Kepemimpinan Non-Muslim dalam Islam
Kepemimpinan Non-Muslim dalam Islam

Oleh: Sukron Kamil

Belum lama ini sempat terjadi beberapa kali demonstrasi cukup besar yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan yang paling akhir Gerakan Masyarakat Jakarta dalam jumlah yang lebih besar ketimbang sebelumnya. Mereka saat itu menentang pengusungan Ahok yang sebelumnya wakil Gubernur untuk menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang menjadi Presiden. Kini Ahok sudah dilantik sebagai gubernur oleh Presiden Jokowi, meski sempat mendapatkan penolakan anggota DPRD dari Koalisi Merah Putih. Salah satu alasan yang mengemuka dalam penolakan masa itu adalah karena Ahok non Muslim, selain alasan  karakternya yang dinilai mereka arogan serta kasar dan juga tentu saja alasan politis sebagai alasan yang terkuat. Sebelumnya, di Jakarta juga terjadi hal yang sama yang menimpa Lurah Susan. Ia ditolak oleh sebagian warga Muslim Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta,  karena non Muslim dan juga perempuan.

Bagi para aktivis, terutama aktivis Islam,  penolakan atas kepemimpinan Ahok gara-gara ia non-Muslim oleh kalangan Muslim tertentu bukanlah hal baru. Sejak kontestasi Pemilukada yang membuat Jokowi dan Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, keberadaan Ahok yang non Muslim menjadi isu untuk tujuan penggembosan suara oleh pihak lawan. Sebagian aktivis partai Islam menolak pasangan Jokowi dan Ahok, karena ada Ahok yang non Muslim.  Bahkan, saat kampanye dalam pemilikada DKI Jakarta berlangsung di Jl. KH Mas Mansur, sempat ada spanduk bertuliskan: “Ambil Uangnya,  Pilih yang se-Iman”. Lebih jauh, sempat ada fatwa MUI DKI Jakarta yang mengharamkan memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang ada non-Muslimnya, meski kemudian fatwa tersebut dianulir. Kecuali itu, dalam prilpres, salah satu faktor yang membuat suara Jokowi di DKI Jakarta sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014 tidak tinggi adalah karena sebagian ustadz akar rumput dan juga kaum Muslim tertentu tidak mau jika Jokowi menang (menjadi Presiden), DKI Jakarta akan dipimpin seorang non Muslim.

Pemahaman Parsial Ayat

Dengan tidak mempertimbangkan faktor di luar agama seperti kepentingan politik, jika dilihat secara jernih, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana sesungguhnya Islam memandang kepemimpinan publik non Muslim semisal menjadi gubernur? Harus diakui, dalam sebagian fikih  memang ada sebagian ulama yang membedakan hak-hak publik non Muslim (dzimmi) dalam kepemimpinan publik. Kepemimpinan publik disayaratkan Muslim oleh sebagian ulama. Dalam UUD (Undang-Undang Dasar) pertama Iran --yang disahkan pada tahun 1907 (saat itu Iran diperintah Dinasti Qajar [1786-1925])-- dinyatakan juga bahwa, meski semua warganegara Iran  memiliki hak yang sama di depan hukum, tetapi pasal 58-nya membatasi hak non Muslim untuk menjadi menteri dalam pemerintahan. Posisi ini hanya dapat diberikan kepada warga Iran yang Muslim saja.

Namun, jika diteliti lebih lanjut, perspektif Islam seperti itu agaknya tidaklah tepat. Alasannya,  karena penolakan kepemimpinan non Muslim tersebut dilatari oleh pemahaman yang parsial terhadap ayat-ayat atau hadis yang cenderung membedakannya. Misalnya QS. 5:51,  2:120, dan 3: 38 yang cenderung melarang non Muslim dijadikan pemimpin publik, meski ini juga hanyalah penafsiran karena sebagian ahli tidak memandangnya sebagai alasan karena tafsirnya yang berbeda. Paling tidak, seharusnya tiga ayat tadi diimbangi (ditafsirkan/dibandingkan) dengan ayat atau hadis yang menyamakan hak-hak publik Muslim dan non Muslim sebagai warga Negara. Misalnya QS. 60:8 yang membolehkan bersikap adil (mempersamakan) dan berbuat baik kepada non Muslim yang mau  bekerjasama (tidak memerangi/memusuhi kaum Muslimin). Karenanya, berdasarkan tafsir terkahir,  kesimpulan adalah menjadikan non Muslim yang baik sebagai pemimmpin publik tidak masalah dalam Islam, kecuali untuk kepala Negara yang diperdebatkan. Pemahaman terhadap hak kepemimpinan publik non Muslim ini agaknya sama dengan kepemimpinan bagi perempuan dan poligami, meski secara metodologis dalam dua isu ini lebih parah, mengingat ayat yang menjelaskan keduanya tidak dibaca seluruh teks dalam satu ayat yang tidak terpisah. Ayat al-Qur’an yang terkait  keduanya hanya dibaca sepotong saja. Yang terjadi kemudian adalah persepktif Qur’an mengenai tiga isu  di atas tidak utuh dan  keliru, seperti kesimpulan seorang buta yang ditanya gajah dengan hanya mendasarkan kesimpulannya pada kakinya saja.

Untuk mengkonvirmasi kesimpulan di atas ini, lihat misalnya tafsir al-Mannar. Rasyid Ridha memahami ayat yang cenderung melarang menjadikan non Muslim sebagai pemimpin publik di atas hanyalah bersifat kondisional, yaitu hanya berlaku bagi non Muslim yang tidak mau bekerjasama (memerangi/memusuhi) dan tidak berintegritas. Hal yang sama bisa dilihat dalam tafsiran Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Ia  tidak setuju QS 3: 38 atau semacamnya dijadikan sebagai alsan untuk menolak hak non-Muslim menjadi pemimpin publik. Argumennya, karena kata yang digunakan Allah dalam ayat itu “auliya” yang berarti teman atau pelindung, bukan “umara”(pemerintah).

Rujuk Sejarah

Tafsiran yang inklusif (pluralistik) bagi hak-hak kepemimpinan publik non Muslim di atas tentu menjadi lebih akurat, ketika yang dirujuk adalah sejarah Islam, termasuk sejarah Islam priode Nabi Muhammad sebagai hadis fi’li (hadis perbuatan). Dalam sejarah Islam priode Nabi, akurasi tafsir inklusif bisa dilihat dari  Piagam Madinah, sebuah kesepakatan politik Nabi dengan non Muslim, dimana Nabi mendirikan Negara Madinah pada awalnya bersifat muti etnis dan agama. Piagam politik  yang dinilai sebagian ahli piagam HAM pertama dalam sejarah dunia ini  bukan saja menjamin kebebasan memeluk dan mengamalkan agama (pasal 25), melainkan juga hak-hak politik bagi seluruh warga, termasuk non Muslim. Misalnya dalam mempertahankan kota dari serangan musuh luar (antara lain pasal 37). Bahkan, sekretaris pribadi Nabi awalnya adalah  seorang Yahudi, karena kemampuan bahasa Ibrani dan Syria-nya, hingga Zaid bin Tsabit menguasai dua bahasa tersebut.

Meski pernah terjadi peminggiran terhadap non Muslim pada masa Dinasti Umayyah selain periode Umar bin Abdul Aziz (717-720), dalam sejarah selanjutnya, sejak masa Dinasti ‘Abbasyiah (750-1258), non Muslim banyak diberikan kepemimpinan publik. Banyak dari keluarga Barmakiyah  yang berasal dari sebuah keluarga Budha  di Balkh Persia yang menjadi jendral dan gubernur. Mereka juga bertugas sebagai tutor atau pelatih bagi raja atau pangeran-pangeran muda. Demikian pula dengan kelompok Kristen dan Yahudi.  Kelompok Kristen Naestorion umpamanya berperan secara kuat, terutama dalam bidang pengetahuan. Lembaga Penerjemahan Bait al-Hikmah sekaligus lembaga pendidikan tinggi, observatorium, dan juga lembaga riset,  dipimpin oleh Hunein bin Ishaq yang Kristen. Sementara kelompok minoritas Yahudi terlibat dalam kegiatan perpajakan dan perbankan (keuangan). Bahkan, nasib orang-orang Yahudi umumnya lebih baik daripada orang Kristen. Di Bagdad saat itu terdapat 23 synagoge yang berkembang sampai saat hancurnya kota tersebut oleh serangan Mongol.

Praktik pluralis/inklusif bagi kepemimpinan publik non Muslim juga bisa dilihat para khalifah setelahnya. Misalnya penguasa-penguasa Islam di Spanyol, di mana Islam di sana berkuasa sekitar 500 tahun yang dipuji Ibn Taimiyah sebagai para khalifah yang menganut mazhab Madinah. Mereka dilukiskan Max I. Dimont, seorang intelektual Yahudi, sebagai rahmat yang mengakhiri kezaliman keagamaan Kristiani sebelumnya. Pemerintahan Umayyah di Spanyol telah  menciptakan sebuah Spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur” bagi orang-orang Yahudi, Kristiani, dan Islam dalam membangun peradaban yang gemilang.  Yahudi pun, sebagaimana dikatakan Abraham S. Halkin, mengalami zaman keemasannya di bawah Pemerintaan Islam di Spanyol ini. Ibn Gabirol (abad ke-11) dan Moses bin Maimun (maimonedes) (abad ke-12) yang beragama Yahudi umpamanya menulis filsafatnya yang mempengaruhi filsafat Kristen Barat di bawah proteksi peradaban Islam di Spanyol. Kaum Muslimin dinilai para ahli semisal Ahmad Abdullah al-Masdoosi turut memungkinkan penumbuhan dan pengembangan agama Yahudi.

Pengakuan terhadap hak kepemimpinan publik  non Muslim, baik secara ajaran maupun praktik historis di atas tentu saja merupakan sesuatu yang wajar, karena sesuai dengan prinsip/kaidah etika Islam. Yaitu sesuai dengan prinsip bahwa tindakan orang lain yang kita rasakan tidak enak, jangan dilakukan; tuntutan berbuat adil; musawah (persamaan); syura (menyelesaikan masalah dengan damai); dan tuntutan ihsan (birr). Bahkan,  juga sesuai dengan etika/kaidah demokrasi: majority rule, minority right.

Mengakiiri tulisan ini ada baiknya mengutip pendapat Ibn Taimiyah: “Inna Allah yuqim al-daulah al’adilah wa in kanat kafirah, wala yuqim al-zhalimah wa in kanat muslimah (Allah mendukung pemerintahan adil sekalipun kafir, dan tidak mendukung pemerintahan zalim sekalipun Muslim). Semoga kasus Ahok dapat meningkatkan praktik pendalaman demokrasi di Indonesia sebagai Negara Muslim terbesar di Dunia, dengan keinsyafan bahwa tulisan ini pun merupakan hasil ijtihad berdasarkan banyak rujukan. Wallah a’lam.

Penulis adalah Guru Besar yang juga

Dekan Fakultas Adab dan Humanora UIN Jakarta