanjang jalur “Cincin Api” di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.

Filologi juga telah menjadi kendaraan bagi saya untuk meyakinkan kepada komunitas akademik global bahwa Islam yang berkembang di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata, tidak dapat dipandang sebagai Islam pinggiran, dan Islam Indonesia bukan hanya sebagai konsumen keilmuan, melainkan produsen, seperti sering dikemukakan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, sejarawan dan intelektual Muslim yang sangat mempengaruhi karir keilmuan saya.

Secara spesifik, manuskrip yang menjadi objek kajian filologi telah memandu saya menapaki jalan pintas untuk menyelami sejarah, peradaban, dan ilmu pengetahuan Muslim Nusantara masa lalu yang tidak diketahui kebanyakan orang. Itu mengapa saya merasa berhutang budi dan harus berterima kasih pada banyak kolega di lapangan yang telah “menjerumuskan” saya ke dalam lumbung manuskrip di Surau, Zawiyah, pesantren, istana, dan lainnya. Orang-orang seperti Bang Yusuf dan kawan-kawan di Kelompok Kajian Poetika Unand padang, sesungguhnya adalah pahlawan yang telah membangun jembatan antara saya, manuskrip, dan dunia akademik secara keseluruhan.

Kesempatan melakukan riset, fellowship, professorship, menulis artikel, serta presentasi hasil penelitian di forum- forum ilmiah nasional dan internasional pun seolah begitu bersahabat ketika saya menapaki jembatan tersebut dengan sepenuh hati.

Berkat jembatan itu pula, Prof.Edwin Wieringa memfasilitasi saya untuk mendapatkan fellowship dari the Alexander von Humboldt-Stiftung, dan mengundang saya melakukan riset mandiri sebagai “gastwissenschafler” di Malailologie Institute, Cologne University. Begitulah, studi filologi tiba-tiba menjadi bagian tak terpisahkan dari karir akademik saya.

Sayangnya, filologi dan manuskrip adalah dua kata yang sangat tidak populer di telinga kebanyakan orang Indonesia. Berkali-kali saya menjawab pertanyaan orang: “Saya menggeluti bidang ilmu filologi”, berkali-kali itu pula pertanyaan berikutnya saya terima:“apa itu filologi?”. Bahkan, di kalangan PTAI sendiri, fakultas yang menyelenggarakan mata kuliah filologi dan memperkenalkan studi naskah Nusantara, masih bisa dihitung dengan jari!

Kini saya benar-benar berharap bahwa anugerah dan kehormatan akademik yang saya raih ini dapat meyakinkan berbagai pihak bahwa manuskrip dan filologi tidak sepatutnya dianaktirikan, melainkan diberikan ruang pengembangan yang fair dan proporsional.

Saya sendiri berpandangan, bidang ilmu filologi tidak perlu mendapat prioritas di banyak perguruan tinggi, tapi harus ada universitas tertentu yang fokus mengembangkannya; beasiswa dan penelitian naskah Nusantara tidak perlu tersedia di banyak institusi, tapi harus ada lembaga tertentu yang punya hasrat tinggi berinvestasi. Akademisi atau Guru Besar Filologi pun mungkin tidak perlu berlimpah, tapi harus ada satu atau dua orang dalam setiap masanya yang menggeluti bidang ini dengan penuh dedikasi.

Saya sering mengilustrasikan bahwa sulit membayangkan saya menjadi seorang Filologis jika 20 tahun lalu tidak ada Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa), ecole française d extrême orient (EFEO), dan the Indonesian International Education Foundation (IIEF) yang mau berinvestasi menyediakan beasiswa studi Filologi, pada hal saat itu filologi amat sangat tidak populer di kalangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).

Saya pribadi pun sulit membayangkan akan sudi berpeluh keringat bersama tumpukan manuskrip jika tidak ada seorang Prof. Nabilah Lubis dan Prof. Henr iChambert-Loir yang saat itu membukakan jalan dan “membabat ilalang” agar saya bisa melintasi dan menapaki jalan Filologi dengan nyaman.

Meminjam terminologi hukum Islam, memikirkan pengembangan filologi adalah ibarat fardu kifayah, sebuah kewajiban yang tidak harus ditanggung oleh setiap individu atau lembaga, tapi ketika tidak ada satupun individu atau lembaga yang mengurusnya, dosa sejarah akan menjadi tanggung jawab komunal, karena filologi berurusan dengan pelestarian warisan budaya berupa naskah-naskah tulisan tangan, yang merekam aneka kearifan lokal masyarakat Nusantara selama berabad-abad.

Filologi juga berperan penting mengembalikan memori kolektif masyarakat agar tidak lupa akan sejarah, tidak lupa jati diri, dan tidak lupa tradisi leluhurnya akibat terlalu terbuai jargon pembangunan dan kemajuan.

Melawan lupa

Ya, masyarakat Indonesia memang mudah lupa. Meski berulang kali mengalami siklus gempa bumi besar, tsunami, dan letusan gunung merapi, misalnya, kita segera lupa seusai jejak bencana alam itu sirna, dan seolah nrimo saja saat hal serupa terjadi kembali, tanpa persiapan dan antisipasi yang memadai.

Meski tidak semua peristiwa gempa bumi besar, tsunami, dan letusan gunung merapi di Indonesia terekam dalam memori tulisan tangan, akan tetapi beberapa manuskrip yang tercecer dan tersisa, lebih dari cukup menceritakan kedahsyatan bencana alam tersebut berikut akibat yang ditimbulkannya.

Naskah Bo’ Sangaji Kai di Bima misalnya, menjadi salah satu sumber terpenting sejarah petaka meletusnya Gunung Tambora pada 11 April 1815, yang telah menyebabkan sejarah kelam Eropa tanpa musim panas setahun kemudian.

Naskah itu menceritakan:

“…hijrat an-nabi sallallahu ‘alayhi wasallama, seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadil awal, tatkala itulah Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya.

Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik (lahar segala) batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam.

Maka heranlah sekalian hambanya akan melihat karunia rabbil alamin yang melakukan fa‘‘al lima yurid. Setelah itu maka teranglah hari, maka melihat rumah dan tanaman sudah rusak semuanya, demikianlah adanya, yaitu pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Ghofar dan Raja Pekat bernama Muhammad...”.

Demikian halnya sebuah manuskrip asal abad 19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang mengandung informasi bahwa: “wa-kanat al-zalzalah al-syadidah al- tsaniyah fajr yawm al-khamis tis’ah ayyam min jumadil akhir sanah 1248 min hijrah al-nabawiyah…”, telah terjadi gempa besar untuk kedua kalinya pada dini hari Kamis 9 Jumadil akhir 1248 H, atau 3 November 1832 M.

Catatan “sepele” tersebut mungkin tidak akan pernah ditemukan jika tidak ada Hasnul Arifin Melayu,kolega di IAIN (kini UIN) Ar-Raniri Aceh yang, beberapa minggu setelah Tsunami 26 Desember 2004, rela membonceng saya di motornya, menerjang lumpur dan bau amis mayat untuk mengidentifikasi jejak-jejak naskah yang masih dapat diselamatkan.

Bahkan dahsyatnya tsunami pasca letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 pun tak luput dari lukisan sastrawan Betawi, Muhammad Bakir, ketika menulis Hikayat Merpati Mas sebagai berikut:

“…pada suatu malam datanglah air dari sebelah wetan gemuruh suaranya, maka segala isi negeri habislah, ada yang berlari kesana kemari, ada yang berteriak “tolong”, ada yang menangis, ada yang mencari pohon-pohon yang tinggi-tinggi, maka adalah yang masih beradu habislah mati di dalam air, karena datangnya air itu tiada dapat tertegah lagi, semangkin besar hingga sampai pada puncak rumah dengan gemuruh suaranya berombak-ombak.

Setengahnya yang mana sudah lari ke atas gunung, maka hiduplah ia, yang mana tiada dapat perkakas kayu atawa papan niscaya matilah ia di dalamnya air itu. Pintu kota dan pagar- pagar tembok habislah gugur berhanyutan sana kemari, tiang- tiang seperti sampah rupanya….

Selain tiga contoh di atas, berdasarkan penelitian Yusri Akhimuddin, naskah-naskah tentang takwil gempa, atau Lindu di Cirebon, memang banyak dijumpai, baik dalam koleksi pribadi maupun perpustakaan dan museum, terutama di wilayah-wilayah dalam lingkaran “CincinApi”, mulai dari Aceh hingga Papua.

Andai naskah-naskah lama seperti ini tidak dihapus dari ingatan; andai pelajaran dan kearifan lokal yang disampaikan para pencerita naskah tersebut didengarkan sebagai rujukan untuk membuat kebijakan, mungkin korban gempa bumi dan tsunami Aceh tidak akan mencapai 200.000 jiwa!

Ketika 78.128 penduduk di Pulau Simeuleu secara turun temurun merawat ingatan kolektifnya tentang smong, hanya7 di antara mereka yang tewas pada bencana gempa dan tsunami 2004 tersebut. Ini karena mereka faham bahwa smong, atau ombak tinggi dari lautan, niscaya akan menerjang daratan saat air laut tiba-tiba surut, sehingga merekapun sudah tahu harus“…lari ke atas gunung…”, bukan memungut ikan yang tergelepar di pantai.

Saya masih ingat, ketika tahun 2005 seorang wargaTokyo menceritakan, bahwa sebetulnya mereka sedang khawatir menunggu terjadinya gempa bumi yang telah “diramalkan” 30 tahun sebelumnya.

Berdasarkan pada siklus gempa yang terjadi, berikut dokumen-dokumen tertulis dan kearifan lokal yang dipelihara, sejak 1978 Pemerintah Jepang telah memulai berbagai persiapan darurat bencana, memperkirakan berapa jiwa yang bisa melayang, dan berapa kerugian materiil yang mungkin diderita, andai ramalan ilmiah itu benar-benar terjadi.

Nyatanya, pada 11 Maret 2011, gempa sedahsyat di Aceh yang diikuti tsunami raksasa benar-benar melanda Sendai, di Perairan Pasifik Jepang,meski berkat antisipasi dan sistem mitigasi bencana alam yang dipersiapkan, korban jiwa “hanya” sekitar 16.000 orang, dan proses pemulihan dengan cepat dapat dilakukan.

Saya percaya, bencana alam tidak selalu harus difahami sebagai cobaan, ujian, atau hukuman Tuhan yang harus diterima belaka. Melainkan, bencana alam juga dapat menjadi stimulus bagi kita untuk membangun peradaban bagi kemaslahatan bangsa Indonesia khususnya, dan bagi mat manusia pada umumnya, dengan cara mempersiapkan sistem mitigasi bencana, karena, seperti diingatkan dalam naskah-naskah kita itu, gempa, tsunami, dan letusan gunung merapi selalu berulang di Negeri Cincin Api.

Hadirin Sidang guru Besar yang saya mulyakan,

Dalam konteks kajian naskah Islam Nusantara, sekarang ini saya sampai pada satu keyakinan bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah Perguruan Tinggi Agama Islam yang paling berkewajiban menjalankan fardu kifayah mengembangkannya, karena jangankan Guru Besar, tenaga pendidik bidang Filologi yang sudah menyelesaikan jenjang pendidikan Doktoral pun, hingga saya berdiri di sini, belum ada di Perguruan Tinggi Islam lain.

Saya bermimpi bahwa suatu saat kelak, kolega-kolega di luar negeri tidak lagi mengulurkan undangan kerjasama terkait pelestarian dan kajian naskah Islam Indonesia kepada seorang Oman sebagai pribadi, melainkan kepada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai lembaga.

Saya bermimpi bahwa suatu saat kajian naskah Islam Indonesia menjadi salah satu distingsi (tamayyuz) yang melekat pada Universitas yang kita banggakan ini, sehingga siapapun sarjana di dalam dan di luar negeri yang ingin mengulurkan kerjasama di bidang kajian naskah-naskah Islam berbahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Bugis-Makassar, Aceh, dan lain-lain, tidak lagi hanya mencari seorang Oman sebagai pribadi, tetapi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai lembaga.

Saya sungguh merasa prihatin, bahwa ketika dua ikon arkeologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary dan disusul kemudian Dr. Uka Tjandrasasmita wafat, maka bidang keilmuan yang juga langka itu pun seolah turut sirna. Itu karena UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak berusaha melembagakan keilmuan dan kepakaran arkeologi Islam ketika keduanya masih bersama kita.

Karenanya, ke depan, saya sangat berkeinginan memanfaatkan kehormatan akademik ini untuk memfasilitasi teman-teman tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk turut menikmati “madu” yang melekat dalam sumber primer manuskrip, dengan cara mengajak untuk melakukan riset-riset berbasis manuskrip, melalui berbagai pendekatan dan perspektif ilmu.

Saya juga sangat berharap pimpinan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan dukungan untuk pengembangan Pusat Studi Naskah Islam Nusantara (Pusnira) di Fakultas Adab dan Humaniora, yang sudah kami rintis, dan yang akan terus melakukan advokasi tentang betapa potensialnya riset kajian Islam Indonesia berbasis sumber-sumber primer tertulis berupa naskah Islam Nusantara.

Saya sangat bersyukur, ketika Prof. Dr. M. Atho Muzhar, dan Prof. Dr. Maidir Harun beserta jajarannya di Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama merespon gagasan tentang pentingnya kajian naskah Islam Nusantara dengan meluncurkan berbagai program dan kegiatan, termasuk beasiswa Filologi bagi dosen-dosen di PTAI di awal tahun 2000an. Hasilnya terang benderang bermanfaat bagi upaya kaderisasi peneliti bidang ini. Sayangnya, program-program sejenis yang telah terbukti membuahkan hasil dan publikasi riset bermutu tersebut, di kemudian hari tidak berkelanjutan.

Saya yakin haqqul yakin, bahwa tradisi riset yang baik adalah kunci di balik tercapainya kehormatan yang saya peroleh ini. Riset yang baik niscaya akan menghasilkan karya ilmiah berupa buku atau artikel yang bermutu pula, dan artikel yang berbasis riset serta punya karakter, tidak akan sulit berkompetisi untuk terbit di jurnal-jurnal, baik nasional maupun internasional, sesuatu yang saat ini seolah menjadi momok bagi tenaga-tenaga pendidik, termasuk di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya faham, ini tidak mudah bagi kalangan filologis umumnya, apalagi kalau hanya murni mengandalkan pendekatan Filologi belaka. Saya beruntung bahwa sejak awal membangun konstruksi kajian naskah Nusantara, Mas (Prof. Dr.) Jamhari yang antropolog, dan dahulu sering numpang di mobil Corolla 73 butut saya, sering berbagi cerita gagasan-gagasan pentingnya Islam lokal yang pernah ia tekuni sejak nyantri di ANU Canberra, juga berbagi pemikiran Eickelman bahwa makna dan fungsi Islam dalam suatu wilayah tidak dapat disamakan dengan keadaan di wilayah lain.

Ditambah lagi dengan penajaman-penajaman konteks kesejarahan oleh Kang (Dr.) Fuad Jabali, dan kawan-kawan lain di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Mereka-mereka itulah yang juga telah turut menginspirasi saya untuk memunculkan istilah “Filologi Plus”, yakni kajian naskah yang ditempatkan dalam konteks Islam lokal.

Sidang guru Besar dan hadirin yang saya mulyakan,

Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya haturkan kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, kepada guru dan dosen saya, khususnya Prof. Dr. Nabilah Lubis yang telah menuntun saya kepada siratulmustaqim, jalan yang benar di bidang filologi, dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang telah memberikan teladan brilian bagaimana memaknai manuskrip-manuskrip karya para cendekiawan Islam terdahulu untuk merekonstruksi Islam Indonesia.

Terima kasih kepada Pak Henri  (Chambert-Loir), guru sejati Filologi yang sangat berperan dalam penerbitan dan sosialisasi hasil-hasil studi naskah saya, bersama kolega-kolega lain di EFEO: Daniel Perret, Andrée Feillard, Arlo Griffith, Ade Wahyo, Maya, dan Vita.

Terima kasih juga kepada kyai-kyai saya di Pesantren Cipasung, Haurkuning Salopa, dan Miftahul Huda Manonjaya, serta kepada kolega-kolega tempat bertukar fikiran yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, khususnya di PPIM dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Dua lembaga, dengan sifat dan karakternya masing-masing ini telah menjadi rumah yang membuat saya nyaman sebagai peneliti.

Di PPIM, saya memiliki kesempatan terlibat mengelola Jurnal kebanggaan UIN, Studia Islamika, sehingga mempercepat saya mengakses artikel-artikel bermutu terkait kontekstualisasi Islam di Asia Tenggara. Di Manassa, saya dibina oleh Prof. Achadiati dan guru-guru lainnya hingga menjadi lebih faham arti penting manuskrip Nusantara.

Saya juga sadar, bukan uang semata yang telah membawa saya ke gerbang kesuksesan, bukan kemapanan ekonomi keluarga yang menghantarkan saya pada mimpi dan cita-cita, melainkan kekuatan doa Bapak dan Mimih, dengan cara mereka masing-masing, allahummaghfirlahuma warhamhuma wa‘afihima wa‘fu anhuma, amin. Karenanya, saya ingin mempersembahkan kehormatan ini sebagai doa untuk keduanya, yang selama hidupnya saya saksikan tak henti mendoakan kesuksesan dan keselamatan anaknya. Semoga kedua almarhum dan almarhumah mendapatkan balasan yang setimpal di sisi-Nya, amin ya mujibassa’ilin.

Terima kasih setulus-tulusnya juga kepada Kakak-kakak dan saudara-saudara saya lainnya di kampung halaman di Kuningan Jawa Barat, yang sangat berperan dalam kisah petualangan saya di Metropolitan, serta keluarga besar di Jakarta yang telah memberikan doa dan kehangatan, saya haturkan takzim dan terima kasih yang setulus-tulusnya.

Akhirnya, peluk dan sayang buat istri tercinta, Ida dan ketiga buah hati, Fadli, Alif, dan Jiddane. Kalian semua adalah belahan hidup dan saksi yang paling tahu sedetil- detilnya kelebihan dan kekurangan Suami dan Ayah kalian ini. Kesuksesan ini pun tidak ada artinya kalau kalian semua tidak pernah ikhlas mencintai, mendampingi, berkorban waktu, serta menerima segala kelebihan dan kekurangan selama kita bersama-sama. Untaian kata saja tidak akan pernah cukup untuk mengungkap cinta buat kalian semua.

Semoga Allah Yang Mahakuasa memberikan balasan atas kebaikan semuanya. Demikian, dan terima kasih.

Wabillahittaufiqwalhidayah, Wassalamu’alaikum wr. wb.

Ciputat, 2 Maret 2014

Oman Fathurahman

*Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Maret 2014 di Auditorium Prof. Dr. Harun Nasution.

Unduh PDF di sini.