
Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) merupakan salah satu unit yang berada di bawah naungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memiliki visi yang sejalan dengan lembaga induknya ini. Sebagai sebuah institusi pendidikan yang bernuansa Islam, maka cara pandang Islam, dalam hal ini nilai-nilai al-Qur’an menjadi pijakan utama dalam pengembangan integrasi keilmuan dan keislaman dalam bidang humaniora di lingkungan fakultas ini.
Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya kajian dalam bidang humaniora ini dapat kita kaji dalam surat Fushshilat: 53, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri” atau pada ayat lainnya, “Dan di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat: 20-21). Ayat-ayat ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa ilmu-ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak hanya berhubungan dengan hukum Tuhan (qauliyah) dan hukum alam (kauniyah) saja, tetapi juga berhubungan dengan bidang humaniora yang berkenaan dengan makna, nilai, dan kesadaran yang disebut dengan ilmu nafsiyah (Kuntowijoyo, 2007, hal. 25–26).
Al-Qur’an ingin menegaskan bahwa ilmu tidak hanya dua, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan firman Allah (qauliyah) dan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam (kauniyah), tetapi juga berhubungan dengan humaniora (nafsiyah). Tanpa humaniora, ilmu tidak akan menyentuh seni, filsafat, sejarah, antropologi, ilmu politik, dan sebagainya.
Mengacu kepada pemikiran Kuntowijoyo (2007:1-3) tentang perlunya pengilmuan Islam dengan cara melihat realitas melalui Islam dan eksistensi Humaniora dalam Al-Qur’an, maka realitas itu tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Paradigma Al-Qur’an untuk perumusan teori adalah undangan untuk menjadikan postulat normatif agama (Quran dan Sunah) menjadi teori ilmu. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu didapatkan melalui konstruksi pengalaman sehari-hari secara terorganisir dan sistematis.
Sebagaimana dijelaskan Ahimsa-Putra (2017:193) bahwa pandangan hidup akan membawa konsekuensi yang sangat luas terhadap cara memahami dan menjelaskan berbagai gejala alam dan sosial-budaya. Untuk sampai kepada sebuah paradigma yang kuat, maka pandangan hidup tersebut harus terbangun menjadi sebuah kerangka pemikiran yang dapat digunakan untuk mempelajari berbagai gejala dalam kehidupan manusia. Harapannya, manusia memiliki kemampuan untuk mengelola alam dengan baik dan kemampuan menciptakan kehidupan sosial-budaya yang lebih baik.
Lalu, apa yang menjadi dasar pengembangan integrasi keilmuan dan keislaman sebagai paradigma al-Qur’an. Dalam surat Al-Hajj ayat 46, Allah SWT berfriman:
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada”
Ayat ini menggambarkan bahwa pemahaman terhadap realitas yang ada dalam kehidupan ini harus dibekali dengan pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran logis (sumber akal), yaitu logis-rasional (sumber indra) dan logis supra-rasional (sumber hati). Logis-rasional adalah yang nilai kebenarannya dapat masuk akal dan sesuai dengan hukum alam, sedangkan logis-supra-rasional adalah yang nilai kebenarannya masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam. Jadi, sebagai orang yang Islam yang mengimani Al-Qur’an kita wajib menghubungkan ketiga sumber pengetahuan itu dalam kehidupan kita. Hubungan ketiganya dapat dilihat pada model gambar di bawah ini sebagaimana diadopsi dari penjelasan Tafsir.

Pengetahuan mistik (sebagai sesuatu yang ghaib) ini dapat diilustrasikan sebagai tingkat pengetahuan tertinggi dari sebuah keyakinan seseorang yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak-supra-rasional. Untuk memahami secara logis dan empiris, maka seseorang harus melalui tahapan pengetahuan kedua, yaitu pengetahuan filsafat. Pengetahuan ini bertugas sebagai jembatan untuk merasionalkan sesuatu yang abstrak atau sebaliknya mengabstrakkan sesuatu yang empiris (logis-rasional) menuju sesuatu yang mistik (logis-supra-rasional).
Implikasi dari adanya 3 tingkatan klasifikasi pengetahuan ini, maka seorang Muslim harus meyakini bahwa isi Al-Qur’an itu semuanya logis: sebagian logis-rasional dan sebagian logis-supra-rasional. Dan, rumus metode ilmiah yang selama ini Logico-hypothetico-verificatif dapat diteruskan dengan penjelasan logika dengan pengertian rasio (Tafsir, 2009, 12).
Hal logis yang terkandung dalam Al-Qur’an ini dapat saja bersifat ilmiah atau memasuki ranah pengetahuan sains ketika secara metode dapat dibuktikan dengan menggunakan rumusan metode ilmiah. Namun, sebelum pengetahuan memasuki ranah atau paradigma sains, pengetahuan harus memasuki ranah paradigma filsafat (abstrak-rasional) terlebih dahulu sebagai jembatan antara objek mistik dengan objek empiris.
Dalam konteks ini, Plato dalam sebuah karyanya, Theaetetus, menguraikan bahwa “Pengetahuan adalah keyakinan plus logos”. Logos itu sendiri dijelaskan oleh para filsuf sebagai sebuah cara menjelaskan atau memperoleh pemikiran rasional. Artinya, untuk meyakini sebuah keyakinan sejati harus memunculkan sejumlah pembenaran, dan proses pembenaran inilah yang menyebabkan keyakinan berubah menjadi pengetahuan serta menjadikannya sebagai hal yang dapat diandalkan (O’Hara 2002, hal. 12-13).
Melanjutkan konsep pengetahuan Plato di atas, maka penulis sejalan dengan pemikiran Naquib yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan ke dalam jiwa manusia atau sampainya jiwa pada sesuatu objek pengetahuan. Objek pengetahuan di sini, bukan ada-nya, akan tetapi makna dari ada-nya. Makna objek ada pada manusia sebagai sesuatu yang dilimpahkan oleh Tuhan ke dalam ruhnya yang kemudian ditafsirkan oleh ruh tersebut hingga lahir pengetahuan dalam bentuk simbol-simbol atau proposisi-proposisi logis dan matematis (Soleh, 2016, hal. 249). Salah satu contoh adanya ayat dalam surat Al-Hajj 46, dapat kita maknai sebagai cara berpikirnya al-Qur’an atau kenabian (profetik) dalam menggali pengetahuan.
Sebagaimana ditafsirkan oleh Comte (Dua, 2020, hal. 26) bahwa fase pemikiran positivistis ini merupakan fase terakhir dari pemikiran manusia yang secara luas ditentukan dan dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan empiris, di mana secara sosiologis fase ini berbeda dengan dua fase sebelumnya, yaitu fase pemikiran mistis-teologis dan rasionalis-filosofis. Walaupun tidak sependapat sepenuhnya dengan Comte, dalam kesempatan ini penting sekali untuk memikirkan kembali model pemikiran pada fase-fase tersebut untuk dijadikan sebuah metode pengembangan ilmu pengetahuan yang utuh.
Dalam hal ini, Raharjo (1996, p. 2) menjelaskan bahwa Islam sebagai agama formal (organized religion) mengkonstruksi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dalam membentuk budaya dan peradaban masyarakat. Pentingnya Al-Qur’an untuk dijadikan sumber inspirasi sejalan dengan pendapat Hanafi (1991, hal. 66) bahwa jika dilihat dari sejarah awalnya (Periode Patristik), jelas Islam saat itu belum menjadi kebudayaan, tetapi Islam masih merupakan Wahyu yang tersimpan dalam sebuah kitab murni (Al-Qur’an). Pada saat itu, jika ditilik berdasarkan catatan historis, Islam belum melewati suatu penyebaran yang diperkuat oleh kebudayaan para pemeluknya.
Dengan demikian, pada fase-fase perkembangannya, Wahyu (Teks Al-Qur’an secara fisik) dapat dijadikan bukti artefak yang memiliki nilai-nilai yang akan memengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat (Islam) dalam kehidupan sehari-hari. Ketika nilai-nilai Al-Qur’an telah menjadi kepercayaan kemudian dimanifestasikan dalam bentuk gagasan (perilaku atau artefak baru seperti tafsir atau bentuk kodifikasi lainnya), maka Al-Qur’an telah menjadi budaya organisasi bagi mereka yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an ini dapat dijadikan budaya sivitas akademik sebagai asumsi-asumsi dasar dalam kajian-kajian penelitian ilmiahnya.
(Sumber: Abdul Hak, Ade. Kepustakawanan Profetik: Paradigma Ilmu Perpustakaan Era Digital dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Adabia Press, 2023)