IDUL FITRI UNTUK INTEGRITAS ANTIKORUPSI
IDUL FITRI UNTUK INTEGRITAS ANTIKORUPSI

Belum lama ini, hasil riset TII (Transparancy International Indonesia), sebagaimana diberitakan media masa, menunjukkan bahwa pada tahun 2016 Indonesia belum beranjak dari negara terkorup di dunia.  Dari 163 negara yang diriset, Indonesia menempati posisi yang ketiga terbuncit dari bawah. Dalam pemberitaan media masa belakangan ini, hasil riset ini dikonfirmasi oleh tertangkapnya anggota DPR dari partai Demokrat yang menjadi makelar proyek dan juga tertangkapnya sebagian pelaksana MA sebagai lembaga keadilan tertinggi. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, realitas ini tentu memprihatinkan. Karenanya, sosialisasi nilai-nilai integritas antikorupsi agaknya sangat penting untuk dikemukakan. Salah satunya nilai-nilai yang terdapat  dalam Idul Fitri.

Integritas Antikorupsi dalam Idul Fitri

Agaknya, hampir semua umat Islam, berdasarkan QS. Al-Baqarah, mengetahui bahwa tujuan diberlakukannya puasa selama sebulan penuh di Bulan Ramadhan dengan berakhir pada idul fitri adalah untuk menciptakan insan-insan bertakwa. Dalam bahasa ilmu sosial, kata takwa sebanding dengan kata integritas. Dengan beridul fitri, seorang Muslim yang merayakan idul fitri diharapkan selama 11 bulan setelahnya berintegritas, terutama integritas antikorupsi. Integritas adalah padunya hati, kata, dan tindakan. Seorang berintegritas berarti tidak berbohong dan tidak berkhianat dalam bekerja. Seorang yang berintegritas antara hati dan perkataannya sama, tidak berbeda, dan antara perkataan dan tindakannya juga sama. Ia tidak hanya pintar bicara tetapi bicaranya terkait anjuran berbuat baik berasal dari kebiasaan yang ia lakukan. Seorang yang merayakan idul fitri harus mampu menarik gerbong kantor tempatnya bekerja untuk berintegritas.

Itulah yang dimaksud dengan hadis qudsi: “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya langsung”, demikian firman Allah. Hal ini mengingat puasa yang berakhir dengan idul fitri adalah kontrak antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dengan berpuasa, seorang Muslim, paling tidak melakukan kontrak dengan Tuhannya selama 29 atau 30 kali. Meski di siang hari tidak ada satu orang pun yang melihat, baik dari anggota keluarga, orang lain, atau rekan kerjanya, ia tidak akan berbuka dengan minum, makan, atau melakukan kegiatan seksual, karena ia telah melakukan kontrak dengan Tuhannya langsung. Sebagai hari wisuda, dengan beridul fitri, seorang Muslim harus mampu merefleksikan puasanya dengan ihsan, merasa diawasi Tuhan dalam tindakannya sehingga tidak berani berbuat tindakan tidak berintegritas semisal korupsi di tempat kerjanya.

Dengan beridul fitri juga kaum Muslimin juga diharapkan menjadi seorang yang konsisten, salah satu bagian penting dari integritas. Selama sebulan penuh, seorang Muslim telah secara konsisten di siang hari berpuasa, meski menyakiti badannya, dengan tidak makan dan minum, juga menahan diri dari melakukan hubungan seksual. Bagian konsistensi dalam berpuasa/idul fitri ini sejalan dengan nilai istiqamah, bersikap ajeg dalam melakukan kebaikan dan menghindar dari keburukan, dan juga nilai dawam, terus menerus dalam tindakan kebaikan. Yang diminta oleh Allah bukan sikap ibadah yang sekaligus. Misalnya seorang tidak berpuasa selama 10 tahun, lalu dia kemudian berpuasa dengan meng-qadha-nya selama sepuluh bulan berpuasa berturut-turut. Tindakan kebaikan meski kecil yang dilakukan terus menerus lebih dicintai Allah ketimbang tindakan kebaikan yang dilakukan sekaligus. Tindakan berintegritas karenanya adalah konsistensi dalam melakukan kebaikan seperti tidak korupsi, meski saat mengancam diri sendiri dan keluarga sekalipun, seperti kadang dialami oleh para pendekar antikorupsi di negeri ini. Seorang yang beridul fitri setelah berpuasa, paling tidak idealnya, tidak akan merasa sakit saat tertimpa kesulitan hidup sebagai konsekuensi dari tindakannya menegakkan integritas. Hal ini karena puasa sendiri, meski sesungguhnya menyakitkan badan, badan terasa enteng karena tekad/niat, dimana ruhaninya telah memimpin jasmaninya. Seorang yang memiliki kehendak kuat untuk berintegritas tidak akan merasa sakit, meski harus menghadapi ancaman yang menyakitkan dirinya dan keluarganya karena kehendak ruhaninya. Jasmani dalam hal ini hanyalah wadah bagi ruhani, karena eksistensi manusia sesungguhnya lebih ditentukan oleh ruhaninya.

Seorang yang merayakan idul fitri idealnya juga mampu menyangkal berbagai kenikmatan demi mendapatkan pencerahan spiritual dan tegaknya integritas.  Idul fitri menekankan pentingnya hidup asketik, hidup zuhud. Paling tidak, dalam arti tidak menjadi budak nafsu dirinya dengan tidak menjadi hamba harta, tahta, dan cinta. Dengan beridul fitri setelah berpuasa sebulan penuh harusnya kaum Muslimin menjadi manusia-manusia bebas, tidak menjadi budak nafsu untuk mengeruk kekayaan, apalagi kekayaan yang tidak halal dengan melakukan korupsi. Alasannya karena idul fitri dan puasa mengajarkan bahwa kebahagiaan sesungguhnya bukanlah bersumber dari berlimpahnya harta kekayaan, juga kekuasaan dan cinta dalam arti fisik. Meski materi dalam Islam penting selama nafsu material ditundukkan, kebahagiaan sesungguhnya bukanlah bersumber dari dunia/material. Kebahagiaan yang bersumber dari materai dalam filsafat disebut kesenangan. Kebahagiaan adalah kebahagiaan batin. Misalnya kebahagian saat bisa membantu orang lain atau saat menegakkan kebenaran.

Dalam Islam dan juga puasa/idul fitri, rezeki yang dianjurkan bukanlah rezeki yang banyak, tetapi rezeki yang berkah (barakah fir rizqi). Dalam puasa/idul fitri, tidak ada artinya rezeki yang banyak, kalau dari hasil tindakan tidak berintegritas seperti korupsi atau berdagang dengan mengurangi timbangan, karena sesungguhnya harta orang lain yang diambil dengan cara tidak benar adalah tetap harta orang lain yang harus dikembalikan di akhirat. Sekalipun dipakai di dunia tidak akan berdampak positif. Karenanya, di dunia ini sering kita saksikan ada orang yang hartanya tidak banyak, tetapi semua anaknya jadi sarjana, karena hartanya berkah (jika sedikit harta yang didapat cukup, jika banyak ia tersisa). Sebaliknya, ada orang yang terhormat dan hartanya banyak, tetapi semua anaknya kena narkoba. Mungkin harta yang diberi kepada anaknya hasil tindakan tidak halal. Hidup memang seperti bermain ular tangga. Jika berbuat salah saat sudah berada di atas, bisa jatuh ke bawah.  Bahkan jika hasil korupsi  disedekahkan pun tidak ada artinya, meski pelakunya di dunia dikenal sebagai ahli sedekah. Hal itu sama saja dengan mencuci baju dengan air seni.

Beridul fitri berarti juga tidak menjadi beban orang lain, tidak menjadi benalu seperti para koruptor baik di legislatif, eksekutif, maupun di lembaga yudikatif, termasuk di dalamnya di MA. Dalam puasa asumsi ini disimbolkan dengan anjuran untuk memberi buka puasa yang pahalanya sama dengan orang berpuasa yang diberi buka, dan terutama zakat fitrah yang wajib dilakukan oleh semua kaum Muslimin yang mampu di malam takbir, meski bisa dilakukan sebelumnya. Idul fitri, karenanya, menekankan sikap nasionalistis, mengorbankan diri, harta, dan jabatan untuk kepentingan umum, baik bangsa maupun ummat. Dalam idul fitri/puasa, jangankan mengambil harta publik atau orang lain, menahan harta sendiri yang didapat secara halal untuk dinikmati sendiri dan keluarga saja tanpa berbagi dilarang.  

Tidak Menjadi Kenyataan

Pertanyaannya, mengapa kaum Muslimin setiap tahun merayakan idul fitri setelah sebelumnya berpuasa sebulan, tetapi nilai-nilai di atas tidak menjadi kenyataan seperti di bagian awal tulisan telah disinggung. Jawabannya karena nilai-nilai di atas tidak menjadi sistem sosial, tidak menjadi corporate culture, dan tidak ditegakkan dalam hukum kenyataan. Manusia ternyata akan menjadi manusia dengan moralitas dan hukumnya saat mereka menjadi bagian dari sistem sosial, sistem masyarakatnya, sebagaimana diakui ilmuan sosial seperti Durkheim,  meski manusia sendiri berpotensi menegakkan sendiri, jika bertekad/niat kuat. Manusia menjadi manusia karena masyarakatnya. Dalam puasa/idul fitri, kesimpulan ini tampak dalam puasa sebagai sistem sosial, yang jika seorang Muslim tidak berpuasa akan dikucilkan lingkungannya, bahkan akan diancam api Neraka. Terlebih jika tidak juga berzakat fitrah. Di sinilah relevansinya hadis Nabi riwayat Bukhari Muslim: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa, karena jika yang mencuri kalangan tinggi dari mereka, hukum dibiarkan tidak berlaku. Sementara jika yang mencuri kalangan bawah, hukum ditegakkan”. Integritas hanya akan menjadi kenyataan, jika telah menjadi sistem integritas nasional seperti yang disarankan Jeremy Pope. Wallah a’lam bis-shawab.

(Oleh: Sukron Kamil - Dekan dan Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)