Diah Ruhaini dan M. Mulky Al-Haramein: Bedah Toxic Masculinity, Menuju Lelaki Pendobrak Tabu
Diah Ruhaini dan M. Mulky Al-Haramein: Bedah Toxic Masculinity, Menuju Lelaki Pendobrak Tabu

Ciputat, (21/6/2023) - Dalam seminar Diskusi Panel Sejarah Gender: Membangun Sensitivitas Gender untuk Meminimalisir Kekerasan Seksual di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Diah Ruhaini dan Muhammad Mulky Al-Haramein, mahasiswa kelas 6 A Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyampaikan paparan mereka sebagai panelis. Seminar ini diadakan pada Rabu, 21 Juni 2023, di Teater Abdul Ghani lt. 5 FAH UIN Jakarta.

 

Diskusi panel ini merupakan bagian dari tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa semester 6 Sejarah dan Peradaban Islam UIN Jakarta, yang diselenggarakan oleh Dr. Hj. Tati Hartimah, M.A., dosen pengampu mata kuliah Sejarah dan Gender. Setiap kelas diwakili oleh dua orang untuk menyajikan materi dalam seminar tersebut.

 

Dalam kesempatan tersebut, Diah Ruhaini dan Muhammad Mulky Al-Haramein mewakili kelas 6 A, mempresentasikan topik "Bedah Toxic Masculinity, Menuju Lelaki Pendobrak Tabu". Mereka menjelaskan definisi dan karakteristik maskulinitas dan toxic masculinity, perspektif Islam tentang maskulinitas, permasalahan keterlibatan laki-laki dalam diskursus gender, serta dampak toxic masculinity dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali terjadi secara langsung maupun tidak langsung di sekitar kita.

 

M. Mulky Al-Haramein dan Diah Ruhaini sedang mempresentasikan materi toxic masculinity di Diskusi Panel

 

Dalam presentasi mereka, beberapa definisi maskulinitas menurut para ahli diuraikan, termasuk definisi maskulinitas pada era pra-1980-an, era 1980-an, era 1990-an, era 2000-an, dan perkembangan terkini, serta bagaimana hal tersebut berkaitan dengan toxic masculinity. "Ketika maskulinitas mendominasi, laki-laki rentan menjadi korban toxic masculinity," ungkap Mulky. Ia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa toxic masculinity adalah perilaku sempit yang terkait dengan peran dan sifat dominan yang sering kali melebih-lebihkan standar maskulinitas pada laki-laki.

 

"Ketika laki-laki ditekan dan dituntut seperti itu, mereka merasa gagal dan terjebak dalam tekanan sosial yang ada," tambahnya. Stigma bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh berbagi cerita juga menjadi contoh nyata dari toxic masculinity yang masih mengakar di lingkungan kita.

 

Selain itu, mereka juga membahas perihal diskursus gender yang lebih banyak fokus pada perempuan daripada laki-laki, yang merupakan salah satu dampak dari toxic masculinity. "Proses pembangunan tidak akan berjalan dengan baik jika kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, tidak dilibatkan secara aktif. Jika salah satu pihak absen, yang lainnya akan mendominasi," kata Diah. "Laki-laki tidak akan dapat ikut serta dalam diskursus gender jika mereka masih terjebak dalam toxic masculinity," tambahnya.

 

Seminar Diskusi Panel Sejarah Gender yang sedang berlangsung di Teater Abdul Ghani lt. 5 FAH UIN Jakarta

 

Dalam presentasi mereka, Mulky dan Diah menekankan pentingnya keterlibatan baik perempuan maupun laki-laki, untuk mencegah ketimpangan peran dan dominasi yang merugikan kedua belah pihak. Mereka mengajak untuk menghilangkan stigma bahwa laki-laki tidak boleh mengekspresikan emosi dan berbagi keluh kesah. Mereka menekankan bahwa kita perlu memiliki sifat kemanusiaan, yang memungkinkan kita untuk berempati dan toleran terhadap siapa pun tanpa memandang gender. Mereka juga menambahkan bahwa laki-laki yang ideal adalah mereka yang dapat mengekspresikan emosi, menghormati perempuan, memiliki komunikasi yang efektif, menghargai kontribusi yang setara, mendukung kesetaraan hak dan kesempatan, serta memperlakukan perempuan dengan rasa hormat dan empati.

 

Dalam upaya menghadapi toxic masculinity, seminar ini memberikan wawasan yang berharga dan mengajak masyarakat untuk melihat bahwa perubahan positif dalam pola pikir dan perilaku laki-laki dapat memperkuat persamaan gender dan meminimalisir kekerasan seksual. Diharapkan, paparan dari Diah Ruhaini dan Muhammad Mulky Al-Haramein ini dapat menjadi pijakan bagi lelaki dan perempuan untuk bersama-sama membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan setara.

 

Kontributor: Najma Aqilah
Editor: Faizal Arifin