KE MANA PEMILIH PEMULA MALAYSIA
"LET old mistakes be replaced by new improvement," ini adalah ajakan Isham Jalil, Presiden Sukarelawan Malaysia. Dia bukan satu satunya anak muda yang merasa gerah dengan perkembangan politik Malaysia, terutama menjelang Pemilu 2018 yang akan diselenggarakan bulan Mei. Media sosial menjadi tempat yang sangat tepat dan nyaman bagi anak-anak muda untuk mengekspresikan harapan, ekspektasi dan bahkan sikap politik mereka. Selain Isham, ada Maryam Lee yang sangat dikenal dengan slogan#UndiRosak yang telah diviralkan secara meluas di Youtube.
Maryam pun mengalami "cyber attack" dikriminalisasi akibat kampanyenya ini bahkan, konon, dari aktivis oposisi misalnya "deserved to be raped." Bagaimana sebetulnya sikap anak-anak muda Malaysia saat ini?
Kekecewaan Politik Anak-anak muda antara usia 20-30 tahun --yang menurut hitungan Komisi Pemilu mencapai 2/3 dari 3,8 juta penduduk-- merasa hopeless terhadap perkembangan politik Malaysia ke depan pasca Pemilu. Pemilu tidak akan mengubah apa-apa. Banyak kesalahan masa lampau yang dilakukan oleh pemerintah yang masih terjadi sekarang dan bahkan ke depan. Di antara kesalahan ini ialah ketidak mampuan pemerintah menciptakan keadilan sosial, ekonomi dan politik. Masih banyak masyarakat yang dalam waktu panjang terpinggirkan oleh sistem atau struktur politik yang diterapkan. Upaya-upaya koreksi baik yang dilakukan oleh masyarakat (para tokoh, cendikiawan, mahasiswa) melalui berbagai saluran (termasuk Demo Bersih) maupun oleh kekuatan oposisi, selalu saja tidak diperhatikan. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang kemudian ditangkap dan dipenjara.
Hal ini terjadi sejak era Mahathir sebetulnya. Suara kritis mahasiswa/kaum muda dan tokoh-tokoh dibungkam. Salah seorang korbannya ialah Anwar Ibrahim yang hingga sekarang masih dipenjara. Pengalaman pahit yang dialami kaum muda antara tahun 2010-2013 telah meyakinkan kaum muda bahwa sistim politik yang diterapkan tidak bisa dipercaya melakukan perubahan. Semula mereka sangat berharap kehadiran partai-partai oposisi. Akan tetapi, meskipun berhasil menaikkan perolehan suara yang cukup signifikan, UMNO dan Barisan Nasional masih mendominasi.
Kehadiran Mahathir sebagai pemimpin oposisi saat ini justru memperkuat ketidakpercayaan anak-anak muda kepada partai-partai politik. Bagaimana mungkin seorang otoritarian yang sudah berusia lanjut seperti Mahathir bisa diharapkan memimpin negeri? Bagaimana mungkin seorang yang telah terbukti melakukan tindakan represif selama berkuasa terhadap kekuatan pro demokrasi mampu mengarahkan Malaysia menjadi sebuah negeri yang kuat. Mereka skeptikal baik terhadap partai pendukung status quo (UMNO dan BN) maupun kepada partai-partai oposisi. Bagi anak-anak muda, para politisi Malaysia terlalu banyak bicara dan sedikit sekali berbuat. Malah dalam pandangan anak-anak muda, para politisi itu "childish, they just want to attack their opponents." Mereka tidak bisa diharapkan untuk melakukan perubahan.
Hasil survei Merdeka Centre dan Watan memberikan gambaran bahwa bagi anak-anak muda Pemilu tidak akan menghasilkan perubahan. 70 persen anak-anak muda tidak tertarik soal politik. Mayoritas mereka mengatakan "politics is confusing." Yang menjadi perhatian mereka adalah soal-soal kesempatan kerja yang tak menjanjikan, soal ketidakadilan, soal inflasi; mampukah partai-partai politik menjawab tuntutan penyediaan kesempatan kerja yang merata, mampukah partai-partai itu menyediakan pekerjaan bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan, mampukah mereka menyediakan rumah dan jaminan bisa menabung? Pertanyaan dan tuntutan pragmatis seperti inilah yang selalu menggelisahkan kaum muda.
Sebetulnya, UMNO memperoleh peluang menarik perhatian anak-anak muda ini. Program Barisan National yang dilansir yaitu Transformasi Nasional 2050 (TN 50) merupakan program riil pemerintah Malaysia yang memberikan arah Malaysia ke depan. Namun demikian, performan politisi dan pejabat-pejabat pemerintah yang, misalnya, terlibat dalam korupsi dan mementingkan diri dan kelompoknya membuat anak-anak muda tetap bersikap skeptikal. Karena itu, mereka cenderung tidak akan memberikan hak suara mereka dalam pemilu mendatang.
Anak-anak Muda dan Pemilu Generasi muda sebetulnya merupakan kelompok potensial atau "electoral pie" yang sangat menentukan hasil Pemilu. Kemenangan Obama, misalnya, adalah karena didukung oleh 60 persen (12 juta) anak-anak muda pada pemilu 2008 yang lalu. Di Malaysia, Pemilu ke 13 di Sungai Besar dukungan anak-anak muda Cina mencapai lebih 23 persen, naik dari 15 persen ke 38 persen. Kemudian di Kuala Kangsar juga sama, lebih 18 persen anak-anak muda menyumbang ke BN. Akan tetapi, dengan menurunnya kepercayaan mereka kepada partai-partai, politisi dan juga pemerintah karena berbagai faktor sebagaimana diurai di atas, maka Pemilu 2018 di Malaysia terancam oleh golput yang berasal dari anak-anak muda potensial. Kemungkinan saja, meskipun mereka sudah mendaftar akan tetapi belum tentu mereka benar-benar akan pergi ke bilik suara untuk memberikan pilihan mereka. Sistem Pemilu yang diterapkan bagi mereka terlalu ribet dan tidak menarik perhatian mereka di era digital sekarang ini.
Seharusnya dengan pemanfaatan high technology Pemilu bisa diselenggarakan lebih sederhana, efisien, efektif, fun, dijamin jurdil, partisipatoris. Kekuatan partai-partai di samping secara terus menerus berkonsolidasi secara internal untuk memenangkan Pemilu, juga harus menghitung dengan benar dan mencari cara yang tepat dan cepat menarik suara anak-anak muda. Inklinasi politik, pengaruh media, imajinasi dan ekspektasi kaum muda dan kritik mereka selama ini haruslah menjadi pelajaran penting bagi partai apapun untuk bisa masuk dan memikat hati agar kaum muda memberikan dukungan dalam pemilu 2018 nanti. Kita lihat, wallahu a'lam.[***]
Oleh: Dr. Sudarnoto Abd. Hakim, M.A (Dosen Tetap di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Re-posting dari: http://dunia.rmol.co/read/2018/04/27/337360/Ke-Mana-Pemilih-Pemula-Malaysia-