Islam dan Transformasi Budaya
Islam dan Transformasi Budaya

Islam merupakan salah satu agama besar yang ada di dunia, yang tumbuh dan berkembang di jazirah Arab, ajaran Islam pertama kali diperkenalkan oleh Muhamad SAW. Ajaran Islam berhasil menyebar sampai ke Nusantara pada abad ke-7 M[1], penyebarannya tidak lepas dari aktivitas niaga yang dilakukan oleh bangsa Arab dengan bangsa pribumi. Sifat ajaran Islam yang fleksibel berhasil menarik perhatian masyarakat luas untuk mempelajari, memahami, serta menjadi penganutnya.[2] Masuknya Islam ke Nusantara memberi kontribusi yang sangat besar bagi kehidupan sosial masyarakat pribumi. Pertumbuhan dan perkembangannya cukup pesat setelah melalui tahapan yang tidak mudah, keberhasilan Islam tidak luput dari keberhasilannya berasimilasi dengan budaya lokal, sehingga Islam bisa diterima secara mudah oleh penduduk pribumi. Akulturasi budaya yang terjadi, melahirkan budaya-budaya baru yang disebut sebagai budaya Islam lokal, puncaknya terjadi pada abad ke-17 M saat peradaban Hindu-Budha menurun, pada abad inilah titik awal terjadinya proses integrasi Islam di Nusantara.[3]Islam mulai berkembang pesat keberbagai wilayah di Nusantara, tak terkecuali di Jawa Barat, dengan Cirebon sebagai pusatnya yang telah berdiri sejak abad ke-15 M. Komunikasi budaya dengan ajaran Islam di Jawa Barat cukup kompleks dan bervariasi. Salah satu contohnya adalah melalui kesusastraan, yang  berkaitan erat dengan penulisaannya yang memakai bahasa Sunda. Bahasa sunda adalah bahasa yang di gunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat dan Banten yang berpenduduk sekitar 30 sampai 40 juta jiwa. Kesusastraan Sunda lahir dari masyarakat Sunda yang mengalami perkembangan dari masa ke masa, yang dipengaruhi oleh budaya luar seperti, Hindu-Budhha, Islam, Jawa, dan Eropa (terutama Belanda). Kesusasteraan Sunda muncul pada abad ke- 14 sampai abad ke-16 yang di buktikan dengan adanya naskah Serat Dewabuda Atau Sewakadarma(1435 M) dan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M). Pada masa itu kesusasteraan Sunda masih di pengaruhi oleh kebudayaan dan ajaran Hindu-Budhha. Seiring runtuhnya Pajajaran pada tahun 1579 M agama Islam masuk meyebarkan ajaran dan kebudayaannya, dengan masuknya ajaran dan kebudayaan Islam dibawah kekuasaan Mataram yaitu pada awal abad ke-17 M barulah kesusasteraan Sunda mendapat pengaruh dari agama dan kebudayaan Islam serta kebudayaan Jawa yang berisikan pujipujian kepada Allah dan nabi serta cerita-cerita Islam. Kesusasteraan tradisional Sunda diantaranya; dongeng, carita pantun, mantra, kawih, sisindiran, pupujian, sawer, guguritan, dan wawacan.[4] Dari banyaknya jenis kesusasteraan Sunda, yang memiliki fungsi sebagai media syiar Islam adalah guguritan. Guguritan atau dangding adalah bentuk puisi tradisional yang memiliki aturan baku dan masuk kedalam sajak bermatra (metrical verse). Larik-lariknya diatur secara baik sebagaimana pusi bermatra lainnya.  Di dalamnya dangding berisi berbagai hal, termasuk cerita (hikayat, roman) atau uraian agama yang ditulis berbentuk puisi dengan pola 17 jenis pupuh  yang semakin berkembang setelah mendapat pengaruh dari Islam bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Sunda pada tahun 1579.[5] Dangding atau guguritan sebelumnya merupakan budaya Jawa-Mataram yang berkembang sekitar abad ke-17. Dangding yang bertransformasi menjadi media syiar Islam tidak terlepas dari ajaran tasawuf dalam Islam, tasawuf sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara  untuk berada sedekat mungkin dengan Allah Swt dengan melalui tahapan-tahapan tertentu (maqamat) .[6] Beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara menyatakan bahwa para penyebar Islam ke Nusantara adalah para sufi,[7] yang menekuni ilmu tasawuf tersebut, jadi penggunaan dangding dalam menyiarkan Islam tidak terlepas dari pembawa ajaran Islam ke Nusantara itu sendiri, mereka mengajarkan tasawuf kepada muridnya yang kemudian di sampaikan kembali oleh murid-muridnya dengan membuat ajaran tasawuf dalam bentuk dangding. Cara penyampaiannya , dangding di iring oleh tembang karawitan, tapi kadang hanya di bacakan saja, nilai seni yang terdapat dalam dangding tidak hanya cara penyampainnya saja yang ditembangkan, tapi dalam penulisannya yang sangat memperhatikan pemilihan kata (diksi). Penulisan dangding dalam tradisi Sunda umumnya berbentuk metafora, yang berisi amanat dari penulis, selain itu umumnya penulis menyertai tulisannya dengan situasi dan kondisi sekitar seperti kondisi alam, tapi tetap dalam aturan penulisannya dan tidak menghilangkan pesan yang ingin disampaikan. Dalam sejarah Jawa Barat mengenai dangding yang berkontemplasi dengan tasawuf terdapat tokoh-tokoh yang cukup terkenal karena ke khasan dan peranannya dalam menyebarkan ajaran tasawuf, salah satunya adalah Haji Hasan Mustapa. Dangding yang di tulis oleh Haji Hasan Mustapa yang paling terkenal adalah martabat tujuh ajarannya berisi tentang hubungan khalik dengan makhluknya dalam proses pencairan diri yang di bingkai dalam tradisi Sunda, ia menggunakan ajaran ini sebagai pijakan meningkatkan martabat rohani. Konsep dan cara penyampain ajaran ini telah membentuk sistem kepercayaan yang menjadi landasan penting bagi pembentukan serta penanaman nilai-nilai budaya dan nilai-nilai keagamaan.[8] Akulturasi yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal telah membentuk karakter yang kuat, dan memberi suatu kemajuan di berbagai aspek kehidupan. Ajarannya yang tak mengenal sistem kesukuan dan kasta, telah membukakan jalan bagi pemeluknya untuk terus memperbaiki diri, dengan cara terus mempelajari menuntut ilmu. Islam Nusantara merupakan bagian dari peradaban Islam dunia yang memiliki banyak keunikan serta ke khasan yang tidak di milik oleh peradaban Islam lainnya, penyebarannya melalui jalan damai telah membuat Islam berjaya.

[1]AzyumardiAzra, JaringanUlamaTimur Tengah Dan Kepulaun Nusantara Abad  XVII & XVIII, Jakarta, 2013, h. 8 [2]icon [3]Abdul Hadi W.M, Menjadi Indonesia, Jakarta, 2006, h. 465 [4] Achadiati Ikram, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Bahasa, Sastra, Dan Aksara), Jakarta, 2009, h. 108-126 [5] Jajang A Rohmana, Tasawuf Sunda Dan Warisan Islam Nusantara: Martabat Tujuh Dalam Dangding Haji Hasan Mustopa, UIN sunan Gunung Jati Bandung, 2013, h. 12 [6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta, 2008, h. 43 [7] Abdul Hadi, dkk, Indonesia Dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Peradaban Islam), Jakarta, 2012, h.5 [8] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta, 2012, h. 415   Irvan Hidayat, Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam semester 4, Fakultas Adab dan Humaniora.