Idul Fitri dan Moderasi
Idul Fitri dan Moderasi

Idul Fitri bisa diartikan dengan dua makna. Pertama, kembali pada fitrah (asal kejadian atau kesucian). Dalam al-Quran, asal kejadian manusia adalah bebas dari dosa, suci, dan berkecenderungan pada kebenaran.

Kedua, kembali pada asal kejadian manusia yang punya jasad kasar/jasmani. Sejak Idul Fitri ini manusia dibebaskan memenuhi kebutuhkan makan, minum, dan seks, di siang hari sekalipun, tetapi dengan harus dikendalikan oleh ruhaninya, sehingga tetap menjadi makhluk yang bermartabat (berbeda dengan hewan), memiliki ruh ketuhanan, dan tidak terjerumus pada hal-hal yang nista. Idul Fitri berarti hari raya berbuka puasa, karena selama sebulan sebelumnya kaum Muslimin dilarang makan, minum, dan melakukan hubungan seksual yang sesungguhnya halal di 11 bulan setelahnya.

Puasa dan Idul Fitri sebanding dengan larangan Nabi mengabdikan diri sepenuhnya untuk Allah dengan hanya menghidupkan sisi ruhani saja, sementara sisi jasmani dimatikan. Dalam suatu hadis sahih dijelaskan bahwa Nabi memperoleh pengaduan dari seorang istri sahabat bahwa suaminya tidak lagi me medulikannya. Tidak pernah "mendatanginya" dan juga tidak memberinya, juga anak-anaknya, nafkah lahir. Nabi pun kemudian bersabda: "Sesungguhya segala sesuatu mempunyai hak. Penuhi lah semua yang punya hak sesuai hak nya."

Dalam hadis ini, Nabi mengakui bahwa badan (jasmani), istri, dan anak juga mempunyai hak untuk dipenuhi. Islam, sesuai hadis Nabi, juga puasa dan Idul Fitri, adalah agama moderat, bukan agama ekstrem yang menganjurkan hidup secara alami. Bahkan, dalam sejarah, salah satu faktor yang membuat Islam bertahan dan berkembang hingga sekarang karena karakternya yang moderat.

Islam adalah agama kemaslahatan manusia. Sesuatu dianggap Islam atau tidak adalah apakah dakwah, ajaran, sikap, dan lainnya yang diklaim Islam di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi banyak manusia atau tidak. Bahkan, dalam aliran ini pun dikenal kaidah menolak kerusakan, seperti pertumpahan darah, lebih didahulukan daripada mengejar nilai tertentu seperti keadilan sekali pun, bahkan tuntutan harfiah ayat sekalipun.

Berdasarkan puasa dan Idul Fitri, Islam memandang nafsu jasmaniah secara poistif. Ia berbeda dengan agama lain karena Islam memandang nafsu jasmaniah, seperti makan, minum, dan seks, bukan sebagai sesuatu yang harus dimatikan/dibunuh. Nafsu jasmaniah dalam Islam dipandang perlu, karena tanpa itu manusia tidak bisa bertahan dan berkembang.

Islam memandang manusia sebagai entitas ruhani dan jasmani, sebagai dua sisi mata uang. Ia menolak klaim materialisme yang memandang manusia sebagai entitas materi saja. Karenanya, bagi aliran ini, apa yang disebut ruhani hanyalah ilusi. Hal-hal ruhaniah hanyalah kerja otak manusia, bagaikan air seni sebagai hasil kerja ginjal. Islam juga menolak aliran idealisme yang menafikan keberadaan hal-hal fisik/jasmani, di mana fisik/jasmani hanya wadah semata bagi ruhani.

Dalam masyarakat Muslim, seorang pimpinan ordo sufi semisal Tarekat Qadiriyyah sekalipun menikah. Sebagai-mana puasa dan Idul Fitri serta perkawinan, perceraian diletakkan dalam Islam. Perceraian tidaklah dipandang buruk, meskipun sebagai pintu darurat saja. Artinya, jika perceraian dipandang lebih maslahat bagi fisik dan ruhani manusia, maka perceraian tidak diharamkan dalam Islam.

Hal yang sama adalah poligami. Meski dalam Islam prinsip pernikahan adalah monogami, poligami dalam keadaan tertentu yang darurat dibolehkan. Dalam Islam, sebagaimana dikemukakan HAMKA, jalan menuju sikap adil adalah monogami, sementara poligami adalah jalan menuju kezaliman. Namun, sebagaimana diakui Huston Smith, ahli perbandingan agama, dalam keadaan tertentu, poligami walau bagaimanapun dibutuhkan, yang tidak boleh ditutup sama sekali.

Sebagaimana cerai dan poligami, perang dalam Islam adalah jalan darurat yang boleh dipilih ketika diserang/membela diri atau tak ada jalan lagi untuk melakukan perdamain. Dalam berbagai ayat dan hadis dijelaskan, Islam adalah agama yang memang menekankan sikap ihsan (berbuat baik [tidak melakukan ke kerasan] kepada orang jahat atau musuh sekalipun). Islam juga menekankan keharusan melakukan musyawarah (kebalikan dari kekerasan) sebagai bentuk resolusi konflik.

Bahkan, dalam konsep resolusi konflik pun, umat Islam dianjurkan agar tidak melakukan tuntutan seratus persen, seperti yang telah dilakukan Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam perjanjian ini, Nabi mengikuti keinginan kafir Quraisy, dan teksnya pun diubah sampai dua kali yang membuat Umar bin Khattab gusar. Islam juga menekankan sikap inklusif (memandang orang lain bagian dari diri sendiri) dan memandang perbedaan sebagai sunnatullah bahkan sesuatu yang positif agar manusia saling berlomba dalam kebaikan.

Banyak ayat dan hadis yang memperlihatkan ajaran itu. Namun, Islam juga agama pragmatik. Karenanya, dalam Islam, perang pun kemudian diatur agar tidak melampaui batas (bersifat ekstrem). Konsep perang dalam Islam tidak mengenal bumi hangus. Islam juga mengharuskan agar kaum Muslim membiarkan orang-orang sipil seperti wanita, anak-anak, orang-orang tua, pihak yang membantu, dan yang mengabdikan diri untuk ibadah untuk tidak diserang.

Puasa dan Idul Fitri, sesuai karakter moderasi Islam, juga sama dengan doktrin Islam mengenai politik dan ekonomi. Keduanya dalam Islam tidaklah di pandang buruk, meski keduanya bagian dari keinginan dan pemenuhan nafsu. Keduanya boleh dikejar untuk diperoleh manusia, asalkan sesuai etika dan akomodatif terhadap keberadaan orang lain dan aspirasi masyarakat.

Nabi pun bahkan di Madinah mempunyai kekuasaan temporal (politik) yang diperoleh lewat perjanjian dengan elite (bai'at Aqabah dan Perjanjian Madinah), tidak hanya menjadi Nabi. Untuk ekonomi, entry point-nya bisa dilihat dari konsep zakat dalam Islam.

Berdasarkan penjelasan puasa dan idul fitri serta doktrin Islam lainnya di atas, ekstrimisme, radikalisme, apalagi terorisme, meski atas nama Islam, sangat tidak sejalan dengan Islam. Dalam hal ini, Islam hanya dibajak oleh para pengusung gerakan tersebut.

Ditulis Ulang dari http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/07/31/n9kguq-idul-fitri-dan-moderasi