IDUL FITRI DAN RELIGIUSITAS
IDUL FITRI DAN RELIGIUSITAS
Belakangan ini semakin banyak kita dijejali berita banyaknya pimpinan publik kita yang ditangkap KPK karena korupsi. Sampai Juni 2018 ini saja, lebih dari sepuluh bupati/walikota yang ditangkap KPK. Mereka mayoritas Muslim dengan nama-nama Islami. Sebelumnya, ada banyak aktivis Islam yang sudah dipenjara. Hampir semua partai Islam memiliki kader yang tertangkap KPK. Bahkan, partai Islam yang mengkampanyekan dirinya sebagai partai bersih sekalipun, ada salah satu pimpinannya yang juga ditangkap dan dipenjara. Tentu saja yang ditangkap dari partai nasionalis lebih banyak lagi, dan sebagiannya ada besar sebagai aktivis ormas kepemudaan Islam. Sebagai pimpinan Muslim, mereka kemungkinan besar berpuasa selama Ramadhan. Pertanyaannya mengapa mereka tidak menjadi seorang yang berintegritas atau menghindari perbuatan buruk lainnya (bertakwa), sebagai tujuan puasa yang berakhir dengan Idul Fitri? Salah satunya agaknya, karena mereka berpuasa secara fisik/luar (hanya memiliki religi), belum sampai ke hati dan otaknya (tidak memiliki religiusitas/rasa keberagamaan yang tinggi). Religiusitas Dalam Islam, tidak ada ibadah yang menekankan religiusitas kecuali puasa Ramadhan. Karenanya, Idul Fitri sebagai akhir dari puasa yang dijalankan sebulan penuh bisa disebut sebagai simbol religiusitas yang tinggi. Puasa harusnya membuat para pelakunya memiliki religiusitas yang tinggi. Dengan begitu, mereka terhindar dari prilaku angkara murka semisal korupsi selama sebelas bulan belakangan setelah Idul Fitri. Puasa adalah tindak ibadah yang tidak bisa dipamerkan untuk pencitraan. Berbeda dengan salat, zakat, apalagi haji yang bisa dipamerkan, puasa tidak. Seorang yang sering ke masjid untuk salat, berzakat, dan berhaji bisa dengan mudah memfoto dirinya atau difotokan orang lain, lalu di-upload di media sosial miliknya. Citra dirinya sebagai seorang yang beragama pun menjadi dikenal orang. Namun, puasa berbeda. Puasa bukan ibadah jasmaniyah yang tampak. Paling-paling yang bisa ditampakkan badannya yang lemas atau bibirnya yang pecah saat berpuasa. Namun, kalau itu yang dipamerkan di medsos bisa diragukan orang. Tubuh yang lemas dan bibir yang pecah bisa menunjukkan hal lain juga, tidak hanya puasa. Puasa yang  berakhir dengan Idul Fitri merupakan kontrak antara pelakunya dengan Allah. Seorang yang sudah berniat untuk berpuasa dan kemudian makan sahur pada malam hari, saat sendirian di siang hari, tentu tidak akan makan dan minum, juga hubungan badan, meski tidak ada orang lain yang melihat. Istri atau anak-anaknya sekalipun. Alasannya, karena ia sudah berjanji dengan Allah. Ia merasa diawasi Allah. Ini tentu simbolik. Jika selama sebelas bulan pasca Idul Fitri, seorang Muslim yang berpuasa Ramadhan  menghindari dari yang haram, bukan yang halal, harusnya bisa. Hal ini karena secara logika harusnya ia merasa diawasi oleh Allah selama sebelas bulan pasca Idul Fitri, sebagaimana merasa diawasi saat berpuasa Ramadhan.  Apalagi saat sebelas bulan pasca Idul Fitri yang harus dihindari bukan yang halal (makan, munum, dan seks), melainkan hanya yang haram semisal menjarah harta orang/negara. Lebih jauh lagi, ada banyak manusia dan mesin yang ikut mengawasi, yaitu di Indonesia semisal BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), polisi, dan juga irjen di kelembagaannya masing-masing. Jika tidak seperti itu, sebagaimana yang tampak dari prilaku para koruptor, maka puasa yang dilakukan seorang Muslim menjadi tidak berarti, tidak bernilai. Artinya tidak mencapai derajat takwa. Mereka hanya sampai pada agama luar, bukan agama dalam. Itu yang disebut dalam hadis bahwa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan haus saja. Dan puasa seperti ini tidak dibutuhkan Allah. Puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang dibarengi tindakan menghindari dari yang haram, baik saat puasa, maupun sebelas bulan setelahnya. Itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan, mendapatkan Idul Fitri.  Dalam hal ini, puasa hampir sama dengan berkorban pada bulan haji, dimana yang sampai kepada Allah bukanlah daging dan darah hewan korbannya, melainkan sikap takwa (religiusitas) para pelakunya. Selain itu, dalam Islam, hal-hal yang haram identik dengan dunia, yang dalam bahasa Arab berarti yang dekat, yang instan, bukan akhirat, jangka panjang yang jauh. Dunia juga identik dengan materi, dimana manusia juga adalah makhluk materi. Selama Ramadhan, manusia Muslim saat Idul Fitri diharapkan bisa terbebas dari belenggu materi yang disimbolkan dengan makanan, minuman, dan seks sebagai materi yang paling sering menggoda dan berpengaruh pada manusia. Dalam Idul Fitri, manusia bukan berarti harus menjadi makhluk spiritual sepenuhnya, tetapi dikembalikan menjadi manusia yang punya dan butuh materi, tetapi dengan ruhani sebagai pimpinannya. Idul Fitri identik dengan kemenangan ruhani atas jasmani/materi.  Dengan begitu, Idul Fitri dan puasa menekankan sikap asketik (zuhud), dengan tidak asketik murni/mutlak. Wajar, jika puasa merupakan amalan yang menjadi jalan menjadi sufi, paling tidak neo-sufisme, yaitu hidup dengan tetap bersama manusia lainnya dan tetap membutuhkan dan memiliki materi, tetapi tidak menjadi budaknya. Religiusitas dalam puasa juga dikuatkan lagi dengan adanya anjuran dalam paruh sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk memburu lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan sebagai simbol pencerahan spiritual. Kaum Muslim dianjurkan untuk lebih banyak beri’tikaf di masjid, bukan di mal pada sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai Idul Fitri. Yang harus banyak dilakukannya adalah beribadah ritual mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya membaca dan mengkaji al-Qur’an (tadarus), bertasbih, memuji, dan membesarkan Allah, selain salat wajib dan juga tarawih. Juga membaca buku-buku keagamaan. Namun, semua dilakukan dengan kehadiran hati. Tanpa itu, kata para sufi, maka amalan-amalan di atas sama saja dengan olahraga lidah atau olahraga anggota badan lainnya, yang tidak akan berpengaruh pada sikap pelakunya pasca Idul Fitri. Sejalan QS. al-Ma’un Dengan penjelasan di atas, maka Idul Fitri dan puasa sama dengan pesan QS. Al-Maun yang di Indonesia dikenal sebagai doktrin Muhammadiyah. Dalam surat ini, seorang yang mengaku beragama adalah bohong, dan berhak masuk Neraka Wail, jika mereka salat, juga berpuasa, tetapi mereka lupa. Hatinya tidak hadir dalam salat dan puasanya, bahkan salatnya menjadi alat untuk mengingat hal-hal yang lupa di luar salat. Yang bohong dalam beragama pula adalah orang yang salat atau puasa dengan riya, untuk dilihat orang sebagai pencitraan semata. Bohong dalam beragama berarti beragama hanya dalam hal-hal yang tampak, yang fisikal. Sementara secara batin tidak. Itu berarti beragama yang baik adalah beragama dengan religiusitas yang tinggi. Hanya agama yang dengan religiusitas itulah yang akan menjadi penganutnya dalam mu’amalah (interakasi sosial)-nya baik, dimana agama seseorang sebagaimana disebut Nabi diukur dengan tindakannya kepada sesama, bahkan juga alam semesta. Dalam bahasa al-Qur’an ia harus menjadi rahmatan lil-‘alamain (rahmat bagi alam semesta), bukan hanya untuk manusia, termasuk di dalamnya non Muslim, melainkan juga bagi tumbuhan, hewan, bumi, dan makhluk lain yang tak bernyawa. Keharusan ber-mu’amalah yang baik itu ditekankan juga dalam Idul Fitri dan puasa. Dalam Idul Fitri dan puasa, juga QS. Al-Ma’un, sesorang yang memiliki  religiusitas (rasa keberagamaan dalam batin) yang tinggi tampak dalam sikap humanisnya dengan membantu fakir miskin dan juga memperhatikan anak-anak yatim. Tanpa itu, maka seseorang yang mengaku beragama adalah bohong, hanya benar di lihat dari sisi luar saja. Agama karenanya adalah sikap humanis dengan banyak melakukan amal filantropi. Dalam Idul Fitri, hal itu disimbolkan dengan keharusan berzakat fitrah pada malam takbir. Selama Ramadhan, dianjurkan juga memberi buka puasa yang pahalanya sama dengan puasa seharian dan juga bersedekah lainnya. Dan berzakat fitrah tersebut, menurut Imam Hanafi, boleh diberikan kepada non Muslim. Idul Fitri seseorang pun tidak sah,  tanpa melakukan zakat fitrah, perilaku solidaritas sosial, karena makna hidup dalam Islam adalah bermanfaat bagi sesama yang harus dipraktikkan bukan hanya selama Ramadhan, tetapi juga setelah Idul Fitri. Selamat Idul Fitri, semoga kita menjadi orang yang berreligiusitas tinggi selama sebelas bulan setelahnya. Wallah a’lam bis-Shawab.