Hubungan Integral Sastra dan Religiositas
FAH NEW – Prodi Magister Bahasa dan Sastra Arab (MBSA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membuka diskursus pertemuan antara sastra dan religiositas melalui seminar pada Kamis (16/6/2022). MBSA mengusung tajuk Sastra dan Religiositas dengan menghadirkan para pakar dan praktisi sebagai narasumber. Narasumber yang turut hadir antara lain, Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., Guru Besar Sastra Arab FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. LG. Saraswati Putri, M.Hum., Dosen Filsafat FIB UI, dan Dr. Aguk Irawan, Sastrawan. Masing-masing menyajikan materi sesuai kepakaran dan kompetensi dalam studi sastra terapan. Dalam sambutan dekanat yang diwakili oleh Wakil Dekan I bidaang Akademik, Dr. Ida Farida, MLIS, ia menyampaikan bahwa hubungan antara sastra dan agama saling berintegrasi. “Kita bisa melihat bahwa lewat sastra, orang itu bisa belajar berbagai hal, termasuk mendekatkan diri kepada agama,” terangnya.
Sebagai penyaji materi pertama, Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. mampu mengubah atmosfer diskusi menjadi hangat dengan tema materi “Sastra dan Religiositas: Pro-Kontra, Kerangka Konseptual, dan Studi Kasusnya”. Tingginya antusiasme peserta terlihat dari jumlah 131 orang aktif yang mengikuti sesi pertama seminar. Fakta di balik hubungan sastra dan agama masih memiliki pro-kontra. Tidak ada kesepakatan tunggal terhadap makna. Hal ini diperkuat dengan adanya klasifikasi sastra dalam arti luas dan sempit. Menurut Sukron Kamil, sastra keagamaan adalah bahasa artistik yang memuat gagasan, imajinasi, dan rasa yang bercorak keagamaan, atau masuk ke dalam jenis kategori sastra keagamaan. Jenis sastra keagamaan terdiri dari sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan agama tertentu. Selanjutnya, sastra yang memuji tokoh keagamaan menjadi panutan. Ketiga, sastra yang membahas kelembagaan keagamaan. Keempat, sastra yang mengkritik realitas sosial yang tidak sesuai dengan nilai keagamaan. Terakhir, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip keagamaan. Kandungan sastra sangat luar biasa, bahkan mampu “meyihir” orang yang mendengarnya. “Sebagian bahasa metafor itu adalah sihir. Jadi kalau kita ingin menyihir orang mengajak kebaikan lewat sastra, dan contohnya adalah al-Qur’an,” tutur dosen Sastra Arab tersebut pada seminar, Kamis (16/6/2022).
Pada materi kedua yang dibawakan oleh Dr. LG. Saraswati Putri, ia menyampaikan relasi sastra dan spiritualitas, khususnya filsafat. Secara praktis, sastra dan filsafat tidak bisa terpisahkan di samping hubungan sastra dengan agama. Sastra merupakan kompilasi pikiran yang ketika diutarakan akan menjadi sebuah gagasan. Di dalam sastra terdapat proses peleburan filsafat dan sastra. Mengutip Jean Paule Sartre, distingsi penulisan sastra terletak pada kemampuan subjek menolak bahasa sebagai sesuatu yang memiliki instrumental saja. Imajinasi penulis saat menulis karya sastra memiliki tantangan untuk keluar dari batasan yang ada. Penulis karya sastra akan diapresiasi ketika mampu menciptakan corak imajinasi. Saat membaca karya sastra, seseorang akan menemukan kognisi estetis di dalamnya. Kemudian Saras Dewi, nama pena Saraswati, menyampaikan rincian esensi seni sastra serta hubungannya dengan filsafat. “Hal-hal yang tidak bisa dicapai oleh filsafat itu dilengkapi oleh sastra,” pungkas kolumnis analisis budaya harian Kompas itu. Intensionalitas dalam sastra meliputi seni yang tidak narsisistik atau demi dirinya sendiri. Hal ini disebabkan oleh sastra sebagai upaya yang terhubung dengan orang lain melalui dunia dan peristiwa. Ada juga pembauran antara hal yang konkret dan imajiner. Pada satu waktu, rasa bersifat abstrak dan sensoris. Keunikan dari pengolahan rasa melalui karya sastra, terlebih yang mengandung spiritualitas adalah batin yang rindu, ekspresi penderitaan, dunia yang paradoks, dan cinta yang transendental.
Diskusi sastra beserta relasinya dengan religiositas tidak sebatas dua pemateri. Sajian materi terakhir disampaikan oleh Dr. Aguk Irawan, Sastrawan asal Lamongan, Jawa Timur, yang melanjutkan relasi sastra dengan agama (Islam, Kristen, Yahudi). Pada masa awal kedatangan Islam, sastra berperan selaku sutradara yang mengatur dalam suksesi dakwah Rasulullah. Tantangan terbesar kala itu adalah munculnya para penyair hebat di kalangan masyarakat Jahiliyah yang ingin menandingi al-Qur’an sebagai kitab pedoman beragama. Fungsi sastra sebelum turunnya al-Qur’an sering dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat Jahiliyah, khususnya di pasar-pasar. Syi’ir yang diciptakan oleh kalangan kafir Jahiliyah biasanya dijual untuk propaganda politik kesukuan hingga memberi iklan perdagangan. Peradaban Islam yang sarat akan sastra menghadirkan beberapa tokoh terkemuka. Tokoh yang mempengaruhi corak sastra pada masa itu antara lain, Ka’ab bin Zuhair, Ibnu Rawahah, dan Hasan bin Tsabit. Ketiga tokoh tersebut membawa genre sastra muallaqat dan mudahabat. Selain peradaban Islam yang menghadirkan sastra sebagai identitas kemunculan agama, ada juga peradaban Kristen yang turut membawa pesan moralitas. Berbeda dengan sastra Islam, sastra Kristen mengusung teologi trinitas sesuai dakwah ajaran Kristen. Yahudi sebagai kepercayaan dengan penganut yang banyak juga memiliki peradaban sastra. Salah satu sastra yang menjadi cikal bakal lagu wajib para pandu Israel saat acara perkemahan di Kibutz adalah puisi Ode to Zion karya Judah Halevi. Sementara, genre prosa kontemporer yang mengusung pesan moral dalam bentuk humanis-sosialis, bahkan magis-imajinatif seperti karya Muhammad Mustajab, Fuad Qandil, Muhammad al-Munsyi, Taufik el-Hakim, Najib Mahfudz, dan lain sebagainya. Sebagai penguat, Aguk menjelaskan ulang bahwa sastra harus memuat kandungan moral. “Sastra harus religius. Sastra harus spiritualitas. Sastra harus moral,” pungkas Aguk Irawan.
Kontributor: Abdurrahman Ad-Dakhil
Editor: AY