KEMENANGAN MAHATHIR MUHAMMAD DAN KONFLIK ELITE MALAYSIA
KEMENANGAN MAHATHIR MUHAMMAD DAN KONFLIK ELITE MALAYSIA

Pengujung 1990-an, politik Malaysia ditandai dengan pertentangan antara Perdana Menteri Mahathir Muhammad dengan wakilnya Anwar Ibrahim. Pertentangan ini antara lain terkait dengan tsunami ekonomi yang melanda Malaysia. Anwar menawarkan solusi dengan melibatkan IMF, sementara Mahathir menolak. Bagi Anwar, mengundang investor asing akan memberikan dampak positif antara lain menghindari kemungkinan dominasi kelompok tertentu di Malaysia dalam bidang ekonomi. Langkah ini diperlukan juga agar keterbukaan atau transparansi bisa dilakukan sehingga kronisme, nepotisme, kolusi, dan korupsi bisa dihindari. Tiga penyakit inilah yang terjadi selama ini dan yang kemudian mengakibatkan krisis ekonomi.

Anwar seakan menegaskan bahwa pemerintah telah membiarkan dan bahkan memberikan ruang bagi kronisme, kolusi, nepotisme, dan korupsi. Mahathir Muhammad sebagai PM dianggap gagal memimpin Malaysia, gagal membangun pemerintahan yang bersih, dan gagak menyejahterakan rakyat. Atas sikapnya ini, Anwar disingkirkan dari kursinya sebagai Wakil PM, dipecat dari United Malays National Organisation (UMNO), dan bahkan kemudian dipenjara dengan tuduhan sodomi. Kesempatan emas bagi Anwar menjadi PM melanjutkan Mahathir pun tertutup, padahal dia putra mahkota yang memang diharapkan. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa Anwar tidak sabar menanti kesempatan menjadi PM.

Namun, peristiwa ini justru menjadi titik tolak muncul dan berkembangnya keasadaran kolektif untuk melakukan konsolidasi gerakan demokrasi yang lebih substansial. Munculnya Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang pada masa awalnya dipimpin oleh istri Anwar menjadi contoh menguatnya arus oposisi kritis di Malaysia. Selama Anwar dalam tahanan, PKR secara meyakinkan berhasil menarik dan menghimpun serta memperkokoh dukungan kekuatan reformasi terutama dari kalangan profesional, pengusaha, akademisi dan intelektual dan mahasiswa. Pada pemilu pascalengsernya Mahathir Muhammad, koalisi oposisi berhasil menaikkan jumlah kursi di parlemen secara sangat meyakinkan selama dua kali pemilu berturut-turut. Ini berkat kepemimpinan efektif oposisi Anwar Ibrahim sejak dia dibebaskan di era Abdullah Badawi.

Keberhasilan oposisi ini telah mendegradasi UMNO, karena konfidensi politik UMNO semakin melemah. Dan ini yang kemudian menimbulkan kekecewaan Mahathir, yang kemudian melengserkan Abdullah Badawi dan mendorong Najib Razak untuk mengambil kendali partai UMNO dan pemerintah sebagai PM. Di mata Mahathir Muhammad, Badawi dianggap gagal membesarkan UMNO, atau paling tidak menjaga dan merawat kebesaran UMNO. Konflik belum terasa di lima tahun pertama tahun 2000-an, terutama di kalangan elite UMNO karena Badawi sama sekali tidak melakukan perlawanan terhadap Mahathir. Bahkan tak satu pun yang menentang Mahathir ketika Badawi harus dikalahkan di kongres UMNO.

Kejengkelan Mahathir terhadap kepemimpinan UMNO memang tak terbendung, apalagi Badawi membebaskan Anwar. Karena itulah Badawi tidak diberi kesempatan untuk kedua kalinya. Najib Razak yang kemudian terpilih melanjutkan kepemimpinan di UMNO dan pemerintah diharapkan mampu melakukan konsolidasi politik secara lebih efektif untuk mengembalikan kejayaan UMNO. Akan tetapi, Najib kembali mengecewakan Mahathir. Apalagi Najib terlibat dalam skandal korupsi besar. Mahathir Muhammad kemudian mengekspresikan kejengkelannya lebih keras: ia keluar dari UMNO, membuat partai sendiri, melakukan demo besar Gerakan Bersih dan menuntut agar Najib turun dari jabatannya sebagai PM.

Tidak seperti Badawi, Najib melakukan perlawanan karena apa yang dilakukan Mahathir benar-benar menyudutkan Najib. Sejumlah pejabat dan petinggi partai dan pemerintah kemudian mengikuti jejak Mahathir keluar dari UMNO, dan sebagian lain dipecat oleh Najib karena mengkritik dan bertanya tentang skandal ekonomi. Musuh politik Najib pun menjadi lebih besar, bukan hanya berasal dari pecahan UMNO sendiri melainkan juga kubu Anwar.

Koalisi Unik

Najib Razak menjadi common political enemy, baik bagi Mahathir Muhammad maupun bagi Anwar Ibrahim. Kerena itulah, dua tokoh yang telah berseberangan tajam sejak pengujung 1990-an ini secara kontroversial melakukan pertemuan dan “wawuhan politik” dan bersepakat untuk sama-sama menjatuhkan Najib melalui pemilu. Ada beberapa hal prinsip yang mempertemukan keduanya, antara lain:

  1. Lupakan pertentangan masa lalu dan pernyataan maaf dari Mahathir atas apa yang telah dilakukan terhadap Anwar.
  2. Berkomitmen membangun Malaysia yang besar, demokratis, dan bersih.
  3. Berkomitmen mengalahkan dan mengakhiri kepemimpinan UMNO dalam pemerintahan melalui Pemilu.
  4. Menerima proposal bergabungnya Mahathir dengan partainya ke koalisi oposisi.
  5. Jika oposisi memenangkan Pemilu maka yang akan menjadi PM adalah Mahathir dan bertindak sebagai wakilnya adalah istri Anwar. Selanjutnya, Mahathir akan menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Anwar (setelah keluar dari penjara rezim Najib, dengan tuduhan yang sama: sodomi pada 2015).
  6. Salah satu langkah yang segera dilakukan Mahathir jika berhasil memenangkan pemilu ialah reformasi hukum. Kasus mega korupsi Najib tentu saja menjadi prioritas untuk segera ditangani secara hukum.

Tentu saja ini menggambarkan secara gamblang bahwa perseteruan elite politik antara Mahathir Muhammad dan Najib Razak semakin memanas hingga jelang Pemilu Rabu kemarin. Apa yang terjadi ini tidak pernah ada preseden historisnya di Malaysia. Begitu pula kerjasama tokoh oposisi reformis (Anwar) dengan tokoh status quo (Mahathir) untuk meruntuhkan UMNO, sepengetahuan penulis merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah di Malaysia. Konflik terbuka antara Najib dan mentor politiknya Mahathir tak bisa distop karena masing-masing menjadi rival memperebutkan kursi PM. Hari-hari yang singkat masa kampanye dimanfaatkan betul oleh keduanya untuk meyakinkan publik menjadi pendukung politik mereka. Bahkan, jauh sebelum masa kampanye, mereka berdua sudah saling menyerang.

Reaksi masyarakat pun sudah barang tentu berbeda. Ada kalangan yang cenderung skeptis terhadap apa yang dilakukan oleh para politisi selama ini dan terhadap pemilu. Mereka yang mayoritas kalangan pemuda berpandangan bahwa para politisi asyik dengan dirinya sendiri dan tidak sungguh-sungguh membela kepentingan bersama. Karena itu mereka tidak yakin akan terjadi perubahan pascapemilu. Namun demikian, tidak sedikit yang ternyata berpandangan bahwa pemilu tidak bisa dihentikan karena ini merupakan instrumen penting perubahan.

Pada akhirnya, koalisi unik Mahathir-Anwar ini membuahkan hasil dan benar-benar meruntuhkan UMNO. Ini prestasi yang sangat prestisius dan mengejutkan banyak pihak. Partai yang sejak kemerdekaan dan dalam waktu yang panjang berkuasa, kemarin benar-benar runtuh. Rontoknya suara UMNO sejak dua pemilu sebelumnya, melalui tangan dingin dan insting tajam Anwar Ibrahim yang kemudian disempurnakan Mahathir Muhammad. Ambruknya dominasi UMNO dengan koalisi Barisan Nasional-nya (BN), memberi sinyal kuat atas ekspektasi publik untuk terjadinya perubahan mendasar Malaysia ke depan yang dilakukan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan sementara Mahathir—sebelum kemudian akan dilanjutkan oleh Anwar. Masa transisi politik dan pemerintahan akan dilalui dengan agenda kongkret untuk memenuhi hajat masyarakat. Konflik elite politik diakhiri dengan hasil pemilu yang memihak Mahathir Muhammad dengan koalisi oposisinya.

Oleh: Dr. Sudarnoto Abd. Hakim, M.A (Dosen Tetap di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Re-posting dari: https://geotimes.co.id/opini/mahathir-muhammad/