Demokrasi Berbasis Integritas:  Upaya Pendalaman Demokrasi di Indonesia
Demokrasi Berbasis Integritas: Upaya Pendalaman Demokrasi di Indonesia
Oleh: Sukron Kamil

Penetapan banyak pejabat tinggi negera seperti Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama), JeroWacik (mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), dan Sutan Bhatoegana (mantan Anggota DPR) sebagai tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) belum lama ini semakin menambah daftar para pejabat tinggi Negara yang tidak berintegritas dengan melakukan korupsi. Paling tidak, untuk mereka masih berstatutus diduga melakukan korupsi dan kini sebagiannya sedang menjalani proses pengadilan.  Demokrasi yang menjadi keunggulan Indonesia pada periode Reformasi berjalan dengan minus integritas.  Korupsi di Indonesia bahkan seolah “mati satu tumbuh seribu”. Berbagai riset pun mengiyakannya. Antara lain riset yang saya lakukan di tahun 2013 terhadap institusi demokrasi Negara dan non Negara dengan berbasis pada pemberitaan koran.

Dalam riset ini, meski tidak mengejutkan, ditemukan praktik demokrasi di Indonesia pada masa Reformasi memang minus integritas, baik di institusi demokrasi Negara maupun non Negara. Jika keduanya dibandingkan, integritas di institusi demokrasi non Negara secara umum lebih baik. Dari tiga besaran institusi demokrasi Negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif), kelembagaan negara yang dinilai berintegritas oleh publik hanya KPK. Sementara institusi yang paling minus inegritasnya, berdasarkan pemberitaan Koran dan opini publik adalah kelembagaan legislatif yang dikuasai parpol.  Namun, institusi demokrasi non Negara juga ternyata tidak semuanya berbasis dan bisa diharapkan menjadi penopang integritas. Dunia usaha misalnya.

Tentu saja minus integritas di atas  dalam pengertian tidak bersifat mutlak, baik secara ruang maupun waktu. Alasannya karena di eksekutif ada kepala daerah yang dinilai menjalankan kelembagaan eksekutifnya dengan berbasis integritas seperi Jokowi saat memimpin DKI Jakarta dan sebagian para jawara BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang menakodainya. Demokrasi dalam banyak kasus justru melahirkan integritas, karena adanya check and balance.

Akibat dari minus integritas dalam praktik demokrasi di Indonesia  itu, sebagaimana diprediksi Jeremy Pope  dalam teori sistem integritas nasionalnya,  pembangunan berkelanjutan, rule of law, dan kualitas hidup masyarakat di Indonesia, paling tidak sebagian besarnya, jalan di tempat (tidak menggembirakan).  Bahkan, sebagiannya telah jatuh.

Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Realitas minus integritas di institusi demokrasi pada priode Reformasi tentu terjadi oleh karena banyak faktor. Di antara akar masalah yang menjadi penyebabnya adalah:

(1) politik uang yang dominan dalam pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada yang diselenggarakan pada periode Reformasi. Karena itu, biaya pemilu yang harus dikeluarkan Negara dan calon pun sangat tinggi yang tidak mungkin terbayar oleh gaji selama menjabat. Untuk menjadi seorang gubernur misalnya  dibutuhkan dana sekitar 100 miliar yang harus disediakan calon, padahal, gaji gubernur hanya 8,7 juta per bulan.Sementara untuk menjadi anggota DPR dibutuhkan Rp. 600 juta-5 miliar, bahkan 6 miliar yang harus dikeluarkan calon, tergantung seberapa popular calon, padahal pendapatan per bulan anggota Dewan hanya Rp. 40 jutaan.

(2) Corporate culture pengelolaan institusi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance seperti akuntabilitas, meritokrasi, transparansi, dan partispasi. Institusi demokrasi di Indonesia didera patrimonialisme yang akut, oligarki, bahkan personalisasi. Yang menentukan karir di sebagian besar institusi demokrasi Negara, berdasarkan pemberitaan koran, adalah kedekatan dan juga jumlah pemberian. Agaknya, extra legal yang berlaku pada masa pra kemerdekaan masih berpengaruh, bahkan berlaku. Di beberapa tempat bahkan terjadi juga politik dinasti. Seiring dengan ini, di kepolisian, juga di kelembagaan lainnya (eksekutif dan  yudikatif) terdapat rasa corps yang bukan pada tempatnya yang menyuburkan praktik tidak berintegritas. Inspektorat jenderal pun kemudian acapkali dipraktikan untuk membentengi corps tersebut, bukan mengawasi.

(3) Integritas yang lemah, dimana keserakahan dan konsumtifisme melanda sebagian besar para elite pejabat publik di hampir semua institusi yang tidak berintegritas.  Sementara itu, kekuasaan yang dimiliki mereka seperti di kelembagaan DPR dan kepolisian sangat luas dan kuat. Akibatnya, demokrasi telah dibajak oleh sebagian mereka yang tidak berintegritas yang bercokol di dalam tiga kelembagaan demokrasi Negara dan dunia usaha.

(4) Rule of law dan pengawasan yang tidak ditegakkan/berjalan maksimal.Di setiap institusi ada lembaga pengawasan internal dan juga banyak kelembagan pengawasan eksternal. Namun, itu tidak berjalan karena berbagai faktor. Lembaga pengawasan yang benar-benar efektif dan keberadaannnya dirasakan masyarakat hanya KPK. Itu pun kini ada kecenderungan kekuasaannya dipangkas oleh pihak-pihak yang dirugikan. Bahkan, kalangan aktivis antikorupsi menyebut kini sedang terjadi kriminalisasi terhadap para petinggi KPK dan juga aktivis antikorupsi, meski masih harus diuji kebenarannya. Termasuk yang juga kurang efektif, berdasarkan pemberitaan koran, adalah kelembagaan pengawasan untuk institusi demokrasi  non Negara seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Yang juga termasuk problem lemahnya rule of law yang dinilai berpengaruh pada rendahnya integritas dalam kelembagaan demokrasi adalah hukuman ringan yang dijatuhkan hakim kepada para terdakwa korupsi, pemberian remisi kepada para pelaku korupsi, dan belakangan pengajuan pra peradilan yang berujung pada keputusan pengadilan non KPK bahwa penetapan tersangka oleh KPK terhadap para pejabat yang diduga korupsi tidak absah. Selain itu, dalam pengawasan, audit publik juga tidak dilakukan atas keuangan partai politik peserta pemilu dalam berbagai jenisnya.

(5) Kepemimpinan yang tidak solid, sehingga dalam kelembagaan satu wilayah saja seperti di bidang yudikatif tidak terlihat sebagai satu kesatuan yang koherens di bawah arahan kepemimpinan yang kuat. Akibatnya, paling tidak hingga tahun 2014, elite institusi demokrasi, terutama institusi Negara, lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan sinkronis, bukan diakronis. Ditentukan oleh pertimbangan jangka pendek/dunya (yang dekat) bukan jangka panjang (akhirah) dan juga pertimbangan pribadi bukan kerakyatan.

(6) Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan masyarakat. Faktor kemiskinan berlaku bagi fenomena korupsi by need di kelembagaan demokrasi Negara dan untuk lemahnya pendidikan (intelektualisme) berlaku di kelembagaan legislatif. DPR saat ini didominasi, paling tidak diduduki, oleh anggotanya yang berlatar belakang uang yang banyak, bahkan berhutang budi pada cukong, bukan kualitas personal yang melimpah. Lemahnya pendidikan dan kritisisme terutama berlaku untuk masyarakat secara umum. Hal ini bisa dilihat dari fenomena silent majority terhadap tindak pidana korupsi di lingkungan sosial/kerjanya dan bisa juga dilihat dari fenomena kuatnya politik uang yang dipengaruhi antara lain faktor kemiskinan dan budaya harmoni tanpa kritisisme. Wajar, jika hasil survei KPK menyebut 71,7% rakyat menganggap politik uang lumrah.

(7) Meski jauh lebih bisa diandalkan, tidak semua institusi demokrasi non Negara bisa diharapkan menjadi penopang integritas, bahkan sebagiannya tidak berintegritas. Fenomena yang menunjukkan asumsi ini antara lain: sebagian perguruan tinggi sebagai tempat terjadinya korupsi, ormas yang menjadi bagian dari partai politik, LSM yang sikapnya kadang terlalu absolut serta keuangannya yang tidak independen, dan media massa yang dikuasi elite partai politik, ada juga yang membisniskan instink voyeuristic-nya, bahkan konon ada juga yang memeras.

Pendalaman Demokrasi

Meski praktik demokrasi pada masa Reformasi  minus integritas, pengembangan/pendalaman demokrasi masih dimungkinkan dilakukan, terutama oleh Pemerintahan Jokowi. Di antara yang bisa dilakukan adalah musti dibuatnya aturan hukum yang menjerakan yang bisa menjerat para pelaku money politic seperti yang diterapkan di Hongkong; melakukan audit terhadap pendapatan dan pengeluaran partai; partai harus mempunyai rekening partai dan rekening khusus untuk dana pemilu; dan membuat aturan yang membatasi pengeluran partai untuk pemilu, bukan hanya pendapatannya saja.

Kepemimpinan yang kuat dan political will terutama dalam refomasi birokrasi juga harus mantap. Fenomena minus integritas di kelembagan demokrasi di Indonesia bukan karena tiadanya hukuman, melainkan karena lemah dalam pelaksanaannya yang konsisten, terutama dalam reformasi birokrasi. Permenpan tentang zona integritas dan adanya kelembagaan pengawasan, baik terhadap kelembagaan demokrasi Negara maupun non Negara memperlihatkan hal ini. Demokrasi yang meniscayakan adanya kebebasan dan otonomisasi, bukan berarti keharusan atas ketiadaan kepemimpinan yang kuat. Tentu saja kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan sistemik yang memberlakukan prinsip-prinsip good governance/antikorupsi.

Yang berpengaruh pada minus integritas di institusi demokrasi di Indonesia juga  adalah lemahnya integritas internal para pelaku dan juga lemahnya integritas eksternal (masyarakat). Pendidikan integritas yang memberikan rasionalisasi dan pembatinan nilai-nilai antikorupsi harus terus dilakukan dan ditingkatkan di semua lini, meski tidak harus dalam bentuk pendidikan/pelatihan tersendiri. Yang paling relevans dengan hal ini tentu saja lembaga pendidikan dengan memperkuat/memberlakukan pendidikan integritas/antikorupsi yang menyentuh bukan saja aspek kognisi peserta dididik, melainkan juga aspek afeksi dan konasi. Dengan begitu, kecerdasan yang dibangun bukan saja kecerdasan intelegensia, melainkan juga kecerdasan emosi dan spiritual. Namun, bukan berarti aspek kognisi tidak penting, mengingat kritisisme masyarakat dan sebagian aparat  masih lemah. Padahal, yang juga mempengaruhi perubahan sikap adalah perubahan pola pikir. Kebudayaan lama yang tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip integritas/antikorupsi juga harus direinterpretasi, bahkan  dibuang. Pendidikan antikorupsi untuk masyarakat secara umum dalam hal ini bisa juga dilakukan lewat jenis seni tertentu semisal seni pertunjukan dan sastra.

            Tentu saja penguatan integritas lewat pendidikan juga tidak cukup. Alasannya, karena tindakan tidak berintegritas terjadi bukan saja karena lemahnya integritas personal, melainkan juga sistem hukum dan sosial. Memperbaiki keduanya karena itu, mendesak dilakukan oleh semua pihak. Sistem hukum misalnya harus menjerat para pelaku korupsi. Bukan saja dengan pemenjaraan yang menjerakan, melainkan juga pemiskinan dan hukuman mengganti biaya sosial dan lingkungan hidup akibat korupsi. Sistem hukum tata negara yang memberikan wewenang yang terlalu banyak seperti penentuan pejabat tinggi Negara kepada DPR agaknya juga harus ditinjau kembali. Kecenderungan Perpu MK, meski kini dibatalkan oleh MK, yang mengatur penentuan pejabatnya tidak berhenti di tangan MA, DPR, dan Presiden tetapi tim independen patut ditiru dan diterapkan untuk penentuan pejabat tinggi lainnya. Dalam konteks membangun sistem sosial, monitory democracy  sebagai bentuk demokrasi terkini seperti disebut John Keane menjadi relevans. Monitory democracy  adalah era demokrasi saat ini dengan aktor utama masyarakat sipil, bukan saja kelembagannya seperti CSO (Civil Society Organization) melainkan juga masyarakat biasa. Mereka lewat media sosial seperti face book dan tweeter tidak hanya menjadi penonton, tetapi bekerja sebagai kekuatan vital yang mengontrol, mengawasi, dan mengepung seluruh lokus kekuasaan dan tatanan politik yang eksis, baik terhadap kelembagaan demokrasi negara maupun non Negara. Termasuk di dalamnya juga dapat mendorong dan membantu institusi demokrasi non Negara, terutama saat kelembagaan Negara memusuhinya, karena kepentingan elite politik yang dominan. Wallah a’lam.

Penulis adalah Ketua Dewan Nasional

Indonesia Integrity Education Network (IIEN) 2011-2013,

Kini Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Jakarta