Menimbang Rancangan Undang-undang Kebudayaan
Akhir-akhir ini, salah satu isu yang mengemuka dalam media masa, terutama cetak, dan juga dalam raung publik lain semisal diskusi/seminar adalah RUU (Rancangan Undang-Undang) Kebudayaan. RUU ini menjadi polemik/kontroversi antara yang pro dan kontra. Karenanya, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan Diskusi Publik mengenai RUU tersebut pada hari Selasa, 27 Oktober 2015, dengan menghadirkan pihak pembuat dari kalangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pihak masyarakat sebagai penggunannya dengan menghadirkan Harian Kompas sebagai CSO (Civil Society Organization).
Berdasarkan pemberitaan media masa, RUU itu dinilai ada banyak sesat pikir (konseptual). Di antaranya adalah: (1) RUU dianggap sebagai bentuk hegomoni Negara bertopeng pelestarian, apalagi RUU itu dibuat dengan melakukan studi banding ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang represif, karena sistem politik negara ini yang komunis, meski telah direformasi. Dalam RUU itu, disebut Pemerintah, dari Pusat hingga ke Daerah, sebagai aktor pengendali budaya. Padahal, mereka meraih jabatan di Pemerintah itu karena proses-proses politik yang diragukan integritasnya. Mereka bukanlah orang yang memiliki otoritas dalam mengendalikan budaya. (2) Melihat globalisasi sebagai “hantu” yang bisa merusak kebudayaan bangsa. (3) Kebudayaan adalah entitas yang berkembang dinamis dan fleksibel, apalagi dalam bentuknya yang intangible (non bendawi). Karenanya, tidak perlu diatur. (4) RUU sebagai kerja politik dengan target tertentu. Apalagi, tercium adanya niat untuk membuka celah mengucurkan dana Pusat atau Daerah kepada masyarakat yang mudah untuk dipolitisasi, meski kelembagaan budaya sesungguhnya sangat memerlukannya. (5) Sempat masuknya pasal kretek dalam draf Juni 2015, meski di draf September 2015 sudah tidak ada. Padahal, problem bangsa ini antara lain sekitar 65 persen rakyatnya merokok, dimana triliunan uang menghilang begitu saja dengan resiko lahirnya banyak penyakit yang tinggi, sementara yang mendapat banyak keuntungan bukan rakyat melainkan industri rokok. (6) Nomenklatur RUU Produk Kebudayaan untuk RUU ini dianggap lebih tepat, karena dimungkinkan untuk diatur dan dikontrol.
Setelah membaca draf RUU Kebudayaan ini, sebagian opini media itu memang benar, meski tidak seluruhnya. Dalam pengelolaan kebudayaan (bagian dari Bab V), memang disebut bahwa pengelolaan budaya dilakukan oleh Pemerintah, baik Pusat (kementerian) maupuan Daerah (Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota). Namun, ternyata dalam RUU disebut pula bahwa kementerian dalam pengelolaan budaya harus lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Bahkan, dalam diplomasi budaya, harfiah disebut dilakukan Pemerintah dan masyarakat. Dalam peran serta masyarakat yang terdapat di bab ini disebut juga bahwa masyarakat berperan serta memberikan masukan lisan dan tertulis dalam penyususnan kebijakan kebudayaan. Dalam pengembangan pranata dan dan SDM Kebudayaan (Bagian bab III), juga disebut lingkupnya yang menjadi objek kebijakan adalah lembaga adat, lembaga pengelola kebudayaan, yang di dalamnya disebut adanya kelembagaan koasi pemerintah dan swasta. Namun, dalam pengelolaan kebudayaan, lembaga swasta atau masyarakat memang tidak disebut harfiah.
Agaknya, lebih baik dalam bagian pengelolaan kebudayaan musti disebut secara harfiah bahwa wewenang kebudayaan adalah wewenang Pemerintah bersama CSO (Civil Society Organizatioan), bahkan Civil Society secara umum. Meminjam istilah dalam studi hubungan internasional, kini kerja-kerja politik luar negeri tidak hanya government to government, melainkan juga people to people, apalagi dalam wilayah budaya. Meski Civil Society adalah masyarakat atau kelembagaannya yang menjadi prisai dalam berhadapan dengan negara yang cenderung hegomonik, bahkan terkadang berposisi diametral dengan negara seperti diungkap Thomas Paine (1737-1803), tetapi jika tidak hegomonik, terutama saat agenda-agenda politiknya sama, Civil Society merupakan mitra dan berperan melengkapi kebutuhan sosial. Jadi, sebaiknya, wilayah pengelolaan budaya harus disebut secara harfiah sebagai wilayah Pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat, bahkan wilayah dimana Pemerintah dan masyarakat bisa berbagi, sebagaimana yang juga disebut RUU di awal dari sub latar belakang (bab 1).
Jadi, baiknya konstruk yang harus dibangun di belakang RUU bukanlah RUU dalam konstruk negara liberal dan juga bukan negara sosialis/komunis atau theokratis. Alasannya, karena negara liberal mengidealkan pemerintah “penjaga malam” yang sedikit memerintah dengan tidak banyakn membuat aturan, apalagi sebagai pengelola tunggal kebudayan seperti yang dipegang oleh para pengkritisi yang anti RUU. Sebaliknya, juga bukan konstruk negara sosialis/komunis mengidealkan pemerintah yang atas nama proletariat (menegakkan keadilan sosial dalam versinya) boleh malakukan kediktatoran, atau paling tidak kebijakan represif, dimana Pemerintah adalah aktor tunggal seperti draf RUU hingga hari ini. Juga bukan negara teokratis yang mengidealkan pemerintah yang atas nama hukum Tuhan boleh bersikap represif. RUU harus dibangun di antara keduanya, seperti pesan Pancasila
Dengan dilihat sebagai wilayah yang bisa berbagi pengelolaan dan konstruk negara yang dibangun di balikanya konstruk negara moderat, maka kebudayaan sebagai entitas yang berkembang dinamis, apakah perlu diatur atau tidak, agaknya menjadi tidak masalah diatur. Argumennya, karena dengan seperti penjelasan di atas, masih memberikan ruang tersisa, yaitu hak-hak alamiah yang tidak semua diserahkan kepada Negara, seperti tesisnya John Lock.
Hal ini mengingat Pancasila sendiri sesungguhnya pengaturan Negara atas kebudayaan sebagai pola pikir dan pola rasa (kebudayaan intangible). Apalagi, pengaturan kebudayaan sudah dilakukan sejak masa Hindia Belanda dengan adanya Balai Pustaka yang punya kebijakan tidak menerbitkan karya sastra yang bisa menghasut rakyat untuk memberontak, atau karya sastra yang dianggap tidak mendidik, atau karya sastra yang membawa-bawa agama. Terlebih lagi, jika lewat RUU itu, kelembagaan dan pengembangan kebudayaan bisa diberikan dukungan pendanaan oleh negara. Tampaknya, ingatan kolektif masyarakat pengkritisi khawatir dengan RUU Kebudayaan ini karena kekhawatiran adanya hegomoni Negara atas kebudayaan, sebagaimana terjadi pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno dan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pada masa Orde Lama, yang berkuasa kalangan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang melihat kebudayaan untuk rakyat yang belakangan didukung Negara. Kebudayan kemudian mengabdi pada kekuasaan dan pihak-pihak yang berbeda tidak diberi ruang dan dipenjara. Pada masa Orde Baru yang berkuasa adalah kalangan Manifesto Kebudayaan yang melihat kebudayaan untuk kebudayaan. Seni budaya pun pada masa ini hanya mengabdi untuk dewi kesenian, tidak menjadi alat bagai protes sosial.
Soal globalisasi sebagai “hantu” yang bisa merusak kebudayaan bangsa, dalam draf di “Landasan Sosiologis” (Bab IV) memang disebut globalisasi dapat menimbulkan perubahan nilai budaya yang tidak baik dalam masyarakat. Bahkan, paragraf di bawahnya menyebutnya sebagai ancaman serius yang dapat menimbulkan kemerosostan, kepunahan, dan kehancuran warisan budaya Indonesia. Yang lebih menjadi perhatian RUU terutama globalisasi yang dikendalikan kapitalisme dan neoliberalisme yang perspektif “ekonomi uang”-nya mengeser perspektif ekenomi produksi (kreasi olah alam menjadi produk dan hasil kerja budaya), juga globalisasi dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi.
Namun, dalam draf RUU juga terdapat ambiguitas. Dalam “Landasan Filosofis” (Bagian awal bab IV) disebut bahwa RUU tidak dimaksudkan “menolak nilai-nilai baru dari kebudayaan asing, dengan catatan nilai-nilai budaya asing tersebut dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayan bangasa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Kalimat ini merupakan pengulangan dari kalimat yang terdapat dalam latar belakang (bab I).
Dilihat dari diskursus, polemik RUU dalam soal ini agaknya merupakan pengulangan polemik format kebudayaan ideal bagi Indonesia pada tahun 1930-an. Saat itu muncul polemic, apakah kebudayaan Indonesia harus mengikuti Barat sepenuhnya, jika ingin mengimbangi Barat, semisal Takdir; atau harus tetap Timur (mengikuti tradionalitas) seperti Ki Hajar Dewantara; atau harus berskap moderat (campuran Barat dan Timur) seperti Sanusi Pane. Yang ideal adalah bersikap moderat seperti Sutan Sjahrir dan Achdiat Karta Mihardja yang patut menjadi landasan dalam RUU. Menurut dua tokoh yang disebut terakhir, antara Timur dan Barat tidak perlu dipilih-pilih, karena Barat memiliki sisi buruk dengan kapitalismenya dan Timur dengan feodalismenya. Timur-Barat tidak dalam pengertian sempit, melainkan menyangkut perbedaan masyarakat dan kebudayaannya.
Hal lain yang perlu disorot adalah RUU tidak membagi definisi kebudayaan dalam pengertian luas dan sempit. Definisi yang dipakai dicampur, yang karenanya agak mengacaukan. Padahal, kebudayaan didefiniskan dengan dua kategori: definisi sempit yang dianut mayoritas ahli dan definisi luas yang lebih dirujuk RUU. Definisi sempit antara lain dimunculkan oleh ahli semisal Clyde Kluckhon, yaitu sebagai sistem nilai saja (cara berfikir, cara merasa, cara meyakini, dan menganggap). Sedangkan definisi luas dimunculkan JJ. Honigmann dan Koentjaraningrat. Mereka membagai kebudayaan dalam tiga wujud: sebagai wujud ide, tindakan, dan benda.
Lebih jauh, dalam unsur-unsur kebudayaan, RUU menyebutnya dengan sangat luas, sehingga susah membedakan mana wilayah budaya mana wilayah lain, meski sesungguhnya memang hal selain budaya bisa masuk kategori budaya, jika yang dilihat pola pikir dan pola rasa di baliknya. Dalam RUU disebut diungkap bahwa yang termasuk unsur-unsur kebudayaan adalah organisasi social, komunikasi, kesehatan, teknologi, dan lain-lain. Padahal, menurut Oswald Spengler, yang masuk kategori kebudayaan adalah: bahasa dan sastra, seni, falsafah, nilai-nilai moral dan agama, dan juga sejarah, sebagaimana terlihat dalam kajian di Fakultas Ilmu budaya di Indonesia.
Yang juga penting untuk diperhatikan: (1) dalam RUU, idealnya disebut bahwa salah satu sarana kebudayaan adalah perpusatakaan yang dalam RUU tidak ada. Padahal, peradaban (kebudayaan tinggi) terrendah adalah kebersihan dan perpustakaan. Sarana yang penting untuk dimasukan juga adalah lembaga penerjemahan, karena Peradaban Islam priode Abbasyiah dan juga Barat priode Renaisance mengalami kemajuan akibat buku-buku terjemahan. (2) Dalam aspek kebudayaan harus disebut juga prinsip-prinsip integritas semisal kejujuran, akuntabilitas, meritokrasi, dan transparansi yang semua itu masih lemah, yang dalam RUU tidak disebut. (3) Meski multikulturalisme harus dijadikan landasan biar tidak ada dominasi kultural, tetapi bisa chaos. Karenanya, tidak semua kebudayaan dipandang sama. Pluralitas budaya tetap saja harus tunduk pada prinsip-prinsip ferenial, hukum nasional, dan internasional. (4) Ada banyaknya hal-hal problematis dalam tampilan luar RUU. Misalnya teknis kebahasaan yang banyak menggunakan kalimat yang tidak lugas, ada banyak sekali kalimat panjang-panjang, transliterasi untuk istilah asing yang tidak ditulis miring, dan juga terutama koherensi antar unsur RUU. Yang disebut terakhir adalah problem yang paling tampak dalam RUU. Wallahu a’lam.
Sukron Kamil, Prof. Dr., M.Ag., Penulis adalah Dekan dan Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.