Bencana Alam dalam Riset
Bencana Alam dalam Riset
Berada di jalur Cincin Api Pasifik, Indonesia merupakan negeri yang rentan terdampak bencana alam. Jalur geologi ini adalah tempat terjadinya tumbukan lempeng Bumi yang membentang sepanjang 40.000 kilometer mulai dari pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke Amerika Utara, melingkar ke Kanada, Semenanjung Kamtschatka, Jepang, membuat simpul di Indonesia, lalu ke Selandia Baru, dan kepulauan di Pasifik Selatan. Sebanyak 90 persen gempa dan 80 persen tsunami di Bumi terjadi di jalur ini. Sebanyak 450 gunung api aktif, atau sekitar 75 persen gunung api di Bumi, berderet di sepanjang jalurnya. Berdasarkan data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dalam kurun 1800 – 2014, Indonesia dilanda 262 gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9,1 atau sekitar 1,22 per tahun. Jumlah korban tewas sebanyak 33.713 jiwa. Rangkaian gempa ini memicu terjadinya 124 tsunami yang menewaskan 237.793 jiwa. Jika ditotal, penduduk di Indonesia yang tewas akibat gempa dan tsunami dalam periode ini mencapai 271.506 jiwa. Bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004, tercatat menyebabkan jumlah kematian terbanyak dalam sejarah modern. Tak hanya tsunami, letusan gunung api terdahsyat di Bumi juga pernah terjadi di negeri ini. Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang meletus pada April 1815 telah mencipta dampak global. Aerosol asam sulfat yang dilontarkan ke atmosfer menciptakan tahun tanpa musim panas di Eropa, mengakibatkan bencana kelaparan, memicu wabah penyakit, dan kematian berskala global. Di Nusantara sendiri, menurut catatan Belanda, letusan Tambora telah mengubur tiga kerajaan di Pulau Sumbawa dan menewaskan sedikitnya 90.000 jiwa. Sedangkan letusan Krakatau pada tahun 1883, telah menewaskan 36.000 jiwa. Jika ditotal, dalam 200 tahun terakhir, jumlah korban penduduk di Nusantara yang tewas karena letusan gunung api, mencapai lebih dari 150.000 jiwa. Sekalipun ancaman bencana alam tak bisa diingkari, nyatanya, di atas Bumi yang paling bergolak ini, masyarakat Nusantara tumbuh dan berkembang selama ribuan tahun. Indonesia menjadi negara yang penduduknya terbanyak tinggal dalam jangkauan gunung berapi. Dari 127 gunung api yang rutin meletus, 30 di antaranya ada di Pulau Jawa. Itu artinya sekitar 120 juta orang kini hidup dalam bayang-bayang letusan gunung berapi. Jalur patahan gempa dan zona-zona rawan tsunami, juga padat dihuni. Bahkan, kawasan pesisir Aceh dan pantai barat Sumatera yang pernah dilanda gempa dan tsunami besar pada 26 Desember 2004, kembali dipadati hunian warga. Relokasi warga ke tempat lebih tinggi agar terhindar dari ancaman tsunami lagi di masa mendatang, menemui kegagalan. Sejarah mencatat, pengosongan gunung-gunung api di Indonesia dari penduduk secara permanen juga selalu gagal. Misalnya, seusai letusan dahsyat Gunung Galunggung pada 5 April 1982, pemerintah mentransmigrasikan warga di lereng gunung ini. Hingga September 1982, tercatat 8.217 warga Galunggung yang ditransmigrasikan ke luar Jawa. Namun, kebanyakan warga memilih pulang kampung. Selain itu, penduduk dari desa-desa lain justru datang dan mengisi desa-desa di sekitar Galunggung yang sebagian ditinggalkan. Kini, desa-desa yang dulu pernah disapu letusan Galunggung kembali dipadati penduduk. Fenomena yang sama juga terjadi setelah beberapa letusan Merapi (Yogyakarta). Bahkan, pemaksaan dengan kekuatan militer, seperti pernah dipraktikkan oleh Pemerintah Orde Baru di Pulau Makian, Ternate, pada 1970-an juga terbukti gagal. Pengosongan pulau dilakukan pada 15 Juni 1975. Dengan bedil di tangan, tentara memaksa warga meninggalkan Pulau Makian. Sejak itu, Pulau Makian dilarang dihuni lagi. Keputusan mengosongkan Pulau Makian diambil setelah Direktorat Vulkanologi Bandung (sekarang Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) menyimpulkan seluruh wilayah di pulau kecil itu rawan dilanda bencana letusan gunung api Kie Besi. Upaya pengosongan ini mendapat perlawanan keras. Tak sampai setahun, warga pun kembali berbondong ke pulau gunung api ini. Kini, Makian dihuni lebih dari 20.000 jiwa. Fenomena terbaru terlihat dari sulitnya mengosongkan Rokatenda di Nusa Tenggara Timur, sekalipun korban terus berjatuhan saat meletus. Seperti Makian, Rokatenda adalah pulau gunung api aktif. Bagi masyarakat di Nusantara, gunung api memang bukan hanya bencana dan kematian. Gunung api juga sumber kehidupan. Abu yang disemburkan gunung api saat meletus adalah pupuk alam terbaik penyubur tanah. Tak mengherankan jika penduduk selalu memadati lereng-lereng gunung api yang paling aktif. Semakin aktif gunungnya, makin padat penduduknya. Kaitan antara keberadaan gunung api dan kepadatan penduduk ini telah diketahui sejak lama. ECJ Mohr, profesor ilmu tanah dari Universitas Utrecht, Belanda, yang meneliti di Jawa pada 1930-an menyimpulkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di Indonesia masa lalu ditentukan keberadaan gunung api. Semakin banyak gunung api aktif, kian padat penduduknya. Dengan teori ini, ia menjelaskan kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang kerap disiram abu gunung api. Tanah-tanah tersubur di Jawa berada di dekat gunung yang tanahnya tertutup abu letusan muda. Utamanya di lembah gunung yang berlimpah air dan cahaya matahari sehingga sangat cocok untuk budidaya tanaman. Gunung api di Indonesia memang tak dipisahkan dari kehidupan masyarakat, demikian halnya dengan Kelud. Maka, yang harus dilakukan kini adalah, bagaimana melakukan adaptasi untuk hidup bersama gunung api. Walaupun secara geologis, bencana alam seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung api merupakan siklus yang berulang, namun kesadaran masyarakat tentang ancaman bencana ini cenderung rendah. Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni-Juli 2011 mengungkapkan minimnya pengetahuan dan kesiapsiagaan terhadap bencana itu. Hampir separuh dari 806 responden yang tinggal di zona bahaya tidak menyadari ancaman bencana yang sangat mungkin melanda daerah mereka. Survei dilakukan di kota yang pernah dan terancam gempa bumi, tsunami, serta letusan gunung, seperti Banda Aceh (Aceh), Yogyakarta (DI Yogyakarta), Sleman (DI Yogyakarta), Padang (Sumatera Barat), Palu (Sulawesi Tengah), Karangasem (Bali), dan Bengkulu. Menurut penelitian Litbang Kompas ini, rendahnya kewaspadaan ini dipengaruhi oleh cara pandang sebagian besar masyarakat dalam menilai bencana alam. Masyarakat cenderung pasrah dan menerima apa yang diberikan alam. Ilustrasi ini tampak dari fakta, sebagian terbesar responden dalam survei yang cenderung melihat bencana alam sebagai takdir yang tidak bisa dihindari. Kluckhohn, seperti dikutip Koentjaraningrat (1987), mendefinisikan cara pandang manusia terhadap alam dalam tiga orientasi nilai. Pertama, manusia tunduk kepada alam sehingga hanya bisa pasrah (manusia tradisional). Kedua, manusia berusaha mencari keselarasan dengan alam (transformasi). Ketiga, manusia berhasrat menguasai alam (manusia modern). Dalam mendeskripsikan budaya masyarakat, Koentjaraningrat, secara spesifik menjelaskan hubungan manusia dengan alam. Masyarakat, khususnya masyarakat Jawa pedesaan, memiliki ikatan yang sangat kuat dengan alam. Masyarakat memilih untuk berusaha hidup selaras dengan alam. Namun, jika berhadapan dengan kekuatan alam yang membawa maut seperti bencana, mereka cenderung menyerah secara total kepada nasib. Mereka tidak berusaha banyak untuk melawan bencana itu atau menyelamatkan diri. Pandangan tersebut juga terlihat dari respons sebagian responden dalam survei ini. Karakteristik masyarakat yang cenderung pasrah terlihat dominan, termasuk mereka yang memiliki pengalaman menjadi korban bencana alam. Kondisi ini yang membuat mayoritas korban bencana tak khawatir untuk kembali ke daerah tempat tinggal mereka semula. Anthony Oliver-Smith (2003) dan Greg Bankoff (2003) juga menyebutkan, kerentanan terhadap becana sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut suatu masyarakat. Bencana alam bukan semata-mata soal mekanisme alam, tetapi juga proses kebudayaan. Setiap orang, atau bangsa, memiliki kerentanan yang berbeda. Masyarakat yang memiliki pemahaman bahwa bencana alam merupakan takdir Tuhan semata, cenderung tidak menganggap penting proses mitigasi bencana. Karena jika sudah ditakdirkan, bencana tetap akan menimpa mereka. Bagi orang Indonesia bencana alam selalu dikaitkan dengan kekuasaan Tuhan. Setiap terjadi bencana alam—mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga letusan gunung api—masyarakat Indonesia cenderung menggunakan pendekatan teologis. Sebagian orang berargumen bahwa bencana merupakan hukuman Tuhan karena orang yang melakukan dosa-dosa. Sedangkan, yang lainnya menganggap bencana alam itu merupakan ujian dari Tuhan untuk membuat mereka menjadi lebih kuat. Tafsir ini sangat dominan, tidak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga penentu kebijakan. Saat memberikan khutbah Idul Adha setelah gempa Padang pada 30 September 2009, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyalahkan banyaknya tayangan pornografi di media-media sebagai penyebab terjadinya banyaknya kejadian bencana di Indonesia. Mengacu pada Tifatul, bencana alam akan terus terjadi karena terlalu banyak program televisi yang merusak moral bangsa. Komentar Tifatul ini merupakan hal yang jamak di Indonesia. Walaupun relasi antara sistem kepercayaan dan bencana alam ini sudah terjadi sejak lama, yang terlihat dari banyaknya teks-teks lama yang mengisahkan hal ini, namun, studi dan kajian yang spesifik tentang hal ini masih sangat kurang. Pemerintah juga cenderung melihat persoalan mitigasi bencana sebagai persoalan penyiapan infrastruktur fisik semata dan cenderung belum memperhatikan aspek kebudayaan, apalagi teologi. Misalnya, kebijakan yang diprioritaskan pascatsunami Aceh adalah dengan membangun sirine tsunami, pembangunan tsunami shelter, dan lain-lain. Namun, sistem fisik ini ternyata gagal saat terjadi gempa kembar di Aceh pada 11 April 2012. Dalam evaluasi yang dilakukan Tim Kaji Cepat Bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2012) disimpulkan, bahwa sistem mitigasi bencana yang mengandalkan pada pembangunan infrastruktur fisik ini telah gagal. Setelah gempa besar pada 2012 itu, masyarakat Aceh panik. Kemacetan dan kecelakaan terjadi di jalanan. Beruntung, gempa kali itu tidak diikuti tsunami. Jika terjadi tsunami, diprediksi korban yang jatuh akan sebanyak saat tsunami 2004. Dalam konteks mitigasi bencana, menarik untuk membaca ulang manuskrip kuno Nusantara. Beberapa manuskrip yang tercecer dan tersisa, lebih dari cukup menceritakan kedahsyatan bencana alam tersebut berikut akibat yang ditimbulkannya. Naskah Bo’ Sangaji Kai di Bima, misalnya, menjadi salah satu sumber terpenting sejarah petaka meletusnya Gunung Tambora pada 11 April 1815. Demikian halnya sebuah manuskrip asal abad 19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang melaporkan bahwa: telah terjadi gempa besar untuk kedua kalinya pada dini hari Kamis 9 Jumadil akhir 1248 H, atau 3 November 1832 M. Bahkan dahsyatnya tsunami pasca letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 pun tak luput dari lukisan sastrawan Betawi, Muhammad Bakir, ketika menulis Hikayat Merpati Mas (Ahmad Arif).