“Keberhasilan Ilmuwan Terpopuler Dunia: Bukti Kemajuan Sains oleh Ilmuwan Islam Abad Pertengahan”
Oleh: Arbar Wijaya dan Elita Yulistia Imanina[1]
Prolog
Para ilmuwan muslim pada abad pertengahan menjadi sebuah bukti peranan umat islam di dunia. Sejarah mencatat, terdapat banyak ilmuan muslim yang berperan aktif dalam mengamati dan meneliti bidang-bidang keilmuan yang belum ditemukan pada saat itu. Hal ini dapat kita buktikan dengan mudah akibat dari kemajuan teknologi saat ini berupa internet. Jika kita masih penasaran apakah benar umat islam memilki peranan yang sangat penting dalam bidang keilmuan, maka kita dapat mencari tahu dengan mengetik kata kunci di internet. Misalkan saja kita mengetik kata kunci “Ahli Matematika”, maka akan muncul pada layar berbagai gambar tokoh ilmuwan matematika di dunia dari tahun Sebelum Masehi hingga saat ini. Di antara gambar-gambar tersebut, dapat kita jumpai berbagai gambar ilmuwan muslim yang lahir di antara abad ke-8 sampai dengan abad ke-12, yang mana pada abad tersebut di kenal dengan “Masa Keemasan Islam” atau
“The Golden Age of Islam”.
Menurut Sigrid Hunke yang dikutip dalam buku
“Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” mengatakan bahwa orang-orang Muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah yang dipeoleh dari Yunani (Greek) dengan ujicoba dan penelitian ilmiah kemudian memformulasikannya dalam bentuk yang baru sama sekali. Sesungguhnya Arab-dalam kenyataannya sendiri adalah pembuat metodologi penelitian ilmiah yang benar dengan didasarkan pada uji coba.(As-Sirjani, 2011).
Pada saat ini kita dapat menggunakan berbagai alat teknologi yang membantu kita dalam mengamati dan meneliti suatu benda, seperti kacamata yang ditemukan Roger Bacon membantu kita dalam penglihatan, teleskop yang ditemukan Hans Liphershay yang membantu kita dalam melihat objek di luar angkasa, dan kamera yang dapat mengabadikan gambar yang kita inginkan. Di balik penemuan-penemuan alat tersebut, terdapat ilmuwan muslim sangat penting temuannya, yakni Abu Ali al Hasan Ibn al Haytam atau Ibnu Haytam atau Alhazen (panggilan orang-orang Barat).
Ibnu Haytam lahir pada tahun 965 M di kota Basra, di wilayah Iraq Selatan dan wafat di Kairo pada tahun 1040 M. Sejarah mengenai kehidupannya banyak yang hilang ditelan waktu sehingga terdapat berbagai pertentangan sejarah yang menceritakan tentang kehidupannya. Ia pernah dipenjara selama 10 tahun, yakni pada tahun 1011 M sampai dengan tahun 1021 M. Di balik jeruji besi tersebut, ia melakukan banyak penelitian yang pada akhirnya menghasilkan tujuh artikel tentang cahaya dan optik yang dicatat dalam sebuah buku yang berjudul
“Kitab al Manazhir”.
Ibnu Haytam telah mampu menyelami dan menyulam semua studi dan riset yang terpisah-pisah yang dilakukan para ilmuwan terdahulunya untuk dirumuskannya setelah mengoreksi, merenovasi, dan menambahkan berbagai inovasi, serta menjadikannya ilmu yang berdiri sendiri secara penuh, hingga berbagai istilah dan penamaannya banyak disebutkan di seluruh bahasa di dunia.(Basya, 2015).
Ibnu Haytam mengumpulkan sebagian besar studi dan penelitiannya serta menyatukannya dalam sebuah karya monumentalnya
Al Manazhir yang menjadi rujukan sebagian besar ilmuwan Barat. Bahkan mereka masih obyektif dengan memperlihatkan kontribusi dan persembahan ilmuwan kenamaan bangsa Arab dan Islam ini, dan menyebutnya sebagai
Al Bannan (Sang Kontraktor), setiap kali membahas tentang ilmu-ilmu optik atau menulis buku-buku dan referensi. Dan bahkan mereka menyerukan kepada dunia untuk memperhatikan buku monumental ini dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin secara total pada tahun 1572 M.
Di dalam buku
Al-Manazhir tersebut terdiri dari tujuh buah artikel, yakni artikel pertama membahas mengenai proses penglihatan secara umum. Artikel kedua menjelaskan tentang pengertian-pengertian secara mendetail yang diketahui mata, sebab-sebabnya, dan bagaimana mengetahuinya. Artikel ketiga membahas tentang kesalahan-kesalahan mata terhadap objek yang dilihatnya dengan benar dan sebab-sebabnya. Artikel keempat membahas proses pandangan mata melalui pantulan cahaya dari benda-benda yang mengkilat. Artikel kelima mengenai posisi-posisi imajinasi, yaitu persepsi-persepsi yang terlihat pada benda-benda yang mengkilap. Artikel keenam mengenai kesalahan-kesalahan padangan mata terhadap objek yang dipahami atau diketahuinya melalui refleksi dan faktor-faktor penyebabnya. Dan artikel ketujuh mengenai proses pandangan mata melalui pembelokkan dari balik benda transparan yang berbeda transparasinya dengan transparasi udara.
Charles Darwin atau Ilmuwan Muslim?
Selanjutnya terdapat ilmuwan Barat bernama Charles Darwin yang di dalam berbagai sumber di internet dikatakan bahwa ia dikenal sebagai Bapak Teori Evolusi. Ketika seseorang yang diberikan julukan dengan kata “Bapak” maka sudah dipastikan ia merupakan seorang penemu atau pencipta pertama dalam cabang ilmu yang ia temukan. Namun, pada tahun 776 Masehi di Basra terdapat seorang ilmuwan yang telah menciptakan sebuah buku berjudul
“Kitab al Hayawan”, yakni Abu Ustman Amir bin Bahr al Fuqoyun al Basri al Jahiz atau yang dikenal dengan Al-Jahiz.
“Kitab Al Hayawan” memuat tiga hal penting dalam evolusi yang juga dituliskan oleh Charles Darwin dalam “
The Origin of Species”. Menurut Al Jahiz, hewan-hewan berjuang untuk tetap bertahan hidup, bertransformasi menjadi spesies, dan mengatasi faktor-faktor lingkungan.
Kitab al Hayawan memuat 350 spesies hewan yang terdiri dari tujuh volume serta dilengkapi dengan gambar-gambar dan penjelasan yang detail. Di dalam buku tersebut, terdapat beberapa kesamaan antara teori evolusi Darwin dengan teori evolusi Al-Jahiz. Kita mengetahui bahwa salah satu teori evolusi Darwin mengatakan bahwa manusia merupakan hasil dari evolusi seekor kera. Dan di dalam “
Kitab Al Hayawan” volume IV halaman 24 yang dikutip Bayrakdar bahwa Al Jahiz menyinggung tentang evolusi manusia terdapat kesamaan antara manusia dengan kera. Al Jahiz mengatakan:
“Kami telah melihat bahwa beberapa navigator Nabatheen (Nabataeans) menyerupai kera dalam beberapa lingkungan geografis, mungkin kami juga telah melihat beberapa orang dari Maroko dan telah menemukan mereka seperti al-maskh (sejenis kera) kecuali untuk sedikit perbedaan ... Dan ada kemungkinan bahwa udara dan air yang tercemar, dan debu membuat perubahan dalam karakter orang-orang Maroko ini ... perubahan-perubahan dalam bulu, telinga, warna, dan bentuk mereka (mirip dengan kera) tambah lagi….” (Bayrakdar, 1983).
Teori Gravitasi merupakan Temuan Muslim
Pada tahun 1687 terdapat seorang ilmuwan yang menurutnya telah berhasil menemukan gaya karena rasa penasarannya terhadap apel yang ia lempar kemudian apel tersebut jatuh ke bumi. Maka dari itu ia meneliti tentang alasan mengapa apel tersebut dapat jatuh ke bumi ketika dilemparkan. Ia adalah Isaac Newton yang telah berhasil menemukan sebuah gaya yang menyebabkan benda-benda yang dilemparkan akan jatuh ke bumi yang disebut gaya gravitasi. Namun, gaya gravitasi tersebut sebenarnya jauh sudah ditemukan teorinya oleh salah satu ilmuwan muslim yang hidup pada abad ke-12 Masehi, yakni Abu Fal Abd Rahman atau yang dikenal dengan nama Abdurrahman Al Khazini.
Dalam bukunya
Mizan Al Hikamah ia menyebutkan bahwa gravitasi disebut dengan
“At-Thiqli” yang mana gravitasi adalah “setiap benda yang memiliki berat pada posisi tertentu dari pusat bumi, gaya gravitasinya bergantung pada jaraknya ke pusat bumi”. Sedangkan gravitasi menurut Isaac Newton merupakan “semua benda di alam akan menarik benda lain dengan gaya yang besarnya sebanding dengan hasil kali massa partikel tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya.”(Darojat, 2017).
Dalam buku
Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Al-Khazini meneliti dan menekuni secara mendalam tentang gravitasi pada abad ke-12. Sebuah konsep teori yang sebelumnya juga diajukan oleh Al-Biruni. Dengan demikian, Al-Khazini telah menemukan teori gravitasi jauh sebelum Newton melakukannya.
Setelah melakukan beberapa eksperimen, Al-Khazini sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kuat gravitasi itu berubah sesuai dengan jarak antara benda yang jatuh dengan yang menariknya. Dengan kata lain, Al-Khazini menemukan fakta bahwa kekuatan gravitasi dipengaruhi oleh jarak antar dua benda. Dari kajiannya mengenai udara, al-Khazini berpendapat bahwa udara memiliki kekuatan yang mampu mendorong sebagaimana aliran air. Massa suatu benda yang melayang di udara akan berkurang bila dibandingkan ketika berada di permukaan Bumi. Al-Khazini merancang suatu alat pengukur berat benda di udara dan di dalam air para sarjana sejarah menyebutkan bahwa ada lima model yang didesain al-Khazini.
Al-Khazini berpendapat bahwa massa benda bergantung kepada suhu udara gagasan yang mengilhami pembuatan barometer atau tekanan udara yang dikaitkan dengan kepadatan udara. Ide ini mentautkan tekanan udara, suhu, dan massa. Gagasan al-Khazini mengenai topik ini menarik perhatian para sarjana mengingat kegagalan Yunani dalam memberi penjelasan yang jernih tentang perbedaan antara gaya, massa, dan berat. Juga, karena kesadaran al-Khazini mengenai bobot udara yang berkurang karena kepadatannya berkurang seiring kenaikan
altitude (ketinggian dari permukaan laut).
Memang, dalam beberapa literatur yang ada belum menemukan bukti bahwa Al-Khazini telah membuat rumus matematika dan persamaan terkait dengan hubungan antar variabel tersebut. Namun yang pasti, dia telah menemukan variabel-variabel yang terkait dengan peristiwa gerak jatuh suatu benda karena gravitasi bumi.
Baru pada abad ke-17 ilmuan Barat seperti Isaac Newton memformulasikan rumus-rumus matematika dan persamaan antar variabel dalam teori gravitasi tersebut. Jika demikian, maka Newton lebih pantas sebagai perumus teori gravitasi, sementara Al-Khazini sebagai penecetus teori gravitasi bumi.
Epilog
Ilmuwan muslim pada abad pertengahan mengalami sebuah kemajuan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan para ilmuwan dunia pada saat itu. Berbeda dengan ilmuwan Yunani yang lahir sebelum adanya islam, para ilmuwan muslim memiliki peranan penting dalam catatan sejarah keilmuwan di dunia. Ilmuwan muslim mewariskan metodologi eksperimen dalam membuktikan sebuah keilmuwan. Jika kita bandingkan dengan muslim masa kini, memang umat muslim pada masa kini mengalami sebuah kemunduran ilmu pengetahuan dibandingkan dengan umat yang lainnya. Namun, ilmu pengetahuan masa kini tidak akan pernah mengalami kemodrenan tanpa temuan-temuan penting yang ditemukan oleh umat islam pada abad pertengahan. Hal ini membuktikan bahwa umat islam pernah mengalami kemuajuan ilmu pengetahuan terlebih dahulu dan bahkan menjadi sebuah dasar dari ilmu pengetahuan masa kini.
[1] Penulis adalah Mahasiswa Semester III, Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.