“Filologi: Pisau Bedah Bermata Dua dalam Ilmu Humaniora”
gambar dikutip dari : oman.unjkt.ac.id
Phylology is about reading manuscript. Itulah sebuah pemahaman umum yang diberikan oleh Prof. Oman kepada saya. Prof. Dr. Oman Faturahman, M.Hum. Adalah dosen yang memberikan pencerahan tentang apa itu filologi, apa fungsi atau kegunaan filologi, serta sampai sejauh mana peran filologi dalam memberikan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Dia adalah penggiat kajian pernaskahan yang sangat eksis di Indonesia. Sejak 2008, dia menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Banyak tulisan-tulisannya yang dijadikan sebagai referensi dalam kajian filologi, salah satunya adalah Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Kemudian ada juga beberapa buku yang dia tulis yang merupakan hasil dari kajiannya terhadap beberapa naskah yang ada di Nusantara. Diantaranya adalah Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17 (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia (1999, co-author dengan Henri Chambert-Loir), Tarekat Syatariyyah di Minangkabau(2003) dan Ithaf al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara (2012).
Filologi merupakan sebuah alat yang dapat kita jadikan sebagai media untuk mengkaji kandungan-kandungan yang termuat dalam naskah yang kita jumpai. Kita dapat melakukan berbagai macam kajian melalui “pintu” filologi ini, seperti sejarah, paleografi, ilmu sastra, teologi, filsafat, hukum, sejarah, bahasa, budaya, linguistik, kesusastraan, kesenian dan psikologi. Hal ini yang menurut saya yang menjadikan filologi seperti sebuah “pisau bedah” yang bermata dua. Itu karena selain kita mengkaji naskah itu sendiri, kita juga dapat mengkaji dan mengolaborasikannya dengan bidang keilmuan lainnya (humaniora) walaupun posisi dan peran filologi dengan beberapa ilmu lainnya tersebut berbanding lurus dan saling membutuhkan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Ilmu yang termasuk kedalam kategori ini adalah teologi, filsafat, hokum, sejarah, filologi, bahasa, budaya, linguistik, kesusastraan, kesenian dan psikologi. Mari kita lihat beberapa kontribusi filologi terhadap ilmu-ilmu humaniora yang berkembang di Indonesia.
Filologi sebagai ilmu yang termasuk kedalam bidang keilmuan humaniora, telah banyak memberikan kontribusinya untuk pengetahuan. Banyak temuan-temuan naskah yang akhirnya menguak beberapa fakta sejarah yang selama ini ternyata menyimpang. Sebagai contoh yaitu pernyataan yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal baca tulis sebelum datangnya bangsa Portugis. Padahal sudah sejak masa pra-islam sampai abad ke-19 para nenek moyang kita sudah melakukan tradisi tulis-menulis Ini membuktikan betapa pentingnya peran filologi dalam mengembangkan ilmu sejarah dari sudut pandang naskah yang spesifik.
Filologi juga dapat membantu kita untuk membayangkan masa lalu melalui naskah yang kita jumpai. Kita dapat belajar dari kebudayaan yang kita lihat dalam teks tersebut dan menyerap ajaran-ajaran yang masih murni yang berasal dari nenek moyang kita. Dengan begitu, kita dapat lebih arif dalam menyikapi permasalahan budaya yang ada pada era sekarang ini dengan mengambil esensi dari ajaran tersebut.
Sebagai contoh, Ithaf al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara (2012), naskah asli tersebut adalah sebuah teks tasawuf berbahasa Arab karangan Ibrahim al-Kurani (w. 1690). Dari kitab ini saya belajar betapa seorang Ibrahim al-Kurani adalah seseorang yang sangat membenci perdebatan, sebisa mungkin dia menjadi penengah dari setiap pertentangan yang ada. Ia mencoba mencari jalan tengah antara konsep Wahdatul Wujud yang dimiliki oleh kedua gurunya. Ia berusaha untuk tidak membela dan membenarkan salah satu pihak saja, tapi justru mencari kebenaran dari keduanya dan menemukan titik temu yang dapat menyatukan keduanya. Kisah di atas dapat kita jadikan sebagai pelajaran yang berharga bagi kehidupan kita sehari-hari, karena sebagaimana temaktub di atas bahwa humaniora bertujuan agar manusia lebih manusiawi atau berbudaya.
Filologi juga sangat berperan dalam pengoreksian teks-teks salinan dari naskah aslinya. Hal ini menjadi sangat besar pengaruhnya terhadap ilmu humaniora, dimana kita dapat memberikan catatan terhadap teks-teks yang disalin oleh para penyalin yang akhirnya berdampak pada “pulihnya” kembali informasi yang sekiranya rusak karena fakor-faktor tertentu yang dilakukan oleh para penyalin. Dalam hal ini, filologi tentu perlu melibatkan keilmuan humaniora lainnya seperti linguistik dan sastra, misalnya. Seorang filolog juga memiliki kepiawaian dalam mengkaji naskah, yaitu dengan logika sejarah. Sangat berperan penting dalam melakukan kritik teks yang ada pada naskah tertentu, semisal, dalam naskah Arab, huruf ba yang kehilangan titik di bawahnya. Para filolog mampu memperkirakan mengapa hal ini bisa terjadi. Mungkin saja sang penyalin pada saat itu mengantuk karena “kejar target” untuk menyelesaikan pekerjaannya itu, atau karena dia sedang tidak konsentrasi pada saat itu, dan kemungkinan yang dapat terjadi yang disebabkan oleh berbagai keterbatasan fasilitas pada saat itu.
Karena ketika berbicara filologi maka kita juga berbicara tentang “pembayangan masa lalu,” akhirnya kita mampu membayangkan konteks teks tersebut. Sehingga kata atau kalimat yang “rusak” tadi, dapat kita koreksi dengan benar sesuai dengan kehendak sang penulis asli naskah tersebut.
Pemaparan yang sangat sederhana di atas, juga dengan segala keterbatasan ilmu mengenai filologi yang saya miliki, mungkin dapat sedikit menggambarkan betapa besarnya peran dan kontribusi filologi terhadap ilmu humaniora. Ketika dikatakan bahwa ilmu humaniora bertujuan agar manusia lebih mausiawi dan berbudaya, maka saya telah benar-benar melihat langsung pada pribadi Prof. Oman. Dia yang memberikan contoh betapa Islam Nusantara memiliki budaya dan karakter yang sangat kuat untuk membentengi diri dari derasnya budaya luar yang merusak moral. Ini juga merupakan salah satu kontribusi filologi terhadap ilmu humaniora yang nyata saya rasakan sendiri.
Ade Arief Putra