Abu Bakar Said, Peneliti Sultanate Institute: Nusantara adalah Tujuan Pelayaran Global yang Strategis
Abu Bakar Said, Peneliti Sultanate Institute: Nusantara adalah Tujuan Pelayaran Global yang Strategis

UIN Jakarta, Berita FAH Online, 26 September 2025 – Studi mengenai kebudayaan materi terus memperkaya narasi tentang permulaan sejarah peradaban Islam di Nusantara. Dalam Studium Generale FAH UIN Jakarta, Abu Bakar Said, peneliti dan Founder Sultanate Institute, memaparkan bagaimana artefak di Pantai Barat Sumatera, khususnya Situs Bongal, menjadi bukti nyata keterlibatan aktif kepulauan ini dalam jaringan dagang global Islam sejak Abad 1-4 H atau Abad ke-7 Masehi. Ia menekankan bahwa benda-benda arkeologi dapat memvalidasi catatan masa lampau sekaligus melengkapi data sejarah yang tidak tertulis.

Abu Bakar Said dikenal sebagai peneliti yang fokus pada studi Samudra Hindia pra-modern, sejarah global, dan interaksi awal Islam di kawasan ini. Ia tengah menyelesaikan tesis magisternya di Magister Sejarah Universitas Diponegoro dengan judul yang relevan, "Peran Masyarakat Pinangsuri Bagi Terbentuknya Jejaring Maritim Global di Pantai Barat Sumatra, Abad 7-10 M”. Melalui Sultanate Institute yang ia dirikan, ia aktif dalam riset arkeologi, termasuk ekskavasi Situs Bongal bersama BRIN. Komitmennya terhadap warisan budaya diwujudkan melalui pendirian Museum Fansuri dan Fansuri Arboretum di kawasan Bongal, menjadikannya akademisi yang menjembatani data material dan interpretasi sejarah maritim Nusantara.

Studium Generale ini dihadiri oleh mahasiswa Program Doktor Sejarah dan Peradaban Islam (S3 SPI), Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam (MSKI) dan Magister Bahasa dan Sastra Arab (MBSA),  FAH UIN Jakarta. Dekan FAH, Dr. Ade Abdul Hak, dalam sambutannya menekankan pentingnya sinergi studi lintas disiplin dan publikasi melalui kajian akademik yang dilakukan. Abu Bakar Said mengawali paparannya dengan menganalisis faktor yang memicu kebangkitan perdagangan maritim global. Ia menyebut, pulihnya kondisi keamanan pasca-perang Romawi-Persia dan munculnya kekuatan baru Dunia Islam pada abad ke-7 Masehi menjadi faktor penentu.

Stabilitas dan penyebaran yang dibawa oleh kekuasaan Islam, ditandai dengan deklarasi jaminan keamanan di kawasan niaga vital dan revitalisasi infrastruktur strategis, seperti Kanal Qulzum serta perbaikan pelabuhan-pelabuhan Laut Merah dan Teluk Persia. Langkah-langkah ini secara efektif membuka koridor maritim Samudra Hindia–Laut Mediterania. Perdagangan Dunia Islam, yang didorong oleh peningkatan permintaan komoditas, standardisasi ekonomi Islam, dan inovasi teknologi pelayaran, menjadi motor utama yang menghubungkan kawasan Mesopotamia hingga ke Cina.

Melalui data arkeologi, peneliti yang fokus pada studi Samudra Hindia pra-modern ini menempatkan Nusantara sebagai pemain penting. Temuan keramik masa Dinasti Tang (618-907 M), pecahan botol kaca parfum, dan aneka jenis resin atau damar (termasuk Kapur Barus, Kemenyan, dan Meranti Putih) di Bongal menunjukkan kawasan ini telah menjadi sentra industri dan perdagangan untuk memenuhi permintaan komoditas aromatik dan obat-obatan dari kota-kota Islam. Resin lokal ini, bersama temuan instrumen medis dan kimia awal Islam, mengindikasikan adanya kolaborasi dan interaksi intensif dengan kawasan luas Dunia Islam.

Bukti material kuat lainnya yang disoroti adalah Koin Dirham Daulah Umayyah yang dicetak pada tahun 81 H/700 M di Damaskus, serta temuan Kohl Stick (alat kosmetik). Koin dan artefak ini, bersama temuan keramik Asia Barat di Bongal, menjadi indikator kuat adanya interaksi maritim langsung antara Timur Tengah, Samudra Hindia, Asia Tenggara, dan Tiongkok antara abad ke-7 M hingga abad ke-10 M. Bukti-bukti tersebut mendukung pandangan mengenai keterlibatan kawasan ini sebagai pemain utama dalam jejaring maritim global pada masa tersebut.

Data material ini membuka peluang riset yang signifikan bagi mahasiswa S2 (MSKI, MBSA) dan S3 (SPI) FAH UIN Jakarta. Bukti-bukti artefaktual dari abad ke-7 M menantang para akademisi untuk meninjau kembali jaringan niaga global, interaksi dunia Islam dan peran kerajaan di Nusantara. Studi kebudayaan materi dapat menjadi landasan untuk penelitian interdisipliner, memungkinkan mahasiswa menganalisis konteks sosial budaya artefak, menelusuri aspek linguistik inskripsi, dan menghasilkan narasi akademis yang didukung bukti material culture.

Oleh: Faizal Arifin

Dokumentasi:

SG MSKI 6

Nusantara dalam Jaringan Global
(Sumber: Abu Bakar Said, 2025)