Asal-Usul Dikhotomi Ilmu
Asal-Usul Dikhotomi Ilmu
Salah satu fenomena yang tampak dalam dunia pendidikan tinggi saat ini adalah adanya fenomena dikhotomi ilmu agama dan umum (rasional/sekuler), dalam arti pembagian atas dua kategori/tipologi yang terpisah, bahkan kadang saling berlawanan dan yang satu meminggirkan yang lain. Para ilmuan Muslim umumnya cenderung tercerabut dari akar Islam sebagai sebuah tradisi ilmu. Bahkan, sebagiannya menganggap rendah ilmu keagamaan. Sebaliknya, para ulama (ahli ilmu agama) umumnya penguasaan mereka atas ilmu-ilmu umum/rasional lemah, sehingga pembahasan agama didominasi oleh parade ayat atau hadis, miskin ilustrasi-ilustrasi, tidak terintegrasi dengan ilmu rasional/ilmiah. Bahkan, sebagiannya ada yang menganggap, ketimbang ilmu agama, ilmu rasional/empiris tidak bisa diandalkan untuk kebenaran. Tentu harus dicatat, bahwa sebagian ilmuan dan ulama tidak lagi begitu, meski masih sangat sedikit. Dalam batas-batas tertentu, upaya integrasi ilmu dengan Islam juga sudah dilakukan. Di antaranya dengan didirikan dan berkembangnya pendidikan tinggi agama yang mengkaji kedua jenis ilmu, seperti terlihat antara lain dari fenomena UIN-UIN (Universitas Islam Negeri) di Indonesia. Dalam sejarah Islam pra modern, asal usul dikhotomi ilmu, agaknya, bisa dilacak dari periode sejarah Islam pasca runtuhnya Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasyiah pada abad ke-13 di tangan Hulagu Khan, meski sebelumnya tidak mendikhotomikan ilmu. Bahkan, agaknya, akar-akar dikhotomi ilmu bisa dilacak pada periode sebelum abad ke-13. Yaitu, sejak melemahnya dukungan penguasa terhadap rasionalisme dan empirisisme pasca al-Mutawakkil (847-861 M). mulai periode ini, penguasa Muslim memusuhi kaum rasional dan para filosuf Muslim yang dimotori kaum Mu’tazilah. Meski dalam abad ke-14 muncul Ibn Khaldun yang menandai lahirnya filsafat sosial yang empiris. Ilmu rasional dan empiris kemudian secara umum tidak banyak berkembang di dunia Sunni dan Baru dikembangkan kembali oleh al-Afgani dan Abduh pada periode modern (abad ke 19). Padahal, sains dalam islam berkembang karena dukungan/patronase penguasa. Sains dalam sejarah Islam klasik dan pertengahan Islamb tidak menjadi gerakan masyarakat yang mandiri. Tentu saja catatannya, di dunia Syi’ah, ilmu rasional dan empiris dalam batas tertentu terus berkembang seperti terlihat dari kemunculan Mulla Sadra (w. 1641) yang oleh Nasr disebut mengembangkan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’alliyah), mensintesiskan seluruh filsafat yang tidak artifisial, tetapi atas dasar prinsip-prinsip filosofis. Yang juga berpengaruh pada lahirnya dikhotomi ilmu dalam sejarah Islam juga adalah: (1). Diharamkannya filsafat oleh al-Ghazali akhir abad ke-11 dan awal abad 12 dan kemudian oleh Ibn Taimiyah abad 14. Al-Ghazali juga meragukan temuan empiris, meski pandangannya juga sesungguhnya bisa dianggap sebagai kritiknya atas empirisisme. (2). Menguatnya sufisme yang mementingkan keakhiratan dan memandang superior ilmu illmunitaif dalam bentuk tarekat di tangan Abdul Qadir al-Jailani pada abad ke-13 dan banyak tokoh sufi setelahnya. Akibatnya, tipologi keislaman sufismen menjadi sebuah gerakan yang massif, walaupun dalam banyak kasus sufisme juga menjadi faktor lahirnya perubahan. (3). Kecetekan berfikir para ulama dengan kecenderungannya mempergunakan senjata takfir (pengkafiran) dalam berhadapan dengan sains rasional dan empiris seperti yang ditujukan kepada Ibn Rusyd dan juga al-Ma’ari abad ke-21. Tentu saja yang paling berpengaruh pada fenomena dikhotomi ilmu di dunia Islam adalah pengaruh keilmuan Barat lewat kolonialisme/imperialism dan sistem pendidikannya, baik di Barat sendiri maupun di dunia Islam yang diperkenalkan Barat saat melakukan kolonialisasi. Harus diakui, perkembangan ilmu empiris di Barat memang dipengaruhi antara lain oleh Islam lewat penerjemahan buku-buku kaum Muslimin, proses belajar mereka di Spanyol Islam dan interaksi dalam Perang Salib, sebagaimana diakui Montgomery Watt. Namun, mereka kemudian mengembangkannya sesuai dengan paradigma sekularismenya yang memandang rendah agama dan keilmuan keagamaan. Sains pun didefinisikan Barat Modern sebagai pengetahuan sistematis mengenai sifat dasar (prinsip-prinsip) objek-objek indrawi atau fisik (dalam istilah August Comte positif), yang berasal dari observasi dan eksperimen, yang karena itu bersifat empiris, eksak (pasti), dan mudah untuk diukur. Sains, dengan demikian, merupakan pengetahuan yang objeknya alam indrawi, paradigmanya positivistis, dan ukurannya logis dan empiris. Konsekuensi dari definisi di atas adalah lahirnya pendangan dunia (saintisme) yang materialistis yang beranggapan bahwa yang rill adalah yang material. Apa yang terjadi kemudian adalah penyingkiran Tuhan, para saintis pun kemudian menjadi atheis, dan konflik antara sains dan agama pun, hingga sekarang, tak terelakkan. Huston Smith, juru bicara kontemporer agama-agama, dengan mengutip pendapat Apleyard, yang mengatakan bahwa sains atau lebih tepatnya saintisme secara ruhani menggerogoti manusia dan, setelah membuang agama, membakar seluruh otoritas dan tradisi lama (Kristiani). Yang dimaksudnya dengan saintisme adalah sebuah padangan Freud bahwa sains adalah fakta material, bukan ilusi, dan pandangan bahwa metode sains yang empirik adalah metode yang paling diandalkan. Saintisme telah memperlihatkan dirinya tidak mampu hidup bersama yang lain (agama) dan sains telah menelan dunia, atau setidaknya lebih besar dari yang seharusnya. Sains telah diberikan cek kosong oleh masyarakat Barat modern, karena obsesinya yang terlalu besar terhadap kebutuhan material untuk klaim-klaim mengenai apa yang membentuk pengetahuan dan kepercayaan. Sejak ranaisans dan terutama revolusi ilmiah, manusia di Barat menganggap dirinya mampu memproduksi ilmu pengetahun sendiri, tidak menjadi objek pengetahuan Ilahi. Jika sebelumnya, manusia mengandalkan Alkitab sebagai sumber otoritas dalam persoalan ilmu, maka dalam sejarah Barat ditandai dengan manusia dalam sejarahnya memproduksi ilmu pengetahuan sendiri. Dari sekian temuan ilmiah yang paling menggerogoti agama dan ilmu agama adalah teori seleksi (evolusi) alam Charles Darwin. Seleksi alam dalam teori ini dianggap menyebabkan matinya species yang lebih tua dan organisme yang lebih disukai alam adalah yang kualitasnya lebih unggul. Manusia, karenanya, hasil dari proses evolusi makhluk hidup, bukan penciptaan dari tiada. Pernyataan terakhir inilah yang ikut menghancurkan otoritas wahyu dan merusak fondasi agama, karena bertentangan dengan pernyataan harfiah Alkitab --juga al-Qur’an-- yang menyatakan Adam sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan dari tiada. Darwinisme mengakhiri praktik mengandalkan kitab suci dalam ilmu pengetahuan yang diganti dengan ilmu pengetahuan rasional dan empiris sebagai hasil dari ujicoba dan pengamatan. Ilmu agama pun sejak itu terpinggirkan, bahkan tidak berharga. Lebih dari itu, moralitas sosial dalam modernitas tidak ditentukan oleh teks-teks keagamaan dan motivasi surga atau ketakutan atas neraka. Namun, ditentukan oleh kesadara diri sendiri, respek, dan mengagumi. Aturan moralitas publik diambil dari pandangan hidup mayoritas atau kalkulasi-kalkulasi rasional untuk keteraturan dan lain-lain yang disepakati bersama. Ilmu etika sosial keagamaan, karenanya, tidak berharga lagi. Dalam bahasa lain, sebagaimana dinyatakan Weber, dalam masyarakat yang mengalami proses industrialisasi, urbanisasi, tingkat pendidikan dan kekayaan yang meningkat, dimana mereka didominasi pandangan bahwa dunia didasarkan atas standar-standar rasional, empiris, dan penguasaan teknologi atas alam, maka klaim-klaim agama, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu agama, menjadi tidak masuk akal, dan terpinggirkan. Peran agama pun, tegasnya, menjadi merosot; kebiasaan pergi ketempat ibadah menjadi terkikis; makna sosial keagamaannmenjadi terhapus; dan keterlibatan aktif ke dalam organisasi-organisasi keagamaan, bahkan partai-partai politik berbasis agama menjadi lemah. (bersambung…) TANGSEL POS, SENIN 25 MEI 2015, SUARA KAMPUS, (Hal. 1) Oleh: Sukron Kamil