Galileo dan Kepustakawanan Profetik: Matematika Sebagai Bahasa Ilahi dan Peran Pustakawan dalam Menafsirkan Alam
Galileo dan Kepustakawanan Profetik: Matematika Sebagai Bahasa Ilahi dan Peran Pustakawan dalam Menafsirkan Alam

Saat Galileo Galilei mengatakan bahwa "alam semesta ini ditulis dalam bahasa matematika," ia tidak hanya berbicara sebagai seorang ilmuwan, tetapi juga sebagai seseorang yang memahami semesta. Baginya, gerak benda langit yang teratur, keindahan bentuk geometris, hingga siklus perubahan musim, semuanya tunduk pada hukum-hukum yang dapat dipecahkan manusia melalui simbol dan angka.

Menariknya, pandangan revolusioner Galileo ini seolah menemukan gaungnya dalam kitab suci Al-Qur’an. Surah Yā Sīn ayat 12 secara eksplisit menyatakan,”Dan segala sesuatu Kami himpun (aḥṣaynāhu) dalam Buku Induk yang jelas”. Kata "aḥṣaynāhu" yang bermakna menghitung secara akurat dan mencatat dengan cermat, mengisyaratkan bahwa alam semesta bukanlah entitas yang acak, melainkan sebuah tatanan kosmik yang terstruktur rapi dan terdokumentasi dalam catatan ilahi.

Di sinilah konsep "Kepustakawanan Profetik" hadir sebagai penghubung yang unik antara nalar ilmiah dan kearifan spiritual. Lebih dari sekadar pengelola informasi, pustakawan profetik menjelma menjadi penafsir makna—sosok yang menjaga keteraturan ilahi dalam lanskap pengetahuan yang terus berkembang. Pustakawan profetik mengemban amanah untuk mencatat, menyeleksi, dan mengontekstualisasikan ilmu pengetahuan. Tugas ini bukan hanya bersifat teknis, melainkan mengandung dimensi etis dan transendental yang mendalam.

Pustakawan harus memastikan bahwa generasi penerus tidak kehilangan kemampuan untuk "membaca" ayat-ayat kauniyah yang berisi tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang terhampar di alam semesta. Mereka perlu memastikan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada tumpukan data semata, tetapi bertransformasi menjadi pemahaman yang mendalam dan kebijaksanaan yang hakiki. Kepustakawanan profetik adalah seruan zaman untuk mengelola pengetahuan dengan kesadaran kosmik dan tanggung jawab spiritual. Di balik setiap angka, data, dan dokumen yang kita kelola saat ini, tersembunyi resonansi pandangan Galileo dan pesan wahyu yang menyatu:

"Semuanya telah tertulis. Tinggal bagaimana kita membacanya dengan keyakinan dan akal budi."

Satu lagi, sebuah perspektif menarik muncul dari dunia bibliometrika, sebuah studi kuantitatif tentang publikasi. Di sini, pustakawan profetik dapat melihat bagaimana jejak-jejak ketertiban ilahi termanifestasi dalam dunia ilmu pengetahuan. Tiga hukum bibliometrika yang terkenal—Hukum Zipf, Hukum Bradford, dan Hukum Lotka, mengonfirmasi bahwa produksi dan distribusi pengetahuan manusia pun mengikuti pola matematis yang terprediksi.

  1. Hukum Zipf  menunjukkan bahwa distribusi kata dalam bahasa, seperti juga topik dalam informasi, mengikuti pola keterpusatan yang dapat diramalkan.
  2. Hukum Bradford mengungkapkan bahwa literatur ilmiah menyebar dalam zona konsentrik. Beberapa jurnal menghasilkan banyak informasi, sisanya jauh lebih sedikit.
  3. Hukum Lotka menggambarkan bahwa hanya sedikit penulis yang sangat produktif, dan mayoritas menyumbang satu atau dua karya saja.

Ketiga hukum bibliometrik tersebut menegaskan satu hal fundamental, bahwa dalam dunia pengetahuan buatan manusia sekalipun, terdapat hukum, keteraturan, dan kebijaksanaan yang inheren. Oleh karena itu, bagi pustakawan profetik bibliometrika bukan sekadar alat analisis statistik, melainkan sebagai sebuah lensa untuk menangkap "irama" ilahi yang tersembunyi dalam jagat ilmu pengetahuan.

Penulis: Dr. Ade Abdul Hak, S.Ag., S.S., M.Hum., CIQnR & Hilya Maylaffayza, S.IP.

Tag :