Arab dan Non-Arab Disatukan Solidaritas
Arab dan non-Arab saling membangun peradaban Islam. Menurut Prof Sukron Kamil, ini karena dalam Islam klan itu tidak dominan, tapi diikat dalam satu solidaritas yang disebut ummah. "Karena itulah peradaban itu bukan disebut peradaban Arab tapi peradaban Islam," katanya. Berikut petikan wawancara wartawan Republika Amir Amrullah dengan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Menurut Ibnu Khaldun, ulama pada masa kejayaan Islam didominasi oleh non-Arab. Bisa dijelaskan?
Benar memang, ulama-ulama terkenal di masa kejayaan Islam terutama di bidang filsafat yang berasal dari Arab hanya al-Khindi, setelah itu semuanya non-Arab dalam hal ini Jazirah Arab. Bila kita runut seperti ar-Razi itu dari wilayah Ray kini wilayah Iran, kemudian Ibnu Sina dan al-Farabi itu juga dari wilayah Iran kini. Karena bila dilihat kebudayaan Iran itu merujuk pada Asia Tengah seperti Uzbekistan pun itu mencakup kebudayaan Iran.
Puncak filsafat dan sains pada masa kejayaan Islam sebenarnya bisa dilihat dari dua orang , Ibnu Sina dan ar-Razi. Kemudian kalau bidang sains yang lain, seperti kimia itu Abu Musa Jabir bin Hayyan atau dunia Barat mengenal dengan Geber. Ia juga bukan dari Arab tapi dari wilayah Kufah kini Irak. Dalam bidang keagamaan, puncak ilmu Islam di tangan al-Ghazali dan ia bukan dari Arab.
Memang ada beberapa yang bisa dianalisis, pertama secara historis kelahiran Dinasti Abbasiyah yang dianggap sebagai puncak peradaban Islam adalah anti-tesis dari Dinasti Umayyah yang terlalu Arab sentris. Karena itu dari awal kemunculannya saja Dinasti Abbasiyah itu kolaborasi antara Arab yang dalam hal ini keturunan Ibnu Abbas dengan Abu Muslim al-Khurasani yang dari Khurasan, Persia.
Dari sanalah periode Abbasiyah itu ada periode pertama Persia, kemudian periode kedua pengaruh Turki dan baru pada 1000-an masehi didominasi oleh Turki Seljuk. Kemudian peradaban Islam memang dari awal dibangun bukan hanya dari orang-orang Arab, tetapi bersama. Ini karena dalam Islam klan itu tidak dominan, tapi diikat dalam satu solidaritas yang disebut ummah.
Walaupun dalam historinya, mulai dari Umayyah itu dikenal sangat Arab sentris. Tapi bila melihat pada masa kejayaan Islam di bagian barat atau magribi dan Iberia Spanyol, sangat jelas non-Arab, termasuk Ibnu Khaldun sendiri bukan dari kalangan Arab dan Ibnu Rusyd itu lahir di Kordoba Spanyol bukan jazirah Arab murni.
Ini artinya, peradaban Islam itu bukan Arab sentris?
Saya kira bisa dikatakan begitu. Meskipun memang teori-teori politik di awal Islam mendukung kekuasaan suku Arab Quraisy berdasarkan hadis Nabi. Tapi hadis itu menunjukkan, bahwa kekuasaan itu ada di tangan mereka yang memiliki kekuatan secara kualitatif dan kuantitatif berawal dari Quraisy.
Kita bisa melihat ketika muncul peradaban Islam di Spanyol itu menjadi rumah tiga agama. Bahkan Yahudi pada saat Islam di Spanyol mengalami puncak ilmu Filsafatnya, justru ketika mereka berada dalam kekuasaan Islam Spanyol. Bahkan bila kita bicara fikih sekali pun, Imam Hanafi itu orang Persia bukan dari jazirah Arab.
Jadi saya kira meskipun bukan mengecilkan Arab, karena Arab tetap memiliki peran. Karena itulah peradaban itu bukan disebut peradaban Arab tapi peradaban Islam. Karena yang membangun peradaban Islam itu tidak hanya Arab, bahkan yang dominan pada era setelahnya itu non-Arab.
Menurut Anda, mengapa justru ilmuan ketika itu didominasi non-Arab?
Bisa dilihat dari tiga analisis, pertama Islam adalah agama yang mementingkan prestasi. Artinya manusia tidak dilihat dari barang atau ekonomi, tapi penghargaan itu diberikan karena prestasi. Kedua dalam sejarah sekalipun persamaan dalam Islam itu cukup kuat, jadi tidak ada keistimewaan Arab. Bahkan dalam beberapa buku orientalis, mengungkapkan posisi non-Muslim dalam peradaban Islam memiliki posisi jauh lebih dilindungi kaum muslimin di dalam kekuasaan non-Muslim.
Ini artinya dalam Islam itu persamaan dijunjung tinggi, bahkan dalam sejarah Islam ada kelompok budak yang bisa berkuasa yang disebut Dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk itu dari orang orang budak yang diambil dari Dinasti Ayubiyah untuk menjadi tentara, kemudian akhirnya bisa berkuasa. Dan analisis ketiga, seperti yang disampaikan teori Ibnu Khaldun, yakni ketika bangsa Arab saat itu sudah mapan cenderung berada dalam kondisi nyaman dan manja.
Dalam peradaban Islam, Arab awalnya memiliki kekuasaan dan kemampuan jadi membuat bangsa Arab tidak memiliki tantangan. Jadi ini membuat bangsa Islam lain yang berusaha keras untuk naik dan mengejar ketertinggalan. Inilah yang membuat bangsa bangsa Persia saat itu akhirnya muncul dan mengambil alih peradaban Islam tersebut.
Apakah ini berarti pula bahwa kejayaan Islam saat ini ada pula di puncak non-Arab?
Kalau melihat pandangan cendekiawan Muslim Fazlur Rahman pada akhir 1980-an, ia memprediksi kejayaan Islam itu akan datang dari Asia Tenggara. Karena pada saat itu negara Islam di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia sudah memenuhi prasyarat dari sisi kestabilan ekonomi dan politik. Hanya saja kondisi ini dihabisi oleh krisis moneter pada 1998 dan krisis lainnya.
Kini juga rujukan Islam dari beberapa negara Barat bisa dibilang ke Indonesia. Kalau dilihat secara politik, negara kita bisa jadi rujukan dibandingkan negara negara Arab kini yang dipenuhi konflik kekuasaan. Makanya sekarang pertanyaan apakah Islam berkesesuaian dengan demokrasi bukan lagi hal dipertentangkan. Walaupun Indonesia bukan yang memulai karena ada Turki, namun Indonesia memiliki proses demokrasi yang cukup berhasil.
Kalau dari sisi ekonomi, Indonesia memang masih kalah dengan beberapa negara Arab petrodolar, seperti Uni Emirat Arab dan Qatar. Dan kalau dari segi pemikiran Islam, tidak bisa dimungkiri walaupun Mesir dalam kondisi terpecah saat ini. Namun dunia masih memandang sumber pemikiran Islam kini dari Mesir yang mendunia. Tapi kenyataannya proses politik yang berhasil dalam demokratis Indonesia bisa dibilang berhasil. Jadi memang sampai saat ini harapannya memang banyak yang berharap dari Indonesia dan Malaysia, semoga kita bisa mengejar ketertinggalan ini.
Ditulis Ulang dari Republika - Ahad, 05/07/2015 hal.16., Oleh. Sukron Kamil (Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta)