Islam Indonesia yang Ideal
Islam Indonesia yang Ideal
islamnusantara

Moderat, toleran, dan damai merupakan kata yang tepat untuk melukiskankan Islam yang ideal. Ketiga unsur itu adalah sumber utama dalam membangun Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam Indonesia merupakan satu-satunya Islam yang memenuhi semua syarat tersebut. Ditambah dengan warisan budaya yang amat kaya dan keragaman yang menghiasi wajah Islam Nusantara.

Sangat sulit menandingi nilai kearifan lokal Nusantara. Sebuah negeri yang plural menyatukan keragamanan budaya dalam ikatan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila sebagai dasar negara mampu meleburkan sekte-sekte primordial menjadi semangat kesatuan. Akulturasi Islam dan budaya lokal melahirkan Islam Nusantara yang ideal, berkarakter dan terorganisir dengan baik.

Radikalisme dan Fundamentalisme

Pada abad ke-20 ini, muncul paham-paham Islam fundamental dan Radikal yang mengancam persatuan Indonesia. Betapa tidak, tradisi Islam Indonesia yang ramah diubah menjadi cara-cara kekerasan. Padahal Islam mengajarkan dakwah dengan cara kelembutan dan cara-cara yang baik, bukan dengan ancaman maupun kekerasan.

Hal ini sangat diametral, mengingat Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin. Menurut KH. Hasyim Muzadi “Islam dapat berubah menjadi fitnatan lil ‘alamin bila berada di tangan yang salah”. Islam yang seharusnya menjadi rahmat bagi seluruh alam, dapat berubah menjadi masalah bagi seluruh alam jika berpindah pada tangan yang salah.

Paham-paham tersebut juga akan menghancurkan persatuan umat Islam. Bahkan melahirkankan stigma negatif terhadap Islam. Hanya karena kepetingan kelompok, mereka rela melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama Islam. Dampaknya akan berimbas pada umat muslim yang tinggal di wilayah minoritas. Mereka akan mendapat perlakuan diskriminasi dan tersudutkan di pojok-pojok kehidupan.

Islam radikal tercermin pada sebuah gerakan bernama ISIS (Islamic State Of Irak and Syiria) yang beberapa mutakhir ini mengancam bukan hanya Islam, tetapi juga atas dasar kemanusiaan. Di tanah air terjadi fenomena yang membuat geger semua pihak, ketika 16 orang WNI di Turki dinyatakan hilang. Mereka disinyalir ikut bergabung dengan ISIS pada beberapa bulan lalu. Bukan hanya di negeri bekas kajayaan Islam terakhir itu saja, di tanah air pun sempat menjadi tempat pembaiatan bagi simpatisan yang mengklaim Abdurrahman Al-Baghdadi sebagai khalifahnya. Lebih buruknya, pembaiatan ini terjadi di Aula Syahida Inn, kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kampus yang semestinya mampu memfilter gerakan-gerakan radikal dan fundamental, justru menjadi benih-benih kemunculan paham-paham tersebut.

Sungguh sangat memprihatinkan kelompok ini menyuarakan jihad dan memproklamirkan diri sebagai khilafah islamiyah. Padahal khilafah merupakan bentuk pemerintahan yang berdaulat atas sebuah wilayah. Sedangkan ISIS tidak memiliki legalitas atas sejengkal tanah pun. Mereka hanya sebuah kelompok jihadis yang mendeklarasikan diri sebagai khilafah. Tanpa legalitas UUD, GBHN, serta batas teritorial yang jelas.

Beberapa fenomena Islam fundamental juga tercermin pada gerakan Hizbut Tahrir. Nilai-nilai sakral Pancasila yang menyatukan bangsa ini dari multikulturalisme agama, budaya, dan bahasa terancam diporak-porandakan oleh gerakan fundamental mengatasnamakan perjuangan khilafah. Berbeda dengan ISIS yang menggunakan cara-cara kekerasan, HTI lebih menggunakan dakwah doktrinisasi kepada kalangan muda melalui majelis-majelis, halaqoh, dan lembaga-lembaga pendidikan.

Indonesia tidak menafikan eksistensi kelompok ini. Namun pahamnya yang fundamental dapat menjadi ancaman bagi NKRI. Mereka menginterpretasikan Islam tanpa melihat lingkungan sekitar.Seringkali mereka menyuarakan aspirasinya lewat aksinya dengan dalih “Indonesia Milik Allah”.

Padahal, para founding father kita tidak memaksakan Indonesia berdiri atas hukum Islam. Mereka lebih toleran, mengingat kemerdekaan Islam tidak hanya milik umat Islam namun milik rakyat Indonesia yang multikultural. Kendati demikian, mereka tetap menyisipkan nilai-nilai keislaman dalam Pancasila sebagai dasar negara. Tanpa mengubah substansi Pancasila, para pahlawan kita mengajarkan pentingnya toleransi beragama dalam membangun Indonesia.

Moderat dan Toleran Jauh dari semua itu, fenomena Islam radikal dan fundamental yang terjadi mutakhir ini, Indonesia masih terjaga dari arus ideologi yang menjadi ancaman negara. Kehadiran Muhammadiyah dan NU sebagai sayap-sayap Islam mengokohkan persatuan Indonesia. Faktannya, kedua ormas terbesar di Indonesia ini mampu meredam fanatisme kesukuan. Dengan kehadiran kedua ormas tersebut nilai-nilai Islam masuk melebur menjadi satu kesatuan dan semangat kebangsaan yang kuat. Dengan ajaran yang moderat, toleran dan menebarkan perdamaian bagi semua golongan. Moderat adalah ciri yang terpancar dari wajah Islam Nusantara. Betapa tidak, Islam Indonesia tidak kaku seperti di negeri tempat kelahiran Muhammad. Islam Nusantara juga tidak bebas seperti yang tumbuh di negeri paman sam. Ia bersifat fleksibel, toleran dan moderat. Nusantara merupakan tempat pertemuan dua perspektif Islam. Indonesia yang multikultural menjadi filter dalam masuknya perspektif Islam dari Barat dan Timur Tengah. Tanpa merubah substansi nilai Islam Indonesia mampu menjadi model Islam yang ideal. Kunjungan Chairman Grand Mosque dari Kota Lyon Prancis Azeddin Bahi pada Selasa (7/4) membuktikan keunikan Islam Nusantara. Menurut Azeddin Bahi, kedatangannya ke Indonesia ialah ingin membuktikan dan mengatakan kepada Prancis bahwa ada negara muslim besar yang menghargai minoritas. Ahlussunah wal Jamaah sebagai sebuah paham yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia mampu mengajarkan toleransi beragama dan kemanusiaan. Itu semua terakomodasi oleh paham yang dikembangkan kedua ormas terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah. Walaupun pada prakteknya seringkali bersebrangan. Namun keduanya menjunjung tinggi nilai Pancasila. Seperti halnya Piagam Madinah yang menyatukan kota Yastrib di bawah nauangan Islam. Beberapa saran Dari semua itu kita sepakat bahwa Islam nusantara adalah Islam yang ideal untuk dijadikan muara keislaman di dunia. Maka dalam hal ini pemerintah dan semua pihak harus mempunyai kepekaan di dalam menebar keislaman nusantara dengan beberapa hal. Pertama, mempromosikannya dalam diskusi publik. Absurd rasanya jika Islam Nusantara masyhur tanpa adanya legitimasi. Untuk mencegah pengakuan dari negara lain, penting bagi Indonesia mendeklarasikan Islam Nusantara sebagai hasil dari inisiasi nilai pancasila. Mengingat kebangkitan Islam yang didambakan selama ini belum terealisasi Kedua, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Islam Nusantara bukanlah hal yang perlu diseminarkan, dimuktamarkan dan dilegitimasi. Lebih dari itu, Islam Indonesia akan terus berkembang jika kita terus mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan otomatis, kita akan mewariskan nilai-nilai tersebut kepada generasi selanjutnya. Hal ini merupakan langkah kongkrit dalam melestarikan Islam Nusantara. Ketiga, mencegah masuknya radikalisme dan fundamentalisme. Eksistensi Islam Indonesia akan terhambat jika dua paham ini masuk. Media internet merupakan salah satu tempat tumbuh kembangnya kedua paham tersebut. Faktanya adalah kasus yang diceritakan oleh Azeddin Behi saat berkunjung ke Indonesia. Ia mengatakan sekitar 1500 warga muslim Prancis yang bergabung dengan ISIS. Mereka mualaf Prancis yang mengetahui Islam dari internet, bukan bersumber dari masjid-masjid yang ada di Perancis. Fakta ini menjelaskan dampak kedua paham tersebut menyebar melalui internet. Dampaknya pun bukan dirasakan oleh negara berkembang seperti Indonesia namun negara maju sekaliber Perancis. Langkah pemerintah dalam memblokir situs Islam yang berbau radikalisme merupakan cara kongkrit dalam menjaga nilai Islam Nusantara. Walaupun mendapat respon yang beragam dari masyarakat. Ada yang mendukung, ada pula yang menghujat. Rifqi Aziz